visitaaponce.com

Belajar Merasakan Denyut Nadi Masyarakat

Belajar Merasakan Denyut Nadi Masyarakat
(Dok. Pribadi)

ENAM tahun lalu, ketika masih menjadi guru di salah satu sekolah menengah atas di bagian selatan Jakarta, saya berkesempatan mendampingi anak-anak untuk melakukan kegiatan home stay selama beberapa hari. Tujuan utama kegiatan tersebut ialah mengenalkan anak-anak kepada realitas yang jauh berbeda dengan apa yang mereka hadapi sehari-hari di rumah dan sekolah.

Sebagai gambaran, anak-anak yang saya ajar berasal dari kalangan kelas menengah atas. Mereka bersekolah di tempat yang sangat nyaman, memiliki guru-guru yang dilatih secara regular, berkesempatan belajar tambahan di berbagai lembaga di luar sekolah, biasa liburan ke luar negeri, dan memiliki fasilitas melimpah di rumah. Setiap hari mereka diantar jemput oleh orangtua atau pengemudi. Intinya, hidup mereka supernyaman. Mengusik zona nyaman

Hidup mereka yang nyaman setiap harinya kemudian coba diusik dalam 3-4 hari. Mereka akan tinggal di rumah-rumah penduduk. Anak-anak kemudian dibagi per kelompok untuk tinggal bersama dengan orangtua-orangtua asuh mereka. Sehari-hari, mereka akan mengikuti aktivitas orangtua asuh mereka. Terjun secara langsung merasakan denyut nadi keseharian masyarakat kecil, yang berbeda dengan apa yang dijalani sehari-hari.

Banyak cerita lucu dan seru. Ada seorang siswa yang awalnya tidak bisa masuk ke toilet tempat ia tinggal karena merasa tidak nyaman. Ada yang selalu mengeluh tidak betah dan ingin segera pulang. Ada seorang siswa yang berbisik ke saya dengan lirih, “Pak, rumahnya lebih kecil daripada kamar saya.” Atau, “Pak saya lihat, mereka cuci piring di kolam ikan, padahal itu tempatnya tidak bersih.” Atau, ada yang juga merasa prihatin melihat pekerjaan orangtua tempat tinggalnya.

Dalam progam ini, anak-anak pun diajak untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang mungkin tidak pernah mereka lakukan di rumah, seperti membersihkan fasilitas sekolah, masjid/musala, lapangan, atau jalan. Juga, melakukan aktivitas harian di rumah masing-masing, seperti memasak, membersihkan rumah, dan menyuci piring.

Mereka juga diminta untuk melakukan observasi dan penelitian sosial dan alam yang terkait dengan kegiatan masyarakat ataupun kondisi alam di tempat mereka tinggal. Ada yang meneliti soal pendidikan, pekerjaan, politik, kondisi tanaman, dan hewan, serta berbagai hal lainnya. Di sini, mereka meneliti dengan tekun peristiwa sosial dan lokus alam di lokasi tinggal masing-masing.

Program lain yang dilakukan anak-anak ialah mengajar di sekolah dan musala atau masjid di dekat tempat mereka tinggal. Mereka bercerita, mengajar bahasa Inggris, membaca Iqra dan Alquran, serta berolahraga bersama. Mereka membaur dengan para warga mulai anak-anak sampai orang dewasa.

Para guru memosisikan diri sebagai fasilitator, menjamin semua proses berjalan lancar dan aman. Para guru me nemani para siswa berinteraksi dengan masyarakat. Anak-anak dibawa untuk berjumpa dengan beragam kalangan di desa tempat mereka tinggal. Mereka belajar tentang berbagai hal langsung dari kehidupan.

Tiga sampai empat hari tersebut ialah momen mereka dicerabut dari zona nyaman mereka, diajak untuk menghadapi realitas Indonesia yang beragam. Kesadaran sosial ini coba dibentuk sekolah agar anak-anak tetap menyadari bahwa Indonesia tidak seragam. Ada banyak hal yang dapat mereka pelajari langsung ketika terjun ke masyarakat.

Keperdulian terhadap sesama tidak hanya dibentuk melalui ceramah-ceramah di ruang kelas, tetapi dalam aktivitas nyata dengan anak-anak merasakan secara langsung berbagai problematik yang ada di masyarakat.


Berjumpa dan belajar

Anak-anak tersebut punya peluang besar untuk menjadi pemimpin di masa depan. Menghadirkan Indonesia dengan segala kompleksitasnya menjadi sangat penting bagi mereka. Program itu menjadi bagian penting untuk menghadirkan perspektif keindonesiaan yang ragam.

Perjumpaan dengan ragam kalangan yang berbeda kelas sosial ini menjadi bagian penting dalam penumbuhan kesadaran sosial bagi anak-anak. Mereka hidup di dunia yang kompleks dan membutuhkan uluran dan bantuan semua pihak yang peduli. Mereka melihat secara langsung masyarakat yang, meskipun memiliki keterbatasan, berupaya untuk mencintai hidup.

Secara langsung, mereka juga diajak untuk menyadari bahwa segala fasilitas yang mereka miliki merupakan privilege (privilese) yang tidak semua orang miliki. Dengan privilege tersebut, mereka harus bisa berbuat lebih banyak untuk sesama, untuk kemanusiaan.

Perjumpaan dengan ragam masyarakat menjadi bagian penting, agar anak-anak tidak kehilangan sensivitas mereka dalam berempati kepada masyarakat yang serbakekurangan. Anak-anak dibawa untuk mengalami secara langsung agar mereka memiliki keeratan secara emosional dengan sesama anak bangsa.

Pengalaman ini menjadi bagian penting agar mereka tidak tercerabut dari akar budaya Indonesia. Daoed Joesoef (2016) menyebut bahwa pendidikan berarti suatu proses yang membiasakan manusia sedini mungkin untuk mengakui, mengenal, mempelajari, menguasai, dan menerapkan nilai-nilai yang diakui berguna bagi kehidupan pribadi, keluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan beragama.

Jika merujuk pada per \nyataan tersebut, membawa anak untuk melakukan perjumpaan fisik dan mental menjadi bagian penting untuk belajar secara langsung tentang posisi mereka sebagai bagian dari Indonesia yang beragam.

Dalam pandangan Tilaar (2012) proses belajar, merujuk pada pandangan pedagogik transformatif, merupakan proses komunikatif dan dialogis antara individu dan dunia kehidupan, proses yang aktif, serta suatu petualangan. Di sini, anak-anak berjumpa, berkomunikasi, dan berdialog dengan rupa-rupa wajah dan realitas sosial.

Tantangan yang semakin berbeda tentu dihadapi di situasi pandemi ini, dengan perjumpaan diharapkan seminimal mungkin. Pada posisi ini, sekolah-sekolah, terutama yang memiliki kelebihan fi nansial, harus berupaya mengajak anak-anak untuk peduli terhadap kehidupan masyarakat di sekitar mereka.

Melihat banyak akun Instagram sekolah-sekolah yang aktif berkampanye tentang covid-19, menggalang dana untuk mereka yang kesulitan menimbulkan rasa optimistis terhadap masa depan bangsa ini. Proses belajar memang tidak bisa hanya bersifat akademis.

Proses belajar juga bagian dari dialektika, yang membuat mereka berpikir untuk memikirkan nasib orang-orang kecil di sekitar mereka. Proses ini tentu tidak instan, tetapi perlu diupayakan institusi sekolah.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat