visitaaponce.com

Runtuhnya Etika Politik Publik

Runtuhnya Etika Politik Publik
Ilustrasi MI(MI/Tiyok)

PERTANYAAN mendasar untuk melihat karakter kepemimpinan Presiden Jokowi bisa diajukan dengan kutipan di atas, kira-kira, perilaku Jokowi akhir-akhir ini menunjukkan karakter atau strategi? Saya cenderung menjawab dengan gamblang bahwa Jokowi lebih berpikir soal strategi dalam rangka mengamankan hasil kerjanya ketimbang memperlihatkan kebesaran jiwanya sebagai karakter murni seorang negarawan.

Negarawan akan menonjol dan dicintai rakyat karena posisi politiknya selalu berpihak kepada kepentingan umum. Namun, ketika seorang pemimpin hanya berpikir bagaimana menyelamatkan kroni dan kekuasaannya serta memperlihatkan keberpihakannya kepada kelompok tertentu, dapat dipastikan Jokowi bukan hanya tak memiliki karakter kepemimpinan yang kuat, melainkan juga strategi yang salah dalam mengakhiri kekuasaannya.

Dalam konteks sistem demokrasi nasional, Indonesia rasanya amat sulit mengidentifikasi kepemimpinan yang mengedepankan aspek publik sebagai indikator keberhasilan seorang pemimpin. Dengan jebakan presidential threshold 20%, presiden Indonesia di masa lalu, sekarang, dan masa depan tampaknya akan tetap mengalami masalah yang sama, yaitu ketergantungan terhadap partai pendukung dan pengusung membuat seorang presiden akan sulit membedakan mana area publik dan mana area privat yang harus diperjuangkan. Pada titik ini, keruntuhan etika politik publik akan terus berlangsung jika tak ada solusi komprehensif dan mendalam tentang bagaimana seharusnya seorang pemimpin berperilaku di ruang publik.

 

Dead democracy society

Kegaduhan politik di Indonesia terus berlanjut dengan gencarnya cawe-cawe Jokowi terhadap rencana dan wacana capres dan wacapres. Kekuasaan melalui partai politik (parpol) seolah sedang mempertontonkan ketiadaan afeksi transendental yang hakiki, yaitu sebuah penerimaan dalam rangka kemaslahatan bersama yang dipaksakan. Urusan kalah-menang seakan menjadi lebih penting daripada sikap saling menghargai dan memberi kepercayaan orang lain, untuk mencoba berikhtiar menjadikan Indonesia lebih adil dan lebih sejahtera.

Atas nama birahi kekuasaan, presiden dan beberapa parpol lebih banyak menggunakan logika yang terkadang sesat daripada mengikuti hati nurani. Inilah sebuah klimaks dari proses pendidikan yang telah mereka jalani selama 40 tahun terakhir, yaitu produk dari sistem pendidikan yang mengagungkan kompetisi daripada membangun kebersamaan. Saya meyakini sepenuhnya bahwa para politikus telah bekerja untuk kepentingan kelompok semata ketimbang memperhatikan aspirasi masyarakat secara saksama.

Jika kita mengambil metafora dari film Dead Poets Society (1989), para politikus yang katanya sangat mengagungkan prinsip tradisi, kehormatan, disiplin, dan prestasi itu memang berhasil membangun logika kecacatan dalam proses pengusungan capres dan cawapres. Namun, para politikus dan presiden bisa jadi salah dalam melihat sisi baik dari perbedaan pilihan yang telah membangun proses kesadaran masyarakat untuk menemukan sendiri orang-orang baik dan jujur pilihan mereka sendiri dari lingkungan mereka sendiri.

Pendek kata, para politikus dan presiden seperti lebih menyukai ketiadaan aspirasi masyarakat secara luas melalui bukan hanya parpol, melainkan juga kampus dan ruang terbuka publik untuk digunakan sebagai arena menguji ketangguhan komitmen terhadap kesulitan publik yang terus berlangsung. Politikus dan presiden seakan terjebak dan berperilaku laksana para komprador yang hendak membunuh hak masyarakat untuk turut serta dalam proses demokrasi.

Adegan itu sama persis seperti dialami Neil dalam Dead Poets Society, yaitu bunuh diri setelah merasa gagal untuk menikmati kebebasan hidup yang diinginkannya. Seperti kita ketahui, ada aroma dendam dari para politikus dan presiden atas kekalahan mereka dalam pilkada DKI Jakarta 5 tahun lalu sehingga mereka dengan cara apa pun ingin memaksakan kehendak untuk membunuh aspirasi masyarakat secara langsung.

Agar rasa demokrasi tidak terbunuh oleh pemaksaan prakonsepsi presiden dan politikus yang ingin mematikan jejak langkah Anies Baswedan, sebaiknya para politikus dan presiden belajar kembali dari Antonio Damasio (2006), yang menyebutkan bahwa mereka terlahir dari sistem pendidikan yang hampir menggejala di seluruh belahan dunia, yaitu tumbuhnya pembedaan yang sangat signifikan antara proses pembelajaran yang berorientasi kognitif dan emosional.

Menyelami empati dan rasa tak memperoleh porsi yang jelas dalam struktur pendidikan politik kita sehingga para politikus dan pemimpin cenderung berperilaku semacam robot yang minim rasa. Dalam pandangan Damasio, seharusnya para politikus dites keterdidikannya di bidang seni, budaya, dan humaniora, untuk dan dalam rangka menumbuhkan elan vital kemanusiaan manusia, yaitu emosi dan spiritualitas yang menyatu dalam pikir dan perilaku.

 

Spiritualitas tanggung jawab

Fenomena kehidupan demokrasi kita terlalu kompleks untuk dijelaskan secara ringkas dan sederhana hanya dari satu sisi. Dalam dunia politik, memahami fenomena dari sudut pandang yang beragam ialah sebuah keniscayaan yang harus diterima semua pihak. Para politikus dan pemimpin yang berkuasa harus terbiasa untuk untuk melihat perbedaan dari beragam sudut pandang. Dari cara semacam ini, kita bisa melihat bahwa untuk menjadi orang yang bertanggung jawab, kita memerlukan beragam sudut pandang, agar inti dari kompleksitas persoalan dapat ditemukan.

Banyak orang tak meyakini bahwa tanggung jawab lahir dari kerja keras setiap hari secara ikhlas. Hanya kerja keras dengan keikhlasan yang akan melahirkan sikap rendah hati dan menumbuhkan sikap selalu ingin berbagi kepada orang lain. Dari sudut ini, tanggung jawab akan memperoleh padanannya, yaitu tumbuhnya spiritualitas yang memancarkan kemurnian jiwa seseorang dalam menjalani hidup.

Kazuo Inamori dalam A Compass to Fulfillment: Passion and Spirituality in Life and Business (2010) menunjukkan banyak contoh bahwa keberhasilan seseorang dalam meraih kesuksesan sesungguhnya lebih banyak ditentukan kerja keras yang ikhlas. Pertanyaannya, di mana keikhlasan harus diletakkan dalam diri seorang politikus? Jawabannya seharusnya tunggal, yaitu publik, bukan partai semata.

Menjadi politikus, misalnya, jika tak didasari kerja keras secara ikhlas yang ditunjukkan dengan banyak membaca dan mengkaji dokumen kebijakan publik secara kreatif pasti tak akan memiliki nilai spiritualitas sama sekali. Hanya dengan membaca, menulis, dan mengkaji setiap dokumen kebijakan publik yang akan membawa seorang politikus pada bentuk spiritualitas yang tinggi, baik di mata manusia, apalagi di mata Sang Maha Pencipta.

Sebagaimana layaknya sebuah profesi, tugas politikus ialah mendesain kebijakan bagi publik ialah pilihan yang harus disadari sedari awal. Dengan begitu, dapat membantu seorang politikus untuk naik ke tataran yang lebih tinggi dari sekadar memenuhi hasrat-hasrat sendiri, dan merupakan cara paling efektif untuk mengembangkan pikiran dan membangun karakter kemaslahatan bersama.

Mungkin ada banyak orang yang membayangkan bahwa membersihkan jiwa harus melulu melibatkan laku ritual keagamaan tertentu sehingga kita merasa lebih dekat dengan Sang Pencipta. Namun, bukti empiris di lapangan menunjukkan ternyata mencintai pekerjaan secara bertanggung jawab justru akan lebih cepat mengantarkan seseorang memiliki kedalaman spiritual.

Menjalani profesi sebagai politikus, apalagi hingga berhasil meraih jabatan publik tertinggi seperti presiden dan menteri, jika dilakukan dengan sungguh-sungguh dan ikhlas, pasti akan membawa seorang politikus pada evolusi secara alami dalam jiwa yang akan memperkuat karakter para politikus untuk melihat perbedaan sebagai bentuk penerimaan hati secara ikhlas. Hanya politikus busuk dan tak memiliki hati ketika melihat perbedaan sebagai suatu permusuhan yang terus harus dibalut dendam.

 

Wishful thinking

Tak mudah menjadi seorang politikus, apalagi di zaman seperti sekarang ini, yang daya kritis dan fantasi masyarakat berkembang lebih cepat dari sebelumnya. Tentu kita tak menginginkan tumbuh jiwa para politikus yang hanya bisa berangan-angan soal kemenangannya dalam sebuah proses pemilihan, tetapi prosesnya cacat karena manipulatif.

Kita tak seharusnya membiarkan angan-angan para politikus berkeliaran secara liar tanpa ada pendampingan yang cukup dalam rangka membimbing angan-angan tersebut. Karena itu, tugas parpol ialah memberikan pendidikan politik yang tak boleh berhenti, termasuk di antaranya memberikan kritik dan pengingat jika angan-angan tersebut berlebihan.

Jika dalam perilaku politikus, angan-angan merupakan sebuah keniscayaan, bagaimana jika angan-angan diletakkan dalam bingkai kebijakan publik? Adakah bentuk wishful thinking dari kebijakan publik yang dihasilkan politikus kita berbasis angan-angan? Jawabannya ada dan banyak. Bahkan, pada taraf tertentu bisa dicirikan dengan obsesi berlebih seolah kebijakan tersebut berhasil, tetapi pada faktanya kebijakan tersebut malah membuat sistem demokrasi kita seperti membengkak karena infeksi dan terkena penyakit komorbid yang akut.

Contohnya kebijakan soal cawe-cawe presiden dalam urusan pencapresan, itu pasti berbasis angan-angan dan tak memiliki dasar empiris dan konstitusional, dan karenanya tidak ada aturan yang melarang atau membolehkan hal tersebut. Jelas sekali bahwa cara berpikir wishful thinking menghasilkan kegaduhan karena tak digunakannya nurani sebagai pijakan etika politik untuk publik.

Christopher Booker (Wikipedia:2012) menjelaskan bahwa wishful thinking merupakan sebuah pola yang berulang dalam kehidupan pribadi, tetapi juga bisa terjadi dalam ranah politik dan sejarah. Argumen psikologisnya kira-kira akan mengatakan bahwa jika sebuah tindakan, apalagi berjenis kebijakan, dimulai secara tidak sadar karena didorong angan-angan, pada awalnya mungkin semua akan tampak berjalan dengan baik untuk sementara waktu, dalam apa yang dapat disebut tahap mimpi.

Namun, karena wishful thinking dalam sejarahnya tidak pernah bisa berdamai dengan kenyataan dan fakta empiris, pada tingkat tertentu bisa menyebabkan rasa frustrasi yang tak berkesudahan. Kira-kira inilah yang terjadi dengan kegaduhan yang dilakukan seorang Jokowi di luar tugas pokok dan fungsinya sebagai Kepala Negara.

Sebuah kebijakan yang wishful thinking harus tetap diberi kritik karena sering kali keputusan jenis ini sangat bias kognitif dan cara yang buruk dalam membuat keputusan. Dalam bahasa kitab suci Al-Qur’an sekalipun, angan-angan sering dinisbahkan ke dalam praktik orang-orang yang sering menyekutukan Tuhan.

Kata amaniy yang berarti angan-angan kosong, paling tidak muncul di 4 ayat dalam Al-Qur’an (2:78, 2:111, 4:123, 57:14), dengan makna yang hampir sama. Pada awalnya bermakna wishes, desires, aspirations, tetapi pada penggunaannya dalam Al-Qur’an semuanya bermakna negatif. Wallahualam bisawab.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat