visitaaponce.com

Membedah Transformasi Wayang Potehi Jadi Warisan Budaya Tionghoa Berwajah Indonesia

Membedah Transformasi Wayang Potehi Jadi Warisan Budaya Tionghoa Berwajah Indonesia
Founder Rumah Cinta Wayang (Cinwa) Dwi Woro Retno Mastuti memperagakan wayang Potehi(Dok. Forum Sinologi Indonesia)

PROSES demokratisasi yang telah berlangsung di Indonesia sejak negeri ini memasuki era reformasi dinilai membawa dampak positif bukan hanya bagi masyarakat secara keseluruhan, tetapi juga bagi kelompok-kelompok minoritas, termasuk masyarakat etnik Tionghoa yang saat ini sedang merayakan Tahun Baru Imlek

Salah satu dari dampak positif tersebut adalah kembalinya budaya Tionghoa di ruang publik, setelah selama beberapa dasawarsa mengalami pengekangan.

Sebagai respons dari kembalinya kebebasan mengekspresikan budaya dan identitas etnik itu, masyarakat Tionghoa diimbau untuk mengembangkan dan mempopulerkan budaya Tionghoa yang telah mengandung nilai-nilai Indonesia, dan yang telah berakar di Indonesia selama berabad-abad. Salah satu dari budaya tersebut adalah pertunjukan wayang potehi

Baca juga : Cap Go Meh Berbalut Budaya Indonesia

Kesimpulan di atas mengemuka dalam diskusi Cap Go Meh bertema “Wayang Potehi: Budaya Tionghoa dalam Keindonesiaan,” yang diselenggarakan bersama oleh Forum Sinologi Indonesia (FSI) dan Sanggar Budaya Rumah Cinta Wayang (Cinwa), di Jakarta.

Dalam acara tersebut, ketua FSI Johanes Herlijanto menyatakan hadirnya budaya Tionghoa yang bercorak hibrida dan mengandung nilai-nilai keindonesiaan juga akan berdampak secara positif bagi posisi etnik Tionghoa di Indonesia.  

“Karena budaya yang dirayakan tidak lagi memperlihatkan wajah budaya Tiongkok yang asing, namun budaya yang telah menjadi bagian dan mengandung nilai-nilai keindonesiaan, maka masyarakat Tionghoa yang berada di balik budaya tersebut pun akan semakin dipandang sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang utuh,” tutur Johanes.

Baca juga : Rayakan Imlek, Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta (PBTY) Kembali Digelar

Pemerhati Tionghoa yang mengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan itu pun berpandangan bahwa persepsi masyarakat terhadap keindonesiaan etnik Tionghoa akan semakin menguat seiring dengan berkembangnya budaya Tionghoa yang berwajah Indonesia, yang bahkan dirayakan bersama oleh segenap masyarakat Indonesia itu. 

Ahli kebudayaan Tionghoa dari University of Sydney, Australia, Josh Stenberg mengungkapkan hasil penelusuran dan penelitiannya yang memperlihatkan bagaimana wayang potehi, sebuah pertunjukan wayang dengan sarung tangan yang telah menjadi populer di Provinsi Hokien di daratan Tiongkok pada abad-abad yang lalu, bertransformasi menjadi bagian dari budaya dan masyarakat Indonesia. 

Pertunjukan tersebut dibawa oleh para imigran asal Tiongkok ke Asia Tenggara sekitar akhir abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20. Di Indonesia, menurut Stenberg, pertunjukan wayang tersebut pertama kali berkembang di Semarang. Yang menarik, dalam pandangan ahli Tionghoa yang fasih berbahasa Mandarin itu, wayang potehi telah mengalami proses ‘indigenisasi,’ (pempribumian) yaitu sebuah proses yang menjadi budaya yang awalnya berasal dari luar Indonesia menjadi sebuah budaya yang berakar dan mengandung unsur-unsur lokal di Indonesia. 

Baca juga : Tunjukan Toleransi, Bupati Tabanan Dukung Festival Imlek dan Cap Go Meh

“Orang-orang dari Taiwan dan Daratan Tiongkok, yang merupakan negeri asal wayang potehi, akan mengalami kesulitan untuk memahami pertunjukan wayang potehi di Indonesia,” tutur Stenberg. 

Pada sisi lain, menurutnya, diantara orang-orang yang terlibat dalam pertunjukan wayang potehi, termasuk mereka yang mempertunjukannya, terdapat sejumlah besar orang-orang non-Tionghoa. Oleh karenanya, Stenberg berpandangan wayang potehi telah menjadi fenomena “pasca-etnik”, karena meski berasal dari Tiongkok, ia tak lagi dipertunjukan menggunakan bahasa Tionghoa, dan telah mengandung berbagai unsur yang bukan lagi Tionghoa. 

“Potehi telah menjadi sepenuhnya Indonesia. Pertunjukan ini bukan menjadi duta bagi budaya etnik Tionghoa, tetapi sebagai simbol dari budaya antar-etnik,” pungkasnya. 

Baca juga : Ikan Dingkis Jadi Primadona Nelayan Batam Saat Imlek

Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia yang juga Pegiat Wayang Potehi sekaligus Founder Rumah Cinta Wayang (Cinwa), Dwi Woro Retno Mastuti menjelaskan wayang potehi merupakan salah satu seni pertunjukan wayang Peranakan Cina Jawa, yang biasanya digelar di berbagai klenteng di pulau Jawa sebagai bagian dari kegiatan ritual umat Kong Hu Cu. 

Menurutnya, potehi biasanya mengisahkan berbagai mitos dan legenda asal Tongkok, seperti Sie Jin Kwi, Sam Kok, San Pek Eng Tai, dan Li Si Bin. Yang menarik, tutur Woro, kisah-kisah di atas justru ditulis dalam aksara Jawa. Hal ini membuat Ibu Woro mendukung pandang bahwa potehi memang bukan lagi budaya Tionghoa semata, namun telah menjadi budaya Indonesia.
 
“Potehi sudah bagian dari bangsa Indonesia lho, bagian dari keragaman menjadi Indonesia. Karena bahasanya Indonesia, pemainnya Indonesia, pengrajinnya orang Jawa, pendukungnya anak anak muda Indonesia,” tuturnya.  

Oleh karenanya, Woro dan komunitas Rumah Cinwa bertekad untuk terus melestarikan wayang potehi. 

“Karena ini merupakan bagian dari upaya merawat kebhinekaan Indonesia,” pungkasnya.  

Dalam seminar di atas, hadir pula Afdal Ridho Arman, seorang sutradara muda dan praktisi film yang karyanye mengenai potehi ditayangkan dalam seminar tersebut. (Z-Z-5) 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ghani Nurcahyadi

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat