visitaaponce.com

Buffer Zone TBBM Plumpang Harusnya Bebas dari Permukiman

Buffer Zone TBBM Plumpang Harusnya Bebas dari Permukiman
Sejumlah petugas berada di lokasi kebakaran Depo Pertamina Plumpang, Jakarta Utara, Jakarta, Senin (6/3).(Antara)

PENGAMAT kebijakan publik Agus Pambagio menilai keberadaan area penyangga atau buffer zone sangat penting. Tidak boleh ada permukiman di area tersebut guna menghindarkan adanya korban jiwa jika terjadi ledakan.

“Area penyangga itu sudah diatur Pertamina. Tujuannya, jika terjadi kebakaran atau ledakan tidak menimbulkan korban jiwa. Makanya harus bebas dari permukiman,” kata Agus dalam keterangannya, hari ini. 

Hanya saja, kata dia, dalam perkembangannya, ternyata warga terus mendekati area penyangga. Bahkan sekarang, sudah dipenuhi penduduk sehingga hanya dibatasi tembok beton. 

“Yang tadinya dipergunakan sebagai area penyangga, akhirnya rumah warga menempel. Nah, sekarang meledak. Yang harusnya tidak sampai ada korban penduduk, menjadi ada korban. Loh kok malah Pertamina yang disalahin?” ujar Agus.

Agus menjelaskan lahan tersebut memang milik Pertamina. TBBM Plumpang tersebut dibangun sejak 1970-an dan memiliki luas sekitar 150 hektare. Pada luasan tersebut, 70 hektare digunakan untuk fasilitas Pertamina dan 80 hektare sisanya sebagai daerah penyangga.

“Nah, yang 80 hektare sebagai penyangga tersebut, kemudian di-okupansi masyarakat dengan berbagai macam cara. Akibatnya, luasan kawasan TBBM Plumpang berkurang jauh sekali,” imbuhnya.

Baca juga270 Pengungsi Korban Depo Plumpang Pindah ke Kontrakan

Pengamat tata kota Universitas Trisakti Nirwono Joga sependapat bahwa tanah tersebut memang milik Pertamina. 

Nirwono menerangkan, TBBM Plumpang sudah ada sejak 1974. Keberadaannya sesuai Rencana Induk Jakarta 1965-1985 yakni jarak TBBM Plumpang ke Pelabuhan Tanjung Priok sejauh 5 kilometer. Ketika itu, tanah sekitar depo juga masih kosong dan rawa. Tidak ada permukiman.

“Jadi sudah ditaruh plotnya lokasi dekat dengan distribusi dan pada saat 1974, Rencana Induk Jakarta 1965-1985 sudah menempatkan kiri kanannya sejauh 1-2 km bebas dari permukiman."

"Secara teknis tata ruang sudah tepat. Bahkan dalam Rencana Umum Tata Ruang 1985–2005 posisi tersebut tetap dipertahankan,” tutur Nirwono. 

Nirwono mengindikasikan perubahan tata ruang terjadi sejak 1990-2000. Dan sampai sekarang, permukiman warga semakin mendekat dan merapat.

“Kalau tadinya 1–2 kilometer bebas permukiman, dalam 20 tahun terakhir malah semakin merapat dengan depo. Ini lebih pada faktor ekonomi. Karena depo ini kan mengundang untuk kebutuhan warung, tempat tinggal dan sebagainya,” tutup Nirwono. (RO/S-2)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Sidik Pramono

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat