visitaaponce.com

Hilangnya Nama Soeharto

Hilangnya Nama Soeharto
M Ilham Gilang(Dok pribadi)

KEPUTUSAN Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara menuai kritik dari sejumlah kalangan, tidak terkecuali pengamat sejarah. Berbagai forum diskusi untuk membedah beleid ini pun digelar. Salah satunya yang terhangat ialah seperti webinar Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) yang mengetengahkan tajuk Keppres No. 2 Tahun 2022: Antara Sejarah dan Kekuasaan.

Kalangan pemerhati sejarah umumnya melayangkan kritik yang tertuju pada bagian huruf C Keppres Nomor 2 Tahun 2022 yang isinya; Peristiwa Serangan Umum I Maret yang digagas oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan diperintahkan oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman serta disetujui dan digerakkan oleh presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta dan didukung oleh Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, laskar-laskar perjuangan rakyat dan segenap komponen bangsa Indonesia lainnya, merupakan bagian penting dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang mampu menegakkan kembali eksistensi dan kedaulatan Negara Indonesia di dunia internasional serta telah berhasil menyatukan kembali kesadaran dan semangat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

Ketiadaan nama Soeharto dalam huruf C Keppres Nomor 2 Tahun 2022 menjadi salah satu alasan keberatan dari sejumlah pengamat sejarah. Padahal Soeharto yang ketika itu berpangkat letnan kolonel berperan sebagai komandan Wehkreise (lingkaran pertahanan) III yang membawahi teritorial Jogjakarta sebagai pusat konsentrasi operasi Serangan Umum 1 Maret (SU 1 Maret) 1949.

Selain menyoroti ketiadaan nama Soeharto dalam Keppres, sejumlah pengamat sejarah juga menyayangkan mengapa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) pimpinan Syafrudin Prawiranegara tidak dituliskan dalam poin C. Karena tanpa menyebutkan PDRI, berarti eksistensi Indonesia menjadi dipertanyakan.

Kritik juga ditujukan terhadap peran Soekarno dan Hatta dalam peristiwa SU 1 Maret yang justru tercantum dalam Keppres. Mengingat kedua proklamator ini saat itu sedang menjadi tawanan Belanda. Jadi dalam konteks peran inisiatif dan perintah, baik Soekarno maupun Hatta dianggap tidak memiliki andil apa-apa dalam peristiwa serangan umum. 

Atas hal itu, ada sejarawan yang meminta agar Keppres ini direvisi karena dinilai tidak sesuai dengan fakta sejarah. Revisi itu dipandang perlu mengingat dikemudian hari, bukan tidak mungkin Keppres ini akan dijadikan sebagai salah satu sumber rujukan historiografi tentang peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949. Sebagaimana lazimnya sumber sejarah, haruslah memuat data historis yang objektif yang didasarkan pada fakta-fakta sejarah sebagaimana aslinya.

Naskah akademik

Sebenarnya bila kita membaca naskah akademik Keppres No. 2 Tahun 2022, di situ memang dituliskan deretan nama yang dianggap memiliki peran penting, baik sebelum maupun ketika peristiwa SU 1 Maret itu terjadi. Seperti Syafrudin Prawiranegara (Ketua PDRI), Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Jendral Suderman, AH Nasution, dan nama-nama penting lainnya. Sementara nama Soeharto disebutkan sebanyak 48 kali di dalam naskah akademik.

Soeharto yang saat itu membawahi wilayah tempur III berperan langsung dalam memimpin serangan dari sektor barat. Tetapi di luar Soeharto, terdapat nama-nama lain yang juga punya peran penting dalam merancang dan menggerakan operasi seperti Kolonel Bambang Sugeng (Kepala Divisi III), Kolonel TB Simatupang, Mayor Ventje HN Sumual, dan beberapa tokoh militer lainnya.

Jelas bahwa penyebutan nama dalam Keppres Nomor 2 Tahun 2022 mengarah pada kecenderungan pengulangan terhadap tereduksinya tokoh lain yang juga punya jasa dalam serangan umum. Harusnya pemerintah mengetahui lembaran Keppres hanya memiliki kapasitas ruang yang terbatas, mengapa tetap dituliskan nama-nama tokoh yang dianggap berperan?

Pokoknya sejarah

Seharusnya penulisan nama tokoh cukup diuraikan dalam naskah akademik saja. Sementara Keppres cukup berisi uraian esensial tentang muatan pokok yang perlu diketahui publik. Dengan begitu kesan tereduksinya sejumlah tokoh yang berperan dalam peristiwa SU 1 Maret 1949 tidak terjadi. Sebaliknya bila Keppres menyebutkan nama segelintir tokoh, yang ada bukan saja pengulangan terhadap kesan terpinggirkannya tokoh lain yang juga punya peran, tetapi juga akan memunculkan persepsi yang bias kepentingan penguasa. 

Selain itu, hal penting lainnya yang perlu disoroti disini ialah dalam proses pembuatan naskah akademiknya yang dirasa kurang partisipatif. Akan lebih baik bila setiap produk hukum yang berkaitan dengan topik sejarah nasional agar dibuka dan diuji publik. Sehingga dalam prosesnya melibatkan secara aktif semua pihak, khususnya para pegiat sejarah yang tersebar diberbagai institusi dan lingkaran kajian.

Para penyusun naskah akademik dan para pendidik di bidang ilmu sejarah tidak boleh anti untuk berdiskusi, tidak boleh anti untuk saling mengadu data, serta jangan ragu untuk mengemukakan sudut pandangnya terhadap suatu peristiwa sejarah. Bila memang terdapat argumentasi baru, sampaikanlah argumentasi itu diberbagai ruang diskusi, dan diberbagai media, agar menjadi pengetahuan masyarakat luas. Sebab keinginan untuk menanamkan semangat persatuan dan nasionalisme tidak akan tercapai bila akses pengetahuan bagi masyarakat tentang sejarahnya saja begitu minim.

Terlebih di Indonesia ini terdapat banyak begawan-begawan sejarah yang tidak muncul ke permukaan. Sebagian masih terlihat malu-malu untuk tampil di hadapan publik. Sebagian lainnya bahkan cenderung mengasingkan diri di kampus-kampus. Para pertapa sejarah itu harus dikeluarkan dari ruang kesendiriannya. Karena mereka punya tanggung jawab besar mengedukasi publik melalui sejarah. Mereka harus tampil reaktif menjawab setiap persoalan yang berhubungan dengan topik dan momentum hari bersejarah. Tujuannya ialah agar masyarakat memperoleh sudut pandang yang lebih kaya tentang sejarah nasionalnya.

Karena di negeri ini, masih terdapat banyak topik sejarah dalam berbagai kurun waktu dan peristiwa yang masih terselimuti kabut tebal. Selain itu yang terpenting, jangan sampai narasi sejarah kita hanya bersumber dari sejarawan atau pengamat sejarah yang itu-itu saja. Pokoknya berbicara sejarah padahal sarat muatan kepentingan-kepentingan di luar pokok sejarahnya.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat