visitaaponce.com

Revolusi Revolusi Mental

Revolusi Revolusi Mental
Ilustrasi MI(MI/Seno)

ANDA tahu karya akademik ilmu sosial yang paling banyak dikutip sepanjang sejarah? Bukan karya Adam Smith, The Wealth of Nations, yang meletakkan dasar-dasar ekonomi modern itu. Juga bukan magnum opus Karl Marx yang berjudul Das Kapital yang membongkar kontradiksi dalam sistem kapitalisme. Karya tersebut ialah The Structure of Scientific Revolutions. Penulisnya Thomas Kuhn.

 

Revolusi ilmiah

Thomas Kuhn adalah sejarawan dan filsuf terkenal dari Amerika Serikat. Walaupun menyelesaikan pendidikan S-1 hingga S-3 bidang fisika di Harvard College, belakangan dia merasa tidak puas dengan ilmu yang dianggapnya terlalu ‘sempit’ itu. Ketertarikan Kuhn dengan sejarah akhirnya mendorong dia banting setir untuk menekuni studi sejarah perkembangan sains dari satu periode ke periode berikutnya. Pada 1962, Kuhn menerbitkan The Structure of Scientific Revolutions, sebuah karya fenomenal yang mengubah cara pandang terhadap sains, yang selama ini dilihat sebagai aktivitas yang bersifat kognitif dan lepas dari pengaruh sosial politik.

Di dalam buku itu, Kuhn menunjukkan fakta sejarah bahwa sains adalah institusi sosial yang tidak pernah lepas dari kontestasi politik. Dengan mengambil inspirasi dari Ludwik Fleck yang juga terilhami sosiolog Emile Durkheim, Kuhn menawarkan dua argumen utama. Pertama, sains tumbuh dan berkembang melalui suatu kepercayaan kolektif yang dia sebut sebagai paradigma.

Kedua, kemajuan yang dicapai oleh sains merupakan hasil perpindahan dari satu paradigma ke paradigma yang lain (paradigm shift). Perpindahan paradigma inilah yang disebut sebagai revolusi ilmiah (scientific revolution).

Bagi Kuhn, sistem ilmu pengetahuan adalah kumpulan dari berbagai elemen seperti metode, teori, instrumentasi, buku teks, jurnal, dan orang-orang yang mempraktikkan sains. Seluruh elemen ini diikat oleh paradigma yang menentukan bagaimana sains dipraktikkan dan pertanyaan apa yang harus dicari jawabannya dalam eksplorasi sains. Jika seluruh elemen bekerja secara terkoordinasi dengan baik mengikuti suatu paradigma, di situlah sains dapat membangun kekuatan epistemologis untuk mendominasi pengetahuan manusia.

Lalu bagaimana revolusi ilmiah dapat terjadi? Revolusi ilmiah dimulai ketika suatu paradigma mengalami krisis. Biasanya krisis dimulai dari ditemukannya suatu fakta yang tidak sesuai dengan teori dan hukum yang sudah ditentukan oleh paradigma. Fenomena ini disebut anomali. Ketika satu per satu anomali muncul, maka kepercayaan saintis terhadap paradigma yang mereka jadikan acuan mulai mengalami erosi.

Fase ini disebut sebagai krisis. Jika institusi sains gagal merespons krisis dengan baik, seluruh paradigma sains akan mengalami kebangkrutan epistemologis dan akan ditinggalkan oleh pengikutnya. Dari sini muncul pendekatan dan teori baru yang mampu menjawab krisis yang sedang terjadi. Proses revolusi ilmiah berujung pada munculnya paradigma baru yang sepenuhnya menggantikan paradigma lama.

Kontribusi model revolusi ilmiah yang disusun oleh Thomas Kuhn telah membuka tabir tentang bagaimana sains bekerja sebagai suatu institusi sosial. Artinya, sains tidak berbeda dengan institusi sosial lainnya di mana kontestasi antarparadigma merupakan refleksi dari kenyataan sosial yang ada di masyarakat. Dari sini kita bisa menarik benang merah, antara pola revolusi ilmiah dan berbagai bentuk revolusi yang terjadi dalam sejarah umat manusia.

Tentunya ide Kuhn tentang revolusi ilmiah tidak seratus persen autentik. Salah satu pemikir yang memengaruhi cara Kuhn memformulasi revolusi ilmiah ialah Karl Marx lewat beberapa tulisannya tentang revolusi kaum proletarian. Jika kita cermati, gagasan tentang anomali dan krisis yang menjadi fase dalam tahapan revolusi ilmiah tidak berbeda dengan ketimpangan sosial dan kesadaran kelas yang menjadi bibit revolusi kaum proletarian seperti yang digambarkan oleh Marx. Baik revolusi ilmiah maupun revolusi kaum proletarian merupakan konsekuensi dari kejumudan sosial politik yang menghasilkan energi untuk menghancurkan struktur lama dan melahirkan struktur baru. Itulah esensi dari revolusi.

 

Sekadar slogan kosong

Di tahun 2014, Joko Widodo mengeluarkan istilah revolusi mental sebagai slogan dalam kampanye pilpres. Dia mengenalkan konsep revolusi mental sebagai ‘terobosan budaya politik untuk memberantas setuntas-tuntasnya segala praktik-praktik yang buruk, yang sudah terlalu lama dibiarkan tumbuh kembang sejak zaman Orde Baru sampai sekarang’. Presiden Jokowi percaya bahwa revolusi mental dimulai dari ‘masing-masing kita sendiri, dimulai dengan lingkungan keluarga dan lingkungan tempat tinggal serta lingkungan kerja’. Tidak sulit untuk menemukan hal kontradiktif dalam konsep revolusi mental ala Jokowi ini. Di satu sisi, dia mendorong perubahan budaya politik yang kotor. Tapi di sisi lain, dia menginginkan perubahan ini berangkat dari diri kita masing-masing.

Revolusi sejatinya adalah perubahan struktural. Mengacu pada Kuhn dan Marx, perubahan ini diikuti oleh munculnya suatu struktur baru dengan paradigma yang berbeda dengan yang sebelumnya. Lalu, bagaimana mungkin Anda menginginkan perubahan struktural ketika solusi yang ditawarkan bersifat individual?

Karena itu, tidak mengherankan jika revolusi mental tidak lebih dari sekadar slogan kosong yang menjadi bualan kampanye tanpa makna. Pada faktanya, ‘praktik-praktik buruk’ ala Orde Baru justru terlihat secara gamblang saat ini. Mental apa yang direvolusi ketika terjadi pelemahan lembaga antikorupsi dan menurunnya kualitas demokrasi Indonesia? Belum lagi jika kita melihat model pertumbuhan ekonomi yang gagal tumbuh sesuai harapan pada saat utang luar negeri semakin menumpuk. Berbagai proyek infrastruktur yang dikerjakan tanpa perencanaan yang matang tidak memberi efek signifikan terhadap naiknya pendapatan dan kesejahteraan bangsa Indonesia.

Setelah hampir sepuluh tahun pemerintahan berbasis ‘revolusi mental’ mengelola Republik ini, sepertinya kita kembali ke titik nol. Persis seperti pompa bensin. Bukan mengada-ada jika kita mengatakan bahwa revolusi mental adalah proyek mangkrak. Tentu saja kita tidak ingin Indonesia menjadi bangsa yang tertinggal terus di belakang. Karena itu, revolusi mental perlu direvolusi, dan itu meniscayakan suatu perubahan. Bukan sekadar perubahan slogan, tetapi perubahaan fundamental tentang sistem tata kelola, model pembangunan, dan logika keadilan.

 

 

tiser :

Setelah hampir sepuluh tahun pemerintahan berbasis ‘revolusi mental’ mengelola Republik ini, sepertinya kita kembali ke titik nol. Persis seperti pompa bensin. Bukan mengada-ada jika kita mengatakan bahwa revolusi mental adalah proyek mangkrak. Tentu saja kita tidak ingin Indonesia menjadi bangsa yang tertinggal terus di belakang. Karena itu, revolusi mental perlu direvolusi, dan itu meniscayakan suatu perubahan. Bukan sekadar perubahan slogan, tetapi perubahaan fundamental tentang sistem tata kelola, model pembangunan, dan logika keadilan.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat