visitaaponce.com

Refleksi Strategis Kekuatan Bawah Laut Indonesia

Refleksi Strategis Kekuatan Bawah Laut Indonesia
Hasan Sadeli(Dok pribadi)

PERISTIWA memilukan yang menimpa KRI Nanggala 402 bersama 53 awaknya pada 21 April 2021 masih membekas dalam ingatan kita. Kegiatan doa bersama pun dilaksanakan oleh TNI AL untuk mengenang satu tahun tenggelamnya KRI Nanggala pada Rabu (21/4). Sebelumnya TNI AL juga telah membuat monumen KRI Nanggala 402 yang diresmikan oleh Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Yudo Margono Januari lalu.
 
Perasaan kehilangan yang sangat besar jelas dirasakan oleh TNI AL. Hal ini mengingat keberadaan KRI Nanggala yang sudah menjadi simbol pertahanan perairan Indonesia selama empat dekade lamanya. Ketiadaan KRI Nanggala 402 membuat Indonesia hanya tinggal memiliki sisa empat kapal selam saja. Keempat kapal selam yang tersisa itu terbagi menjadi dua kelas yakni kelas cakra (KRI Cakra 401), dan kelas Nagapasa/Improved Chang Bogo Class (KRI Nagapasa 403, KRI Ardadedali 404, dan KRI Alugoro 405). 

Refleksi strategis

Satu tahun adalah waktu yang cukup bagi Indonesia dalam melakukan refleksi strategis dan merancang proyeksi pertahanan maritimnya. Akan tetapi belum terdengar langkah strategis dari kebijakan pemerintah di bidang pertahanan maritim, khususnya yang berkaitan dengan rencana pengadaan kapal selam baik dalam skala menengah maupun jangka panjang. Padahal kebutuhan Indonesia terhadap kapal selam baru menurut saya bersifat mendesak.

Empat kapal selam itu jelas terlalu sedikit untuk menjaga keseluruhan luas perairan Indonesia. Bahkan untuk menjaga laut teritorial saja akan sangat kewalahan dengan perbandingan 1:72500 km persegi. Artinya satu kapal selam dibebankan tanggungjawab untuk menjaga laut teritorial seluas 72.500 km persegi. Itu baru laut teritorial. Belum lagi bila diharuskan bertugas di zona tambahan sejauh 24 mil atau lebih jauh lagi di wilayah zona ekonomi ekslufsif, sesuatu yang akan melahirkan angka perbandingan penjagaan keamanan menjadi semakin tidak logis.   

Bisa dikatakan bahwa kondisi pertahanan di perairan (bawah laut) kita sedang dalam kondisi mengkhawatirkan. Sebab keberadaan kapal selam dengan jumlah ideal memiliki fungsi pengawasan terhadap segala aktivitas yang berpotensi mengancam kedaulatan. Selain itu efek penggentar (deterrent effect) yang dimiliki kapal selam dapat mencegah pihak asing agar tidak main-main di wilayah perairan Indonesia. 

Untuk diketahui bahwa efek penggentar kapal selam adalah efek paling logis serta paling realistis yang menjadi sumber kekhawatiran terbesar pihak musuh. Musababnya adalah karena kapal selam dirancang untuk tidak terdeteksi (stealth). Sederhananya, suatu negara bila mengumumkan telah membeli atau membuat alutsista canggih, negara tetangga atau negara pesaingnya akan langsung gugup dan gentar. Efek gentar semakin bertambah manakala alutsista tersebut bersifat sulit dideteksi. 

Dari sinilah keunikan kapal selam, pembelian atau pembuatannya diumumkan tapi keberadaannya tersembunyi. Itu sebabnya suatu negara yang memiliki kapal selam serasa memiliki senjata setengah rahasia. Keberadaan kapal selam dengan jumlah ideal jelas berguna sebagai pengawas penuh suatu negara atas perairan yang juga mencakup wilayah bawah laut.     

Sebaliknya minimnya jumlah kapal selam akan berbanding lurus dengan minimnya pengawasan terhadap aktivitas bawah laut. Bila sudah demikian maka pihak asing tidak lagi merasa khawatir (tidak gentar) untuk mengeksplorasi wilayah bawah laut Indonesia. Ini merupakan situasi berbahaya yang tidak boleh dibiarkan terlalu lama. Mengingat peta keamanan geopolitik utama kita tidak lain ialah di perairan. Mengabaikan aspek kekuatan armada maritim khususnya bawah laut merupakan kesalahan fatal. 

Program pengadaan kapal selam baru sudah seyogyanya menjadi rencana prioritas pemerintah di bidang pertahanan. Tetapi yang nampak sangat bergeliat justru aktivitas pertahanan udara setelah Indonesia mengaktivasi kontrak pembelian 42 jet tempur Rafale dengan nilai lebih dari Rp100 triliun. Sementara pembangunan armada maritim berjalan stagnan. Kalaupun terdapat penambahan alutsista dalam beberapa tahun terakhir, itu hanya didominasi oleh jenis kapal permukaan.  

Sementara pengadaan kapal selam terbilang lamban. Padahal sejak dahulu lautan terutama bawah laut dijadikan sebagai akses bagi aktivitas pengintaian maupun infiltrasi militer antar negara. Serangan besar-besaran atau perang besar selalu merupakan kelanjutan dari upaya pemetaan kekuatan yang dimulai diperairan. Di masa lalu Belanda telah mencontohkan upaya-upaya untuk memagari Indonesia (Hindia) dari berbagai potensi yang mengancam di perairan. 

Belajar dari Belanda

Belanda rela untuk merogoh kocek dalam-dalam demi mempertahankan Hindia Belanda dari ancaman musuh luar. Mereka mengeluarkan suatu rancangan kebijakan di bidang pertahanan maritim setelah melakukan kajian selama lebih dari satu dekade lamanya. Kajian yang dilakukan oleh beberapa komisi itu terjadi ecara estafet dengan tugas masing-masing. Salah satu komisi yang secara khusus mengkaji secara detail kebutuhan armada pertahanan ialah Komisi Gooszen (Gooszen Commision). 

Komisi Gooszen melakukan kajian khusus tentang aspek teknis kebutuhan alutsista sejak 1919 sampai 1922. Hasilnya sebagaimana yang disodorkan kepada komisi yang merancang UU Armada (Vlootwet) ialah rincian pengadaan yang didominasi oleh kapal selam sebanyak 16. Alusista lain seperti kapal perang jenis cruiser dan kapal pengintai hanya diusulkan masing dua dan enam. Rencana pengadaan alutsista maritim itu direncanakan dimulai pada 1924. 

Semula Belanda siap dengan jumlah anggaran fantastis yang nilainya lebih dari 120 juta gulden. Tetapi kemudian terjadi penolakan dari oposisi yang menggalang dukungan di dalam parlemen Belanda dan penolakan melalui demonstrasi massa dengan jumlah besar. Penolakan itu terjadi karena anggaran yang diperlukan untuk merealisasikan rencana ambisius tersebut terlampau besar dan estimasi waktu yang terlalu singkat yakni sekitar 10-12 tahun. 

Penolakan itu juga meluas menjadi penekanan dari Inggris dan Amerika Serikat (AS) yang  menyatakan agar Belanda bersikap realistis untuk bergabung dengan aliansi ketimbang melakukan pembangunan armada maritim. Di luar kegagalan Belanda dalam merealisasikan RUU Armada, setidaknya ada dua hal mendasar dan penting untuk kita pelajari.
 
Pertama, bahwa kajian yang mereka lakukan selama bertahun-tahun menghasilkan suatu keputusan tentang pentingnya menomorsatukan keberadaan armada laut. Belanda mengetahui persis setiap jengkal pertahanan Indonesia tidak lain adalah perairannya. Karena itu rincian alutsista sebagaimana tertuang dalam draft RUU Armada memberikan kita suatu gambaran bahwa skema itu bertolak dari fakta geografis Indonesia.  

Kedua, Belanda memperhitungkan secara khusus desain pertahanan efektif bagi wilayah yang dikelilingi perairan melalui keberadaan kapal selam dengan jumlah ideal. Uraian kebutuhan kapal selam dalam rencana pengadaan Vlootwet  memperkuat analisa pentingnya kekuatan bawah laut dalam menjaga kedaulatan wilayah. 

Sebenarnya memang tidak perlu jauh-jauh melihat peta jalan kebijakan pada masa kolonial. Karena terdapat contoh pada masa yang terbilang lebih kontemporer. Pada masa Orde Lama misalnya, Indonesia pernah memiliki 12 kapal selam kelas Whiskey yang membuat Indonesia menjadi negara terkuat di Asia Tenggara pada masa itu. 

Penting tidaknya suatu kajian di masa lalu sangat bergantung dari rencana dan kemauan Indonesia dalam membangun kekuatan pertahanannya. Yakni suatu postur pertahanan yang tidak saja berpedoman pada karakteristik geografisnya, melainkan bagaimana keberadaan suatu alutsista dapat memberikan keuntungan bernilai strategis.  

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat