visitaaponce.com

Hidup Harmonis Manusia dengan Gajah Harus Terus Diupayakan

Hidup Harmonis Manusia dengan Gajah Harus Terus Diupayakan
Dua gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus) liar memakan pohon pinang di perkebunan warga Desa Negeri Antara, Kecamatan Pintu Rime.(Antara/Irwansyah Putra.)

KONFLIK antara manusia dan satwa liar, khususnya gajah, masih banyak ditemui di berbagai daerah di Indonesia. Pasalnya, berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebanyak 27 ribu desa di Indonesia berbatasan dengan kawasan hutan negara. Selain itu, 6.474 desa berada di kawasan konservasi.

Dengan kondisi tersebut, manusia harus mengupayakan segala cara agar bisa hidup harmonis berdampingan dengan alam tanpa menimbulkan konflik. "Itu memang tantangan untuk menyeimbangkan hubungan antara manusia dan wildllife. Tapi itu memang harus menjadi bagian dari mainstreaming biodiversity. Mengarusutamakan sebagai bagian dari kita membuat strategi pembangunan," kata Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem (KSDAE) KLHK Wiratno dalam acara Eco Report KLHK Living in Harmony with Nature, Rabu (26/1).

Dalam hal ini, KLHK terus mencari pemodelan yang tepat agar kehidupan di alam bisa berjalan beriringan dengan aktivitas perekonomian manusia. Upaya yang dilakkukan yakni dengan pembangunan ekonomi dan ekologi yang diseleraskan serta perlu adaptasi manusia untuk bisa terbiasa hidup dengan alam. Salah satu langkah konkret ialah dengan membangun ecotourism.

"Salah satunya yang sudah berjalan baik ialah di wilayah Tangkahan. Di sana konservasi gajah dikelola pihak pariwisata Tangkahan. Di zaman normal turisnya bisa mencapai 5.000 hingga 6.000 dan penghasilan Rp15 miliar sampai Rp20 miliar," cerita Wiratno.

Wiratno menyebut, upaya-upaya tersebut harus dilakukan bersamaan. Pasalnya, untuk menciptakan kehidupan harmonis antara manusia dan alam, tentu tidak bisa hanya menggunakan solusi tunggal.

"Tapi sebenarnya sederhana. Kalau jalan sudah dilewati gajah, jangan dipakai lagi. Lakukanlah pembinaan habitat di sana. Itu bagus sekali," ucap dia.

Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Ditjen KSDAE KLHK Indra Exploitasia menambahkan, paradigma yang harus dibentuk saat ini ialah menjadikan wildlife sebagai aset, bukan lagi komoditas. "Dengan adanya aset, tentu harus ada investasi. Ketika kita bicara aset dan bentuk investasi, apapun kegiatan kita konservasi harus bicaranya melihatnya konteks bisnis. Ada nilai balik sehingga kita bisa bilang konservasi adalah profit center," ucap dia.

Pada kesempatan tersebut, Bupati Aceh Timur Teungku Hasballah M. Thaib menceritakan, wilayah Aceh Timur memiliki luas sebesar 6.000 kilometer yang memiliki 24 kecamatan dan 513 desa. Wilayah tersebut berdampingan dengan kawasan hutan. Tentu banyak konflik antara manusia dan hewan yang ditemukan.

"Gerombolan gajah di sini luar biasa banyak. Karena kita memiliki potensi perkebunan jagung dan sawit, itu menjadi salah satu tantangan. Tapi alhamdulillah tahun ini menurun. Di 2021 hanya ada satu konflik gajah dan mudah-mudahan tahun ini tidak ada," ucap dia.

Baca juga: Sustainable Coffee akan Jadi Tren di Dunia Kopi Global

Upaya yang dilakukannya sejauh ini yakni dengan membangun barrier dan pagar listrik agar satwa liar tidak masuk ke wilayah warga. "Tapi tentu kita sangat membutuhkan Conservation Response Unit (CRU). Di sini sangat penting. Untuk menghalau gajah-gajah yang datang biar kita giring ke CRU," ucap dia. (OL-14)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Wisnu

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat