visitaaponce.com

Menjahit Asa Masa Depan Penyandang Hemofilia

Menjahit Asa Masa Depan Penyandang Hemofilia
Pudjo Hagung Widjajanto(Dok pribadi)

MENGULIK sejenak ke belakang pada setiap 17 April menjadi tanggal penting peringatan hari hemofilia sedunia. Ajang ini memiliki tujuan untuk mengangkat kesadaran dan menciptakan masa depan yang lebih baik bagi penderitanya. Untuk tahun ini mengangkat tema Access for All: Partnership. Policy. Progress. yang berfokus untuk melibatkan pemerintah dalam mewujudkan akses pengobatan yang berkelanjutan dan berkeadilan bagi pasien hemofilia. Lantas, bagaimana pelayanan pengobatan hemofilia saat ini di Indonesia?

Hemofilia merupakan penyakit gangguan pembekuan darah yang terjadi akibat defisiensi faktor pembekuan (clotting factor) di dalam tubuh. Penyakit ini bersifat diwariskan dan hanya mengenai individu laki-laki, sedangkan perempuan menjadi pembawa sifatnya (carrier). Hingga akhir 2020, data Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI) mencatat ada sebanyak 2.776 penyandang hemofilia di Indonesia. Jumlah tersebut diperkirakan hanya 10 persen dari total estimasi pasien, yaitu 20.000–25.000 kasus. Dengan prevalensi 1 dari setiap 10.000 kelahiran hidup, hemofilia dikategorikan sebagai penyakit langka.

Menurut Survei Global Tahunan Federasi Hemofilia Sedunia, di Indonesia hanya 8,3% pasien hemofilia yang baru terdata. Hal ini disebabkan karena deteksi dan diagnosis hemofilia yang masih rendah. Namun, sejalan dengan peningkatan pelayanan kesehatan, pengetahuan, dan kepedulian masyarakat Indonesia terhadap masalah kesehatan, maka temuan kasus baru penyandang atau individu dengan hemofilia (IDH) semakin meningkat. Walaupun hingga saat ini belum dapat disembuhkan, hemofilia dapat dikendalikan, sehingga risiko disabilitas yang mengganggu kualitas hidup dapat dihindari.

Penanganan hemofilia di sebagian besar fasilitas kesehatan, umumnya masih dilakukan dengan injeksi konsentrat faktor pembekuan secara on demand ketika perdarahan terjadi dan kemudian dilanjutkan dengan manajemen pascaperdarahan untuk mencegah gejala sisa atau kecacatan. Namun, dalam banyak kasus, penyembuhan jaringan pasca perdarahan tidak sempurna, sehingga rentan terjadi perdarahan berulang yang mempertinggi risiko kerusakan muskuloskeletal (sendi dan/atau otot) dan disabilitas.

Untuk mengurangi risiko kerusakan tersebut, banyak negara maju dan berkembang telah menerapkan kebijakan penggunaan profilaksis, didukung dengan ketersediaan pengobatan yang optimal, dan tim pelayanan hemofilia terpadu. Pemberian terapi untuk hemofilia secara profilaksis dilakukan secara periodik dalam waktu tertentu untuk mencegah terjadinya perdarahan. 

Pemberian terapi profilaksis sering kali menggunakan faktor pembekuan darah yaitu Faktor VIII untuk hemofilia A atau Faktor IX untuk hemofilia B secara injeksi intravena atau infus, dan bypassing agent seperti konsentrat faktor VIIa rekombinan (rFVIIa), atau konsentrat kompleks protrombin (aPCC) secara injeksi intravena yang diberikan di fasilitas kesehatan. Di Indonesia, saat ini juga terdapat terapi baru non-faktor (emicizumab) yang diberikan melalui suntikan subkutan, sehingga tidak memicu terbentuknya antibodi/inhibitor terhadap faktor pembekuan yang dapat membuat terapi tidak efektif.

Adanya berbagai alternatif terapi ini telah dimasukkan ke Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana Hemofilia yang disahkan Kementerian Kesehatan melalui Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/243/2021 pada 5 Februari 2021. Di dalamnya, telah dijelaskan mengenai rekomendasi pemberian terapi profilaksis pada hemofilia.
 
Mengatasi kesenjangan

Tidak dapat dipungkiri, program Jaminan Kesehatan Nasional yang dikelola BPJS Kesehatan telah nyata memberikan perubahan dan perbaikan pelayanan hemofilia di Indonesia. Faktor pembekuan mulai tersedia di rumah sakit (RS) baik rujukan tersier maupun di faskes tingkat II atau RSUD.

Sayangnya, hingga kini pelayanan pasien hemofilia belum merata di RS seluruh Indonesia di mana sebagian besar masih terdapat di pulau Jawa. Selain itu, beberapa RS mulai memberlakukan pembatasan penyediaan faktor pembekuan yang bisa diakses oleh IDH karena alasan biaya tinggi yang tidak sebanding dengan klaim yang dibayarkan oleh BPJS. Sementara, hanya segelintir IDH yang mampu membeli faktor pembekuan dengan kantong sendiri.

Pembatasan jumlah akses faktor pembekuan menyebabkan dosis dan penanganan pascapendarahan yang diberikan menjadi substandar. Keadaan ini tidak sesuai dengan praktik kedokteran yang baik dan akan membawa kerugian bagi produktivitas, kualitas hidup IDH, serta pemerintah yang telah menyiapkan fasilitas dan biaya.

Lebih lanjut, kebutuhan terapi profilaksis, baik dengan faktor pembekuan maupun agen non-faktor, juga belum terpenuhi. Meskipun terapi profilaksis dianggap lebih mahal, tetapi memberikan luaran klinis yang lebih baik dan secara total pembiayaan kesehatan lebih efisien karena dapat mencegah berbagai komplikasi. 

Bahkan, Federasi Hemofilia Sedunia telah merekomendasikan terapi profilaksis untuk mencegah terjadinya perdarahan, kerusakan sendi, dan mempertahankan fungsi muskuloskeletal normal (level of evidence 1b, tingkat rekomendasi A). Dengan kata lain, pemberian terapi profilaksis dapat memberikan kualitas hidup yang lebih baik pada IDH dibandingkan secara on demand.

Implementasi pelayanan yang sesuai standar medis seharusnya lekas dapat diwujudkan sepenuhnya. Dengan demikian, kesejahteraan serta kualitas hidup IDH di Indonesia dapat semakin meningkat menyamai individu tanpa hemofilia; bukan hanya sebagai warga negara yang sama, melainkan karena hakikatnya kita semua adalah sesama.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat