visitaaponce.com

KUPI II Beragama dengan Menyesuaikan Tuntutan Zaman

KUPI II: Beragama dengan Menyesuaikan Tuntutan Zaman
(Dok. Pribadi)

AGAMA Islam pernah mencapai masa keemasan dan masa kemundurannya di era silam. Kemunduran tersebut dicatat sejarah sebagai akibat dari fanatisme terhadap ajaran agama yang berlebihan dan perebutan kekuasaan politik yang ‘tak berkesudahan. Kondisi ini melahirkan para pemikir dan mujadid yang memiliki gagasan serta gerakan terhadap penafsiran agama yang lebih responsif dengan tuntutan zaman. Pintu ijtihad dibuka selebar-lebarnya, disertai dengan penguasaan terhadap sains dan teknologi terbarukan yang dilakukan oleh umat muslim di era kontemporer saat ini.

Keberadaan KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia) merupakan salah satu bukti nyata adanya gerakan pembaruan dalam konteks intelektual muslim Indonesia. Melalui berbagai perkembangannya sejak dibentuk pada 2017, KUPI II yang akan diadakan November mendatang di UIN Walisongo Semarang dan Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari Bangsri Jepara, berhasil mengusung isu-isu yang bersifat ‘genting,’ yang hasilnya diharapkan dapat bermanfaat bagi kemaslahatan umat.

Isu yang diangkat merupakan isu-isu sosial, isu yang kerap dikaitkan dengan narasi-narasi agama yang tidak berkeadilan. Narasi agama yang kerap dipergunakan pihak-pihak tidak bertanggung jawab untuk pemenuhan hajat diri dan kelompok. Dengan menggunakan metodologi, pendekatan, dan analisis khas KUPI, para tokoh berhasil merumuskan dan menghasilkan hasil musyawarah (fatwa) yang berkaitan dengan kebangsaan, kemanusiaan, dan kesemestaan.

Lima hasil musyawarah utama yang dihasilkan dalam KUPI II ini fokus pada persoalan pengelolaan dan pengolahan sampah untuk keselamatan perempuan dan kehidupan. Kemudian pelibatan perempuan dalam pencegahan ekstremisme untuk merawat NKRI, pemaksaan perkawinan pada perempuan, perlindungan jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan, dan melindungi perempuan dari bahaya pelukaan dan pemotongan genitilia perempuan. Para tokoh dan pemangku kepentingan pada KUPI II menentukan isu-isu pokok tersebut berdasarkan tingkat kedaruratan, kemaslahatan, dan keterkaitannya terhadap isu-isu lainnya secara luas.

Menjadi gerakan yang bersifat substansial, KUPI II merangkul hampir seluruh elemen masyarakat, baik tokoh masyarakat, pemuka agama, pendidik, aktivis, pengamat, akademisi, influencer, pengasuh pondok pesantren, jurnalis, birokrasi pemerintah, organisasi masyarakat, dan lain sebagainya. Hingga tidak mengherankan jika banyak dukungan yang diberikan untuk kerja ideologis dan praksis yang dilakukan oleh KUPI.

Buya Husein Muhammad selaku dewan penasehat KUPI selalu menekankan pentingnya menggunakan pendekatan-pendekatan tafsir yang sejalan dengan visi dan misi Islam, yakni rahmatan lil alamin. Tidak saja rahmat bagi kelompok yang memiliki kekuatan dengan mendiskriminasi kelompok yang rentan, melainkan rahmat bagi seluruh umat manusia ciptaan Tuhan. Merealisasikan visi dan misi ini tidaklah mudah, butuh perjuangan dan kerja sama yang berkesinambungan untuk selalu dapat memberikan cahaya di tempat-tempat yang gelap. Kehadiran KUPI beserta seluruh ideologi dan gerakannya ialah salah satunya.

Jika pada zaman peradaban Islam klasik ataupun pertengahan isu-isu ini tidak mendapatkan perhatian khusus, di era kontemporer saat ini, isu-isu ini justeru menjadi isu yang krusial. Hal itu karena menyangkut keberlangsungan kehidupan manusia. Itulah mengapa pendekatan maqashid al-syari’ah begitu berperan dalam cara kerja musyawarah khas KUPI.

Mengangkat martabat perempuan sama dengan mengangkat martabat kemanusiaan. Oleh karena itu, posisi perempuan harus kembali dikuatkan, dan hal-hal yang dapat menghalanginya dalam bentuk kemudaratan harus dihilangkan. Dengan kemampuan yang diberikan oleh Tuhan sebagaimana pula yang diberikan kepada laki-laki, perempuan dapat menjadi diri-diri merdeka yang dapat menciptakan kemaslahatan dalam bermasyarakat, beragama, berbangsa, bernegara, dan dalam relasinya berdampingan dengan alam.

Guna mewujudkan kemaslahatan dengan definisi tersebut, tidak ada jalan lain selain mendialogkan teks-teks agama dengan realita dan konteks kehidupan yang sedang terjadi saat ini. Atau jika menggunakan pernyataan Buya Hussein, "Mereka yang menutup diri dari proses perubahan, tak akan memperoleh kemajuan, tertinggal dan akan terlindas oleh roda zaman."

Dengan demikian, menjadi umat beragama adalah menjadi insan yang menyesuaikan tuntutan zaman dengan melakukan ijtihad-ijtihad yang terbarukan. Sudah saatnya kita semua menghargai ikhtiar intelektual dan gerakan manusia dalam menjemput takdir Tuhan yang mendamaikan. Selamat berkongres.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat