visitaaponce.com

Kartini dan Sukarno Feminis Pancasila

Kartini dan Sukarno: Feminis Pancasila
Ilustrasi.(MI/Duta.)

"BUAT apa saya dengan susah payah menjelaskan kepada kaum wanita bahwa hanya dalam masyarakat sosialismelah mereka dapat mencapai kemerdekaan dan kebahagiaan yang sempurna?" (Sukarno 1947)

Kartini (wafat 1904) dan Sukarno (lahir 1901) berbeda generasi, tetapi keduanya punya gagasan yang sama soal perempuan. Sukarno bahkan merujuk pemikiran Kartini untuk mengembangkan gagasannya, Feminisme ala Pancasila. Keduanya percaya bahwa bahwa sosialisme Indonesia berdasar Pancasila merupakan syarat tercapainya kesetaraan gender. 

Feminisme ala Kartini

Emansipasi Kartini tidak terhenti pada hak kesetaraan perempuan terhadap laki-laki saja tetapi hak keduanya yang tertindas akibat kolonialisme yang lahir dari rahim kapitalisme. Karenanya, ia tokoh emansipasi terkait kaya-miskin, lintas agama, suku, juga antarbangsa (pribumi dan kolonial). 

Selain mendirikan sekolah untuk kaum perempuan, Kartini juga mengurus kesejahteraan rakyat miskin dengan memberdayakan pengrajin batik dan ukir termasuk mengurus pemasarannya hingga ke Batavia dan Eropa. Ia juga merelakan jatah beasiswanya diberikan ke Agus Salim dari Minangkabau yang tidak dikenalnya secara langsung. 

Kartini mengecam adat Jawa yang merampas impian para gadis untuk mendapat pendidikan melalui tradisi pingitan. Namun ia juga mengecam praktik para kolonial yang rasis dan memiskinkan pribumi. Karenanya, ia menyesalkan nasib buruk perempuan akibat feudalisme dan kolonialisme. 

Sebagai seorang sosialis, Kartini tidak memandang laki-laki sebagai pesaing perempuan. Ia percaya problem penindasan perempuan dan laki-laki merupakan dampak dari penguasaan ekonomi dan politik yang dikontrol kaum kapitalis global (kolonial). Kartini oleh karenanya percaya bahwa kolonialisme harus diakhiri sehingga setiap orang akan bebas saat Indonesia mencapai kemerdekaannya. 

Pandangan Kartini tersebut dipengaruhi oleh pendidikan keluarga dan teman-teman korespondensinya yang terdiri para feminis dan atau sosialis. Pikiran kritis Kartini juga karena ia melahap buku-buku sosialis seperti Minnebrieven (Love Letters) karya Multatuli dan De Vrouwen en Sosialisme (Perempuan dan Sosialisme) yang ditulis oleh August Bebel, seorang sosialis Jerman. 

Artinya, ia mendirikan sekolah perempuan demi mengejar ketertinggalan perempuan dari laki-laki sehingga keduanya bisa bersama-sama mendobrak sistem kolonialisme. Sosialisme percaya bahwa laki-laki dan perempuan harus bergandengan tangan untuk bersama-sama mewujudkan keadilan sosial. 

Berbeda dengan kaum feminis sosialis Barat, pemahaman keagamaan Kartini sangat kuat. Semasa di Pendopo Jepara, ia dan adik-adiknya punya guru ngaji yaitu KH Sholeh Darat. Ngasirah, ibu dari Kartini, ialah putri dari Nyai Hajjah Siti Aminah dan Kiai Haji Madirono, seorang guru agama di Teluk Awur, Jepara.

Pemikiran kritis dan terbuka Kartini berkontribusi penting pada sistem pembelajaran agama Islam di Indonesia. Ia memprotes metode mengaji Al-Qur'an tanpa disertai pemahaman. KH Sholeh Darat kemudian membuat tafsir dan terjemahan Al-Qur'an ke dalam bahasa Jawa (pertama kali) yang dinamakan Kitab Faid Ar-Rahman. Kitab ini kemudian dijadikan hadiah pernikahan RA Kartini. 

Jika semula Kartini enggan menikah tetapi akhirnya ia bisa melihat bahwa perkawinan bisa menjadi strategi untuk mempercepat pendirian sekolah perempuan yang ia impikan. Hal ini diutarakan Kartini dalam suratnya kepada Ny. Ovink-Soer pada 1903. 

Setelah membaca kitab-kitab suci agama lain, termasuk Budha, Kartini mantap menghayati Islam yang isinya mengusung kesetaraan dan bertujuan membangun masyarakat berkeadilan sosial. Religiusitas Kartini bisa dilihat dari cara berpakaian yaitu kebaya dan kain sebagai penutup aurat sesuai nilai Islam. 

Asri Miminingtyas yang masih terhitung cucu keponakan Kartini memberikan kesaksian bahwa tipe kebaya Kartini sejak kecil bersifat tetap yaitu berukuran panjang hingga menutupi bagian pantat dan potongannya lurus tanpa jahitan yang mengikuti lekuk pinggang. Demikian juga dengan kain, ia memakai tanpa wiru sehingga longgar seperti sarung. 

Feminisme ala Sukarno

Di buku Sarinah (1947), Sukarno memuji Kartini karena pemikirannya yang progresif tentang kodrat manusia sebagai makhluk Tuhan yang bebas. Sukarno kemudian menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini pada 21 April sebagai Hari Kartini (Keputusan Presiden RI No. 108/1964).

Sukarno, dalam Sarinah, menjadikan feminisme ala Kartini sebagai pilihan yang tepat bagi Indonesia. Kartini dijadikannya patron karena berasal dari dan sesuai dengan kepribadian Indonesia. Ia menolak feminisme ala Chalidah Hanum (Islam) ataupun ala Kollontay (komunis Rusia). 

Feminisme ala Indonesia dipilih Sukarno setelah ia menjelajah dan merangkum perjalanan pergerakan-pergerakan perempuan sejak zaman Revolusi Prancis sampai era Perang Dunia II. Ia menyimpulkan ada tiga fase gerakan perempuan yaitu penguatan peran domestik, perjuangan persamaan status legal perempuan dengan laki-laki, dan akhirnya pergerakan sosialisme. 

Sukarno mengutip kata-kata Ki Hadjar Dewantara di buku Sarinah, "Janganlah tergesa-gesa meniru cara modern atau cara Eropa, janganlah juga terikat oleh rasa konservatif atau rasa sempit, tetapi cocokkanlah semua dengan kodratnya." Kodrat, menurut Sukarno, ialah perkawinan/keluarga yang disebutnya sebagai momentum kunci kebahagiaan. Tidak hanya bagi perempuan melainkan juga lelaki karena keluarga ialah lingkup terkecil masyarakat. Untuk mewujudkan Indonesia yang berkeadilan sosial, keluarga yang pertama harus dikuatkan.

Sukarno mengecam eksploitasi kapitalisme yang membuat lembaga perkawinan terancam karena perempuan (dan laki-laki) dipaksa bekerja. Ia mengecam double bahkan triple burden yang dialami perempuan akibat peran publik dan domestik sehingga ia memaksa laki-laki untuk turut serta berperan juga di dua sektor tersebut sekaligus. Karenanya, Sukarno menolak pemisahan sektor domestik dan publik. Keduanya menyatu dan bisa diperankan oleh kedua jenis seks tersebut. Keduanya harus bergotong royong mengurus sektor domestik sekaligus publik dengan dukungan negara yang menjamin kesejahteraan dan keberlangsungan lembaga keluarga. 

Feminisme ala Sukarno semakin menguat sebagaimana dinyatakannya pada kursus politik Pancasila Dasar Negara yang diselenggarakan di Istana Merdeka. Serangkaian kursus dari 26 Mei hingga 3 September 1958 tersebut juga dibukukan sebagaimana kursus politik di Yogyakarta yang kemudian menjadi buku Sarinah. Ideologi Pancasila yang pro kerakyatan berkonsekuensi bahwa prinsip egalitarian juga dihayati Sukarno termasuk dalam memaknai kedudukan antarsila dalam Pancasila. Dalam pidato 1 Juni 1945 ia menegaskan bahwa urutan sila tidak menunjukkan gradasi. Antarsila harus saling menjiwai dan dapat dilebur menjadi prinsip gotong royong. 

Saat mengupas sila kedua pada 22 Juli 1958, Sukarno menjabarkan bahwa kesetaraan gender juga dijamin dalam konsep kemanusiaan (humanity) Pancasila. Nilai kesetaraan antara perempuan dan laki-laki berasal dari jiwa theis (berketuhanan) penduduk Indonesia yang bercorak agraris. Sebagai bangsa petani, sejak awal kita mempercayai ada kekuatan di luar manusia yaitu alam dan kekuatan yang mengaturnya (Tuhan) sebagai penentu kehidupan pertanian mereka.

Ketergantungan pertanian pada bulan dan matahari diwujudkan pada pilihan warna bendera gula kelapa yaitu merah dan putih. Merah matahari mencerminkan keberanian dan darah merah perempuan sedangkan warna putih dari rembulan melambangkan kesucian dan air mani laki-laki. 

Kesetaraan juga dicerminkan dari lambang rantai persegi dan bulat saling menyambung tidak berkesudahan dari sila kedua. Ini menggambarkan saling ketergantungan antara laki dan perempuan sehingga keharusan keduanya untuk bergotong royong. Kerja sama keduanya mulai dari proses penciptaan (reproduksi), produksi di bidang ekonomi maupun bidang sosial politik sebagai bangsa dalam mewujudkan tujuan negara merdeka yaitu masyarakat sosialis Indonesia.

Sebagai seorang nasionalis religius, Sukarno percaya kesetaraan perempuan ialah kodrat/sunatullah sehingga pembebasan perempuan dari penindasan feodalisme dan imperialisme menjadi tugas negara dan masyarakat. Pembebasan perempuan tidak terhenti hanya untuk kepentingan individual perempuan tetapi agar dapat berkontribusi bagi perjuangan mewujudkan sosialisme.

Relevansi pemikiran feminis Pancasila

Pancasila sebagai warisan nilai luhur mampu menyelamatkan Indonesia dari balkanisasi dan ancaman ekstrimisme agama tetapi di bidang kesejahteraan ekonomi masih kocar-kacir. Para perempuan Indonesia yang komposisinya 49,5% dari penduduk Indonesia kesejahteraannya semakin tertinggal dibanding laki-laki. Di Indonesia, IPM (Indeks Pembangunan Manusia) berada di angka 72,91 sedangkan IPM laki-laki di angka 76,73 sementara IPM perempuan di 70,31. Ketertinggalan perempuan ini terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. 

IPG (Indeks Pembangunan Gender) Indonesia berada di peringkat 9 dari 10 negara ASEAN atau rangking 16 di G20. Yang lebih memprihatinkan ialah angka IKG (Indeks Ketimpangan Gender) Indonesia yang berada di rangking 110 dari 191 negara atau peringkat 7 dari 10 negara ASEAN dan rangking 18 dari 19 negara G20. Penyumbang IKG kita yang buruk ialah partisipasi perempuan yang masih sangat rendah di Economic Participation serta Opportunity and Political Empowerment. Situasi ini sesuai hipotesa para feminis Pancasila bahwa semakin jauh dari sosialisme semakin buruk kesetaraan gender. 

Secara global, hanya di negara-negara sosialis (misalnya Skandinavia dan Eropa Barat) dengan IPM dan IPG tinggi dan IKG rendah. Di negara-negara sosialis tersebut, kesenjangan ekonomi dan kemiskinan juga rendah karena partisipasi perempuan di sektor publik tinggi. Memang sudah ada perempuan menjadi presiden, wapres, ketua DPR, menkeu, gubernur, dan bupati tetapi kepemimpinan mereka belum responsif dan inklusif terhadap perempuan alias bias laki-laki. Secara statistik perempuan masih tertinggal (left behind) dari proses pembangunan misalnya angka partisipasi perempuan di sektor formal yang hanya berkisar di angka 53,41% sementara partisipasi kerja laki-laki di angka 83, 87%. 

Fakta atas kesenjangan ekonomi kita terburuk keempat di dunia (Oxfam 202) merupakan sinyal buruk. Dalam situasi IPM yang rendah, indeks gini ratio yang kategori sedang (0,358), indeks kemiskinan juga naik (9,57%). Disertai fenomena kemiskinan ekstrem, bisa dipastikan ada pula fenomena feminisasi perempuan yang mengkhawatirkan. Indonesia harus di-setting ulang untuk menjadi negara sosialis seperti amanah sila 5 Pancasila. Jika tidak ada terobosan demikian, akan diperlukan 151 tahun lagi (IGGI 2020-2022) agar kesetaraan gender di bidang ekonomi dapat terwujud. Jika tidak, perayaan Indonesia Emas 2045 kelak bisa dipastikan bukan milik para perempuan dan anak-anak Indonesia karena mereka memang ditinggalkan. 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat