visitaaponce.com

Efektivitas Belanja Organisasi Pemerintah Daerah Butuh Pembenahan

Efektivitas Belanja Organisasi Pemerintah Daerah Butuh Pembenahan
Sejumlah Aparatur Sipil Negara (ASN), tokoh masyarakat dan tokoh agama mengikuti upacara di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.( ANTARA/Anis Efizudin)

RENDAHNYA ruang ruang fiskal untuk pembiayaan daerah, besarnya biaya berlebihan kelembagaan serta ketidakstabilan kapasitas fiskal menjadi faktor terjadinya birokrasi biaya tinggi di Indonesia.

Kondisi ini membuat Pusat Pelatihan dan Pengembangan Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah Lembaga Administrasi Negara (Puslatbang KDOD LAN) menggelar penelitian.

"Tujuannya untuk melihat bagaimana cost-effective institution (CEI) pemerintah daerah," ujar Kepala Puslatbang KDOD LAN, Mariman Darto, Selasa (7/12), di Samarinda, Kalimantan Timur.

Puslatbang melakukannya dengan dua pendekatan, yakni dengan konsep Hickel yaitu pendekatan pengurangan biaya dan pendekatan kontrol biaya menjadi acuan untuk melihat efektivitas belanja organisasi atau cost-effective institution (CEI).

Penelitian deskriptif dilakukan dengan metode kualitatif, selama delapan bulan. Kapasitas Fiskal Daerah (KFD) serta Indeks Kemandirian Fiskal (IKF) menjadi dasar dalam menentukan daerah yang menjadi lokus penelitian.

Dua kota yakni Kota Yogyakarta dan Kota Bontang, serta empat kabupaten, yaitu Badung, Banyuwangi, Maros dan Belitung merupakan daerah terpilih yang diharapkan dapat mewakili wilayah yang ada di Indonesia.

Hasil kajian dibawa dalam webinar yang digelar, Selasa (7/12). Para pembahas dihadirkan, di antaranya Mudrajad Kuncoro (Universitas Gadjah Mada), Marcelino Pandin (Wakil Ketua AAKI), Andri Mardiah (BAPPENAS), Roy Salomo (Universitas Indonesia), Fadillah Putra (Universitas Brawijaya), dan Herman Suparman (KPPOD).

Mewakili Kepala LAN RI, Deputi Bidang Kajian dan Inovasi Manajemen Aparatur Sipil Negara, Agus Sudrajat mengapresiasi kajian CEI pemerintah daerah yang dilakukan Puslatbang KDOD. "Kajian telah berhasil dituntaskan dengan baik."

Menurut Agus, Kajian ini merupakan kajian yang cukup strategis jika mengingat tantangan desentralisasi fiskal ke depan yang masih memerlukan banyak pembenahan.

Untuk memperkuat kajian ini, menurut Mudrajad Kuncoro diperlukan kejelasan mekanisme cost control serta cost reduction, sehingga besaran efisiensi serta kinerja yang dicapai daerah dapat terukur dengan jelas.

Sejalan dengan hal tersebut Roy Salomo berpendapat bahwa kajian ini perlu dikaitkan dengan AKIP, strategic planning dan management strategic.

Sementara Marcelino Pandin mendorong agar analisis bisa dilakukan sampai ke level “how” dengan contoh “good practice”.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa seluruh lokus kajian telah memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi terhadap kebijakan biaya wajib, khususnya pada sektor pendidikan dan kesehatan.

Pada sisi lain hampir sebagian besar struktur belanja daerah didominasi oleh belanja pegawai dan berada di atas 40%. Hanya Kabupaten Badung yang mampu mempertahakan belanja pegawainya di bawah 30%.

Sementara untuk belanja modal, barang dan jasa, kecenderungannya sama dengan pemerintah pusat, yaitu mengalami peningkatan, bahkan berada di atas rata-rata nasional.

Selain melihat belanja daerah, penelitian ini juga memotret kinerja capaian indikator makro daerah yang terdiri dari pertumbuhan ekonomi, IPM, pengangguran, angka kemiskinan, dan gini ratio pada 2018-2019.

Hasil penelitian juga mendapati di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Badung merupakan daerah yang menunjukkan kinerja yang sudah baik dengan capaian di atas rata-rata nasional.

Untuk Kabupaten Banyuwangi, perlu peningkatan kinerja pada indikator pembentuk IPM agar menyamai capaian nasional. Selanjutnya Kabupaten Belitung perlu mengurangi gap kemiskinan dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Begitu pula dengan Kota Bontang, pertumbuhan ekonominya masih berada di bawah rata-rata nasional yang menyebabkan masih tingginya angka pengangguran.

Adapun Kabupaten Maros, menjadi satu-satunya lokus yang perlu mendorong capaian kinerja pada lima indikator yang telah disebutkan.

"Penelitian ini menyimpulkan bahwa pada prinsipnya seluruh daerah telah menerapkan mekanisme cost reductiondan cost control dengan cara dan strategi pelaksanaan yang bervariasi. Tingginya KFD dan IKF serta baiknya kategori pengelolaan Akuntabilitas Keuangan Instansi Pemerintah (AKIP) tidak serta merta mengantarkan daerah memenuhi kondisi ideal konsep CEI," sambung Mariman Darto.

Hal tersebut bisa dilihat dari kondisi belanja daerah yang tercermin dari sektor pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan sektor unggulan daerah. Selain itu juga dilihat dari aspek belanja pegawai, belanja operasional/barang dan jasa, serta belanja modal.

Menurut Mudrajad Kuncoro diperlukan kejelasan mekanisme cost control serta cost reduction, sehingga besaran efisiensi serta kinerja yang dicapai daerah dapat terukur dengan jelas.

Selain masukan, kajian ini juga mendapat apresiasi dari pembahas. Andri Mardiah menyampaikan bahwa faktor yang mempengaruhi CEI serta barriers to change sudah terpetakan dengan baik.

Selain itu Fadillah Putra berpendapat bahwa rekomendasi penting dari kajian ini salah satunya adalah para pejabat fungsional analis kebijakan dan policy lab menjadi garda terdepan untuk mengawal CEI.

Mengingat konsep CEI masih jarang dibicarakan sebagai salah satu alternatif pengambilan kebijakan, maka Agus Sudrajat mengharapkan agar kajian ini dapat menjadi cara pandang baru mengenai praktik pengelolaan belanja daerah serta bisa menjadi panduan bagi daerah di masa depan. (N-2)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : NUSANTARA

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat