visitaaponce.com

Profil Cak Nun, Sosok Multidimensi yang Jadi Tokoh Reformasi

Profil Cak Nun, Sosok Multidimensi yang Jadi Tokoh Reformasi
Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun saat menghadiri Majelis Ilmu Bangbang Wetan di Surabaya, Jawa Timur, Mei 2023.(Instagram @caknundotcom)

NAMA lengkapnya Muhammad Ainun Nadjib, 70. Namun ia lebih dikenal dengan nama Emha Ainun Nadjib. Sedangkan, Cak Nun nama panggilan akrabnya.

Pada Kamis, 6 Juli 2023, Cak Nun dilarikan ke RSUP Dr Sardjito Yogyakarta karena mengalami pendarahan otak. Kabar tersebut mengagetkan banyak orang, khususnya para Jamaah Maiyah.

Lahir di Menturo, Sumobito, Jombang, Jawa Timur pada 27 Mei 1953 lalu, Cak Nun merupakan putra keempat dari 15 bersaudara yang terlahir dari pasangan Muhammad Abdul Lathief dan Halimah.

Baca juga : Cak Nun Tak Sadarkan Diri, Dirawat Intensif di RS Sardjito Yogyakarta

Ayahnya memimpin lembaga pendidikan dan mengelola TK sampai SMP. Setamat SD, Cak Nun melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo, namun tidak tuntas karena Cak Nun dituduh menjadi penggerak aksi demontrasi santri untuk menentang para guru. Karena alasan itu, Cak Nun dikeluarkan dari pesantren.

Dari peristiwa tersebut, Cak Nun memutuskan untuk melanjutkan ke jenjang SMP melalui lembaga pendidikan yang dimiliki oleh ayahnya hingga kemudian Cak Nun mendapatkan ijazah SMP. Selanjutnya, Cak Nun kemudian melanjutkan pendidikannya hingga ke jenjang SMA di SMA Muhammadiyah I Yogyakarta dengan memilih jurusan Paspal (Ilmu pasti dan pengetahuan alam).

Baca juga : Cak Nun Alami Pendarahan Otak, Kenali 9 Gejala dan 8 Penyebabnya

Tamat dari SMA, Cak Nun kemudian melanjutkan pendidikannya kembali di Fakultas Ekonomi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tetapi, dalam jenjang perkuliahannya ini, Cak Nun hanya dapat bertahan selama empat bulan karena ayahnya mengalami kecelakaan lalu lintas hingga meninggal.

Pada 1978, Cak Nun menikahi Neneng Suryaningsih, seorang penari yang berasal dari Lampung. Keduanya bertemu dalam kegiatan Teater Dinasti, Yogyakarta. Pada 1979, lahir seorang anak laki-laki yang diberi nama Sabrang Mowo Damar Panuluh yang dikenal sebagai vokalis grup band Letto.

Cak Nun berpisah dengan Neneng pada 1985 dan sepuluh tahun kemudian menikahi aktris yang juga penyanyi ternama Novia Kolopaking. Pernikahannya dengan Novia dikaruniai empat anak yaitu Aqiela Fadia Haya, Jembar Tahta Aunillah, Anayallah Rampak Mayesha, dan yang meninggal di dalam kandungan yaitu Ainayya Al-Fatihah.

Tokoh reformasi

Menjelang kejatuhan pemerintahan Soeharto, Cak Nun adalah salah satu tokoh yang diundang ke Istana Merdeka untuk dimintakan nasihatnya, yang kemudian celetukannya diadopsi oleh Soeharto berbunyi "Ora dadi presiden ora pathèken” (Tidak jadi presiden tidak apa-apa).

Setelah Reformasi 1998, Cak Nun bersama Gamelan Kiai Kanjeng memfokuskan berkegiatan bersama masyarakat di pelosok Indonesia. Aktivitasnya berjalan terus dengan menginisiasi Masyarakat Maiyah, yang berkembang di seluruh negeri hingga mancanegara.

Cak Nun bersama Kiai Kanjeng dan Masyarakat Maiyah mengajak untuk membuka yang sebelumnya belum pernah dibuka. Memandang, merumuskan dan mengelola dengan prinsip dan formula yang sebelumnya belum pernah ditemukan dan dipergunakan.

Manusia multidimensi

Cak Nun dikenal sebagai salah satu tokoh keagamaan, penyair, dan budayawan. Tidak hanya itu, ia juga dikenal sebagai seniman, cendekiawan, ilmuwan, sastrawan, aktivis-pekerja sosial, pemikir, dan kyai. Banyak orang mengatakan Cak Nun adalah manusia multidimensi.

Ragam dan cakupan tema pemikiran, ilmu, dan kegiatan Cak Nun sangat luas, seperti dalam bidang sastra, teater, tafsir, tasawwuf, musik, filsafat, pendidikan, kesehatan, Islam, dan lain-lain.

Berikut rentetan karya Emha Ainun Nadjib seperti dikutip dari laman Gramedia.

Puisi
“M” Frustasi (1976); Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978); Sajak-Sajak Cinta (1978); Nyanyian Gelandangan (1982); 99 Untuk Tuhanku (1983); Suluk Pesisiran (1989); Lautan Jilbab (1989); Seribu Masjid Satu Jumlahnya (1990); Cahaya Maha Cahaya (1991); Sesobek Buku Harian Indonesia (1993); Abracadabra (1994); dan Syair Asmaul Husna (1994).

Esai
Dari Pojok Sejarah (1985); Sastra Yang Membebaskan (1985); Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya (1994); Tuhanpun Berpuasa (1995); 2,5 Jam Bersama Soeharto (1998); Segitiga Cinta (2001); Trilogi Kumpulan Puisi (2001); Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan (1998); Ziarah Kebangsaan (1998).

Buku
Mbah Nun Bertutur
Kalau Kamu Ikan Jangan Ikut Lomba Terbang
BH - Kumpulan Cerpen Emha Ainun Nadjib (Cover Baru)
Semesta Emha Ainun Nadjib
Rahman Rahim Cinta
Indonesia Bagian Dari Desa Saya
Apa yang Benar, Bukan Siapa yang Benar
Lockdown 309 Tahun

Teater
Geger Wong Ngoyak Macan (Tahun 1989 mengenai pemerintahan Soeharto).
Patung Kekasih (Tahun 1989 mengenai pengkultusan).
Keajaiban Lik Par (Tahun 1980 mengenai eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern).
Mas Dukun (Tahun 1982 mengenai gagalnya lembaga kepemimpinan modern).

Perannya dalam Teater Salahudin menghasilkan pentas yang berjudul Santri-Santri Khidhir pada tahun 1990, yang mana diperankan oleh Cak Nun di Lapangan Gontor dengan seluruh santri dan dihadiri 35.000 penonton di Alun-Alun Madiun.

Pentas teater Lautan Jilbab pada 1990 yang dipentaskan secara massal di Yogyakarta, Surabaya, dan Makassar.

Pentas Kiai Sableng dan Baginda Faruq pada 1993, Perahu Retak pada tahun 1992 mengenai Indonesia pada zaman Orde Baru yang digambarkan lewat situasi konflik Prakerajaan Mataram di mana naskah teaternya ini dijadikan buku dan diterbitkan oleh Graha Pustaka.

Pentas Di Samping Sidang Para Setan, Pak Kanjeng, dan Duta Dari Masa Depan.

Musik
Album perdana Kiai Kanjeng yang dirilis pada 1995. Dengan lagu andalan Tombo Ati di album yang bertajuk Kado Muhammad.

Album-album lain yang dirilis Kiai Kanjeng terdiri dari Album Kesejukan, Wakafa, Kepadamu Kekasihku (bersama Novia Kolopaking), Allah Merasa Heran, Garuda Sepi (bersama Novia Kolopaking), Hubbu Ahmadin, Liziyaroh Qoshidiina, Pusaka 1 (bersama Novia Kolopaking), Pusaka 2 (bersama Novia Kolopaking), Allah Tuan Rumahku Rasulullah Penjaga Pintunya, Sholawatun Nur, Takbir Akbar, Album Terus Berjalan, Wirid Padhang Mbulan, dan Raja Diraja.

Agama
Cak Nun membuat sebuah wadah untuk menampung permintaan dialog dan diskusi dari masyarakat yang diberi nama Pengajian Padhang Mbulan. Wadah diskusi ini diadakan setiap bulan di kampung halamannya. Forum diskusi dan kajian yang dikembangkan oleh Cak Nun bertransformasi menjadi Jamaah Maiyah.

Jamaah Maiyah pertama kali dilaksanakan di Jakarta dan semakin meluas di berbagai kota di Indonesia. Dari berbagai macam namanya yang berbeda-beda di tiap wilayah seperti Tombo Ati di Surakarta, Paparandang Ate di Sulawesi Selatan, Bangbang Wetan di Surabaya, dan Mocopat Syafaat di Yogyakarta.

Di dalam acaranya, sholawatan menjadi satu agenda wajib. Tak hanya forum kajian dan diskusi yang diadakan, Cak Nun juga mengadakan workshop kecil bagi mereka yang datang dan ikut dalam acara Sinau Bareng. (Z-4)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zubaedah Hanum

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat