visitaaponce.com

Kasus Pertama Swedia Vonis Bersalah Pria Bakar Al-Quran pada 2020

Kasus Pertama Swedia Vonis Bersalah Pria Bakar Al-Qur'an pada 2020
Pengungsi Irak di Swedia Salwan Momika (belakang, kiri) memegang Al-Qur'an ketika polisi dan jurnalis berdiri di sekelilingnya.(AFP/Fredrik Sandberg.)

PENGADILAN Swedia pada Kamis (12/10) memvonis bersalah seorang pria yang menghasut kebencian etnis dengan pembakaran Al-Qur'an pada 2020. Ini merupakan pertama kali sistem pengadilan di negara tersebut mengadili tuduhan menodai kitab suci Islam.

Hukuman tersebut muncul setelah gelombang pembakaran Al-Qur'an awal tahun ini yang memicu kemarahan internasional. Ini menjadikan Swedia sebagai target prioritas, sehingga mendorong badan intelijen negara tersebut untuk meningkatkan tingkat kewaspadaan terornya.

Pemerintah Swedia mengutuk penodaan tersebut tetapi berulang kali menjunjung tinggi undang-undang kebebasan berekspresi di negara tersebut. Pengadilan distrik Linkoping di Swedia tengah memutuskan pria berusia 27 tahun itu bersalah atas, "Agitasi terhadap suatu kelompok etnis," dan mengatakan bahwa tindakannya, "Menargetkan umat Islam dan bukan Islam sebagai agama," dan, "Hampir tidak dapat dikatakan telah mendorong perdebatan yang objektif dan bertanggung jawab."

Baca juga: Irak Minta Swedia Ekstradisi Pembakar Al-Qur'an

Pada September 2020, pria tersebut merekam klip video di luar masjid Linkoping yang memperlihatkan Al-Qur'an dan daging babi dibakar di atas panggangan. Ia pun merendahkan tentang Nabi Muhammad yang tertulis di bawah barbekyu.

Pria tersebut mempublikasikan video tersebut di platform media sosial Twitter, yang sekarang dikenal sebagai X, dan YouTube, dan meletakkan Al-Qur'an dan daging babi yang dibakar di luar masjid Linkoping.  Lagu Remove Kebab digunakan dalam video tersebut. Ini lagu yang populer di kalangan kelompok sayap kanan dan menyerukan pembersihan agama terhadap umat Islam.

Baca juga: OKI Kecam Respons Swedia dan Denmark atas Pembakaran Al-Qur'an

Pengadilan mengatakan, "Musik tersebut sangat terkait dengan serangan di Christchurch," Selandia Baru, pada 2019. Ketika itu seorang supremasi kulit putih Australia membunuh 51 orang di dua masjid.

Pria tersebut membantah melakukan kesalahan. Alasan dia, tindakannya merupakan kritik terhadap Islam sebagai agama.

Namun pengadilan menolak argumen tersebut. "Pengadilan memutuskan bahwa musik yang dipilih untuk film dengan konten seperti itu tidak dapat ditafsirkan dengan cara lain selain sebagai ancaman terhadap umat Islam yang menyinggung keyakinan mereka," tulis pengadilan dalam suatu pernyataan.

"Isi film tersebut dan bentuk publikasinya sedemikian rupa sehingga jelas bahwa tujuan utama terdakwa tidak lain mengungkapkan ancaman dan penghinaan," katanya. (AFP/Z-2)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Wisnu

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat