visitaaponce.com

Hari Masyarakat Adat Internasional, BRWA Penetapan Wilayah Adat Masih Minim

Hari Masyarakat Adat Internasional, BRWA: Penetapan Wilayah Adat Masih Minim
Aliansi Mentawai Bersatu (AMB) melakukan unjuk rasa saat memperingati Hari Masyarakat Adat Sedunia di Kota Padang, Sumbar, Selasa (9/8).(Antara)

HARI Masyarakat Adat Internasional diperingati hari ini, setiap 9 Agustus. Lantas, seperti apa kondisi masyarakat adat di Indonesia?

Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) merilis data terbaru mengenai status penetapan wilayah adat di Indonesia. Per 9 Agustus 2022, ada sebanyak 1.119 peta wilayah adat yang telah masuk ke registrasi BRWA. Adapun, wilayah adat yang teregistrasi itu memiliki luas 20,7 juta hektare yang tersebar di 29 provinsi dan 142 kabupaten/kota.

Dari jumlah itu, yang sudah ditetapkan oleh pemerintah baru sebanyak 3 juta hektare dari 189 peta dan yang sudah dalam proses pengaturan sebanyak 15,6 juta hektare dari 688 peta dan belum ada pengakuan sebanyak 2 juta hektare.

"Jumlah status penetapan terbanyak adai di wilayah Sumatra dengan 74 penetapa lalu ada Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Bali dan Papua," kata Manager Data dan Informasi BRWA Ariya Dwi Cahya dalam konferensi pers bertajuk Status Pengakuan Wilayah Adat di Indonesia, Selasa (9/8).

Sementara itu, Ariya menyatakan bahwa potensi wilayah adat yang terbesar ada di wilayah Papua dan Kalimantan. Sementara itu yang terkecil berasal dari wilayah Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.

Pada kesempatan itu, Kepala BRWA Kasmita Widodo mengungkapkan, hingga kini masyarakat adat masih harus menempuh perjuangan untuk mendapatkan hak wilayahnya yang terancam diduduki oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan.

"Berdasarkan data saat ini dari peta indikatif ada potensi 42 juta hektare wilayah adat di Indonesia. Tapi yang baru teregistrasi di Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) ini baru 20,7 juta hektare. Berarti baru 50%. Ini artinya masih banyak PR juru ukur untuk memetakan wilayah adat di Indonesia." kata dia.

Ia menyatakan, ada sejumlah tantangan yang ditemui dalam melakukan pemetaan dan penetapan wilayah adat. Diantaranya yakni belum adanya undang-undang yang mengatur tentang pengakuan dan perlindungan masayarakat adat.

"Karena belum ada UU masayarakat adat, maka masyarakat adat amasuk dalam kerangka hukum dan kebijakan daerah melalui peraturan daerah untuk pengakuan ini. Karenanya, butuh dukungan dari para pihak untuk kesiapan data, kelembagaan pemerintah daerah untuk mendukung hak wilayah masyarakat adat," beber dia.

Selain itu, dalam menetapkan wilayah adat, pemerintah daerah juga dihadapkan dengan keterbatasan biaya. Dalam menjalankan satu peraturan daerah mengenai masyarakat adat pertahun, pemerintah daerah harus menghabiskan biaya sekira Rp700 juta sampai Rp1 miliar petahun. Karenanya, masih sedikit kepala daerah yang mempunyai komitmen kuat untuk melaksanakan pengakuan masyarakat adat.

"Jadi perlu komitmen yang kuat dari kepala daerah untuk melaksanakan pengakuan masyarakat adat. Karena kalau tidak dilaksnakan dengan baik, dana itu akan terbuang sia-sia," ucapnya.

Untuk itu, ia menilai bahwa pemerintah harus secepatnya mengesahkan RUU Masyarakat Adat. Sementara itu, pemerintah daerah yang telah memiliki peraturan terkait masyarakat adat harus menjalankannya dengan konsisten.

"Kecepatan masyarakat adat untuk diakui harus berimbang dengan semua proyek nasional yang saat ini sedang berjalan. Salah satunya, kita tahu bahwa proyek yang sedang berjalan di Pulau Komodo menyingkirkan banyak wilayah adat yang ada di wilayah konservasi dan mengalami tantangan dalam proses verifikasi teknik. Karenanya pengesahan wilayah adat harus secepatnya dilakukan," pungkas dia. (H-2)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zubaedah Hanum

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat