visitaaponce.com

Waspada Penyakit Radang Usus, Gejalanya Mirip Diare

Waspada Penyakit Radang Usus, Gejalanya Mirip Diare
Seorang perawat memeriksa infus pasien yang sedang menjalani rawat inap di Rumah Sakit Umum Yarsi di Pontianak, Kalimantan Barat, Selasa (14(ANTARA FOTO/Jessica Wuysang)

KEPEDULIAN terhadap inflammatory bowel disease (IBD) atau penyakit radang usus di dunia termasuk di Indonesia sampai saat ini masih sangat rendah.

Gejalanya sering terabaikan karena mirip dengan gejala diare biasa. Pasien dengan IBD memiliki angka mortalitas 17,1 per 1000 orang per tahun, dibandingkan dengan kelompok kontrol 12,3 per 1000 orang per tahun.

IBD merupakan sekelompok penyakit autoimun yang ditandai dengan peradangan pada usus kecil dan besar. Dalam hal ini, elemen sistem pencernaan diserang oleh sistem kekebalan tubuh sendiri.

Baca juga : 5 Makanan yang Baik Dikonsumsi Saat Diare

IBD merupakan penyakit inflamasi yang memiliki penyebab multifaktorial. Pada dasarnya, IBD terbagi menjadi 3 tipe, yaitu Ulcerative Colitis (UC) dan Crohn’s Disease (CD). Kini terdapat juga tipe yang lain dari IBD, yaitu Colitis Indeterminate (Unclassified).

Pada UC, terjadi peradangan dan luka di sepanjang lapisan superfisial usus besar dan rectum, sehingga sering merasa nyeri di bagian kiri bawah perut.

Sedangkan pada CD, terjadi peradangan hingga lapisan saluran pencernaan yang lebih dalam, sehingga sering merasa nyeri di bagian kanan bawah perut namun pendarahan dari rektum cenderung lebih jarang.

Baca juga : KLB Diare di Pesisir Selatan, 5 Orang Meninggal, 45 Orang Dirawat

Pasien dengan UC mempunyai tendensi 6 kali lebih besar berisiko komplikasi menjadi kanker kolorektal dibanding dengan penyakit radang usus lainnya. Namun, hanya 5% kasus UC berat yang menjadi kanker kolorektal.

Dokter Spesialis Penyakit Dalam & Konsultan Gastroenterologi Hepatologi RS Abdi Waluyo dr Marcellus Simadibrata menyatakan, pada dasarnya, penyebab IBD belum diketahui jelas.

“IBD ini tentu disebabkan oleh gangguan sistem kekebalan tubuh. Namun, kesalahan pada diet dan tingkat stress berlebih juga bisa memicu terjadinya IBD,” katanya dalam acara Seminar Awam “Kiat mendeteksi dan mengatasi penyakit Radang Usus/IBD” yang diselenggarakan RS Abdi Waluyo memperingati World Inflammatory Bowel Disease Day 2024, Senin (20/5).

Baca juga : Kasus Diare dan Pneumonia Tinggi, Menkes Minta Upaya Preventif dengan Imunisasi

Ia menambahkan, faktor keturunan juga berperan dalam IBD meskipun angka penderitanya sangat sedikit. Dalam perkembangannya, kata dr Marcellus, IBD yang dibiarkan bisa memperparah kondisi pasien akibat komplikasi yang ditimbulkan.

Pada UC, penderitanya bisa mengalami toxic megalocon (pembengkakan usus besar yang beracun), perforated colon (lubang pada usus besar), dehidrasi berat dan meningkatkan risiko Kanker Usus Besar.

Pada CD, penderitanya bisa mengalami bowel obstruction, malnutrisi, fistulas, dan anal fissure (robekan pada jaringan anus).

Baca juga : Cegah Diare pada Anak dengan Menjaga Kebersihan Selama Musim Hujan

“Jika kedua jenis IBD ini dibiarkan, keduanya bisa menciptakan komplikasi seperti: penggumpalan darah, radang kulit, mata, dan sendi, serta komplikasi lainnya,” jelasnya.

Diagnosis IBD dibuat berdasarkan keluhan pasien seperti nyeri perut berulang, perubahan pola buang air besar, buang air besar berdarah, serta penurunan berat badan, ditambah dengan pemeriksaan fisik dan penunjang.

Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan di antaranya adalah pemeriksaan feses, darah, radiologi (CT scan dan MRI abdomen sesuai indikasi), dan endoskopi saluran cerna.

“Pasien yang sudah didiagnosis penyakit radang usus akan kemudian dinilai tingkat keparahan penyakitnya menggunakan sistem skoring,” jelasnya.

Tatalaksana penyakit IBD umumnya menggunakan terapi obat (tablet dan injeksi). Namun pada beberapa keadaan diperlukan tindakan operasi/pembedahan atau bahkan dilakukan tatalaksana dengan kombinasi obat-obatan dan pembedahan.

Beberapa jenis vaksinasi direkomendasikan juga bagi pasien IBD sebagai bentuk pencegahan infeksi.

Terkait IBD ini, salah satu hal penting yang juga harus diperhatikan adalah nutrisi bagi pasien. Pada kesempatan yang sama, spesialis gizi klinik RS Abdi Waluyo dr Nathania S. Sutisna mengatakan, beberapa faktor risiko IBD berasal darisisi nutrisi, yaitu akibat seringnya mengkonsumsi ultra processed food dan bahan aditif makanan.

“Oleh sebab itu, pola makan pasien IBD harus diubah dan disesuaikan dengan pengobatan utama. Saat timbul gejala, pasien harus memperhatikan kebutuhan kalori dam protein yang lebih tinggi dibanding saat mereka sehat, serta perhatikan keseimbangan cairan," jelasnya.

Sedangkan saat tanpa gejala (remisi), nutrisi perlu diatur agar dapat mengembalikan status gizi pasien, dan makanan diberikan secara bertahap sambil tetap memantau gejala.

Saat didiagnosis IBD, kata Nathania, pasien perlu memahami bahwa proses peradangan pada penyakit ini dapat mereda jika berkomitmen menjalani pengobatan dan modifikasi gaya hidup.

Salah satunya dengan mengatur pola makan dan nutrisi sesuai dengan tingkatan IBD serta berolahraga.

“Oleh sebab itu, selain kesadaran dan pengetahuan untuk pasien, IBD juga perlu diketahui oleh keluarga dan caregiver sehingga bisa memberikan support dan menjaga kepatuhan bagi pasien, serta dukungan psikososial agar terhindar dari depresi dan kecemasan,” tutupnya. (Ifa)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Reynaldi

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat