visitaaponce.com

65 Penyandang Disabilitas Dunia terkait Gangguan Pendengaran

65% Penyandang Disabilitas Dunia terkait Gangguan Pendengaran
Pembicara dari komunitas penyandang disabilitas Akar Tuli melatih peserta mempraktikkan Bahasa Isyarat Indonesia.(Antara/Ari Bowo Sucipto)

TREN global mengenai gangguan pendengaran pada anak-anak dan orang dewasa terus meningkat setiap tahun. Momentum perayaan Hari Pendengaran Sedunia (World Hearing Day) yang jatuh pada Minggu (3/3/2024) bertujuan mengajak seluruh masyarakat mengenal pentingnya perawatan telinga dan pendengaran di fasilitas kesehatan primer yang terintegrasi sebagai komponen penting dari cakupan kesehatan semesta atau UHC (universal health coverage).

Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dr Maxi Rein Rondonuwu mengatakan bahwa 65% penyandang disabilitas di dunia disebabkan oleh faktor gangguan pendengaran. Hal ini menyebabkan kerugian sosial dan ekonomi yang cukup besar. "Masalah ketulian yang tidak bisa diatasi juga menimbulkan dampak kerugian sosial-ekonomi. WHO memperkirakan nilainya mencapai hampir US$1 triliun per tahun. Belum lagi ditambah dengan hilangnya waktu pendidikan dan biaya sosial," ujar Maxi dalam konferensi pers Hari Pendengaran Sedunia 2024 di Jakarta pada Jumat (1/3).

Maxi juga memaparkan terkait data dunia mengenai prevalensi gangguan pendengaran yang meningkat setiap tahun dalam kurun waktu 25 tahun terakhir. Data memperlihatkan kenaikan itu terjadi dari 14,3% menjadi 18,1% pada 2015 dari populasi dunia. "Gangguan prevalensi pendengaran menengah dan berat terus meningkat seiring usia bertambah. Ada beberapa faktor risiko yang paling banyak, salah satunya tentu infeksi," ungkapnya.

Baca juga : Cegah Gangguan Telinga Kronik, Cek Pendengaran Setelah Bayi Lahir Perlu Dilakukan

"Ada beberapa faktor risiko yang paling banyak ditemukan yaitu infeksi telinga anak-anak yakni otitis media supuratif kronis. Selain itu ada penyebab sensorineural, semisal rubella, campak, gondok, meningitis, ototoksik, dan paparan-paparan kebisingan di tempat-tempat kerja atau rekreasi," jelasnya.

Penelitian data Riskesdas tahun 2013 mencatat kasus pendengaran pada anak usia 5 tahun ke atas cukup banyak dengan prevalensi sekitar 2,6%. Artinya, dari setiap 100 anak, ada sekitar 2 sampai 3 anak yang mengalami gangguan pendengaran. "Sangat penting untuk melakukan promosi dan sosialisasi terkait peningkatan pengetahuan masyarakat. Harus ada pencegahan penyakit pendengaran melalui tindakan deteksi dini yang efektif sehingga bisa terdeteksi sedini mungkin agar kasus bisa diminimalisasi," tutur Maxi.

Bagi masyarakat yang sudah terdeteksi masalah pendengaran perlu perlindungan pendengaran melalui penyediaan alat bantu dengar dan pelayanan kesehatan prima bagi untuk mencegah dan mengobati gangguan sejak dini. "Penggunaan alat pelindung pendengaran juga sangat penting. Ada pula penyediaan bahasa isyarat yang bisa menjadi salah satu solusi untuk memastikan bahwa orang dengan gangguan pendengaran dapat mengakses informasi dan menyalurkan potensinya," ungkapnya.

Hingga saat ini, Maxi mengatakan pihaknya telah melakukan beberapa upaya untuk mencegah dan mendeteksi dini berbagai kalangan masyarakat dari gangguan pendengaran melalui beberapa tahap mulai dari pembenahan pelayanan prima, penyediaan layanan alat bantu dan jaminan sosial kesehatan, hingga aksesibilitas informasi mengenai pemeriksaan. "Kami terus berupaya meningkatkan kapasitas petugas di layanan primer agar bisa memahami deteksi dini hingga bisa berkomunikasi dengan para disabilitas tuli. Ada juga dukungan regulasi terutama penyediaan alat-alat dengar dan dukungan pembiayaan melalui JKN. Hal yang tak kalah penting yakni penyebarluasan informasi-informasi mengenai pelayanan kesehatan agar setiap orang bisa mengakses pemeriksaan pendengaran secara berkala," ujarnya.

Maxi menyarankan agar masyarakat yang memiliki risiko tinggi untuk terkena gangguan pendengaran seperti orang dewasa di atas 50 tahun atau kaum lansia, seseorang yang bekerja di tempat-tempat bising, hingga mereka yang sering bersentuhan dengan teknologi pendengar seperti headset dan lainnya diharapkan rutin melakukan pemeriksaan secara berkala. "Jika ditemukan sedini mungkin, gangguan pendengaran bisa diminimalisasi dengan penanganan yang tepat dan upaya rehabilitatif. Bagaimanapun gangguan pendengaran merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia, yang mestinya dapat dicegah, diobati, dan diadaptasi melalui skrining dan upaya-upaya preventif melalui pelayanan primer," tandasnya. (Z-2)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Wisnu

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat