visitaaponce.com

Kuliner Papua Cerita yang Melengkapi Bumbu Sederhana

Kuliner Papua: Cerita yang Melengkapi Bumbu Sederhana
Chef Cato melakukan persentasi masakan(MI/Rifaldi Putra Irianto)

SELAMA ini kuliner Nusantara dikenal dengan kekayaan bumbunya, ditambah lagi proses memasak unik yang diwariskan dari generasi ke generasi. Sebab itu, jika level kerumitan memasak ialah dasar-menengah-tinggi, level seni memasak Nusantara bahkan di atas itu.

Meski begitu, ada pula kuliner Indonesia yang memikat bukan karena kerumitannya. Kesederhanaan itulah yang menjadi kekuatan kuliner Papua.

Hal tersebut ditunjukkan langsung dalam kegiatan Tradisional Dinner Kuliner Papua yang merupakan bagian dari acara Merayakan Gastronomi Indonesia. Makan malam tradisional itu diolah langsung oleh Charles Toto atau yang dikenal sebagai Papua Jungle Chef. Cato, panggilan akrabnya, selama ini telah dikenal sebagai sosok yang giat mengangkat Papua lewat gastrodiplomasi.

Baca juga : Pasar Pringgodani Balikpapan, Destinasi Unik Belanja Pakai Uang Kayu

“Kami di Papua itu tidak banyak menggunakan bumbu, hanya garam saja, tidak seperti daerah lain. Jadi kami memang sedikit egois dengan rasa kami yang sederhana karena itu merupakan warisan ilmu pengetahuan yang diturunkan nenek moyang,” kata Chef Cato di acara yang digelar di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Minggu (4/2).

Sejak 1997, Cato bersama The Jungle Chef Community kerap kali keluar masuk hutan Papua untuk mencari bahan-bahan makanan yang unik. Pada 2008, ia pernah dipercaya menjadi juru masak dari musikus kawakan Mick Jagger. Ia juga kerap memasak untuk rombongan tamu asing yang berkegiatan di Papua, termasuk artis dan puluhan kru film dari Prancis.

Lebih lanjut, menurutnya, kuliner Papua lebih mengedepankan rasa alami yang dihasilkan dari bahan makanan selama proses pemasakan. Bagi masyarakat Bumi Cenderawasih, cerita di balik sebuah proses pemasakan menghasilkan cita rasa sendiri.

Baca juga : Februari Bertabur Promo di Grand Savero Hotel Bogor

Beberapa teknik memasak tradisional Papua ialah teknik bakar batu, teknik memasak dengan gerabah, bahkan ada proses memasak yang membutuhkan waktu hingga 9 jam. Itu semua menjadi cerita dibalik proses pemasakan.

“Rasa di Papua mungkin tidak sebanyak seperti rasa-rasa dari daerah lain dan saya pikir cerita di balik sebuah hidangan adalah hal penting untuk hidangan Papua karena dari cerita itu membuat rasa yang tidak enak menjadi enak,” ujarnya.

 

Baca juga : Rasakan Kelezatan Thailand, 15 Hidangan Khas yang Menggoda Selera

Ratusan tahun

Dalam acara tersebut, Cato menyajikan swamoning, ayam bakar batu, hingga ikan kuah hitam yang dihidangkan bersama papeda. Swamoning ialah makanan tradisional dari masyarakat Genyem yang terletak di Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua.

Hidangan itu berisi sagu, terubuk, dan parutan kelapa yang dibungkus dengan daun gedi. Secara kasatmata hidangan itu menyerupai buntil yang merupakan makanan asal Purbalingga.

Baca juga : Rise of Royal Dragon di JHL Solitaire: Perayaan Penuh Harapan Tahun Baru Imlek 2024

Swamoning itu makanan yang kaya akan gizi, sudah ada karbohidrat dari sagu, ada proteinnya dari terubuk, serta ada vitaminnya dari daun gedi. Jadi dalam satu makanan sudah lengkap semua gizi,” terang Cato.

Menggigit bagian terdalam swamoning, terubuk terasa seperti singkong. Saat swamoning dicampur dengan saus buah merah, selain bibir Anda akan berubah warna menjadi merah, ada sensasi rasa unik yang lahir.

Hidangan spesial lainnya, ayam bakar batu, berangkat dari teknik memasak suku Dani di Lembah Baliem. Teknik memasak itu sudah berusia ratusan tahun dan umumnya diselenggarakan saat ada peristiwa penting, seperti kelahiran, kematian, perkawinan, hingga ucapan syukur atas hasil panen, dan biasanya menggunakan bahan utama babi.

Baca juga : Sambut Imlek, Ini Tips Buat Lidah Kucing Renyah dari Chef Devina Hermawan

Batu terlebih dahulu di bakar di atas kobaran api sehingga panas. Batu yang digunakan harus yang tebal dan kuat sehingga tidak pecah saat dibakar berjam-jam. Setelahnya, batu dimasukkan ke galian tanah, ditutupi daun pisang, dan barulah ditaruh berbagai umbi-umbian, mulai singkong, talas, hingga ubi ungu. Setelah itu, diulangi lagi diberi lapisan daun pisang dan batu-batu panas.

“Pada layer keempat barulah ditaruh sayur-sayuran. Setelah sayuran masuk, kita isi daging di atas, bisa daging ayam atau babi atau rusa atau bahkan daging burung kasuari. Kemudian ditutup dengan daun pisang sebagai pembatas dan kembali ditaruh batu hingga tertutup rapat,” ujar Cato. Daging diletakkan paling atas agar minyak yang keluar dari daging akan turun membasahi lapisan-lapisan di bawahnya dan memberi cita rasa khas.

Bergeser ke hidangan ikan kuah hitam, dijelaskan Cato, merupakan bentuk asli dari hidangan ikan kuah kuning yang saat ini lebih terkenal. Adanya akulturasi budaya dari daerah luar Papua membuat ikan kuah hitam tergantikan dengan ikan kuah kuning.

Baca juga :  JIP Dukung Festival Kuliner Nusantara

Ikan yang digunakan ialah ikan gabus yang merupakan ikan favorit di kalangan masyarakat Sentani. Ikan itu dimasak dengan alat gerabah dan membutuhkan waktu sekitar 9 jam.

“Karena gabus adalah ikan yang sangat berharga sehingga mereka mendorong ikan itu ketika dikonsumsi harus habis, tidak boleh ada yang tersisa. Karenanya, dimasak selama mungkin sampai tulang ikan gabus juga dapat dikonsumsi,” imbuh Cato. Setelah jadi, tampilan kuah sebenarnya berwarna kecokelatan, tetapi penamaan kuah hitam mengacu pada kulit ikan gabus.

Cita rasa hidangan itu sedikit asin dari garam. Tekstur ikan gabusnya sangat empuk, bahkan tulang mudah dilumat. Proses pemasakan yang sangat lama tampaknya juga yang menghilangkan aroma amis meski bumbu masak yang digunakan hanya garam. (M-1)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat