visitaaponce.com

Multiusaha Kehutanan Optimasi Pemanfaatan Kawasan Hutan

Multiusaha Kehutanan: Optimasi Pemanfaatan Kawasan Hutan
Ilustrasi mI(MI/Seno)

KEKAYAAN sumber daya hutan Indonesia merupakan modal penting untuk memulihkan ekonomi setelah pandemi covid-19. Namun, hutan tropis kita juga menjadi penyangga ekosistem dunia, yang perannya semakin penting di tengah krisis iklim. Mencari titik temu antara tarikan ekonomi dan lingkungan merupakan kunci pengelolaan hutan secara berkelanjutan.

Diterbitkannya Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) No 11 Tahun 2020 serta peraturan turunannya telah membawa sektor kehutanan masuk ke era baru, dari paradigma pengelolaan sumber daya hutan yang berorientasi kayu menjadi manajemen lahan. Multiusaha kehutanan menjadi pintu masuk untuk mengoptimalisasi pemanfaatan kawasan hutan nonkayu, yang di sisi lain hal ini juga memperbaiki iklim investasi.

Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan dan Peraturan Menteri LHK No 8 Tahun 2021 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan di Hutan Lindung dan Hutan Produksi, yang menjadi produk turunan UUCK, telah membuka peluang sekaligus tantangan terkait dengan pengusahaan kehutanan.

Regulasi tersebut telah memberikan landasan kebijakan untuk kemudahan akses dalam berusaha dengan penyederhanaan atau simplifikasi perizinan berusaha. Semula satu izin untuk satu kegiatan menjadi satu perizinan berusaha dengan multiusaha. Kini, pelaku usaha bisa mendapatkan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) untuk berbagai aktivitas usaha di dalam kawasan hutan, menggantikan skema Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan (IUPHH). Jangka waktu berusaha juga diberi keleluasaan, sampai dengan 90 tahun dan bisa diperpanjang, memberikan kepastian investasi yang lebih besar bagi para pelaku usaha.

Transformasi skema IUPHH menjadi PBPH itu telah diperjelas oleh Peraturan Menteri LHK No 8 Tahun 2021, serta ditegaskan secara teknis melalui SE Menteri LHK No 6 Tahun 2022 tentang Multiusaha Kehutanan (MUK) pada hutan produksi. Yang dimaksud kegiatan antara lain usaha pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hutan kayu alam, pemanfaatan hutan kayu tanaman, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Selain itu, pemanfaatan kawasan untuk pengembangan agroforestry, silvofishery, atau silvopasture.

Model multiusaha kehutanan ini bisa dikembangkan melalui Kemitraan Kehutanan sebagai kerangka baru bisnis regeneratif sekaligus wadah kerja sama yang saling menguntungkan antara pemegang perizinan berusaha dan masyarakat.

Multiusaha kehutanan diharapkan dapat menjawab beberapa tantangan di dalam pengelolaan hutan, seperti a) nilai ekonomi riil kawasan hutan yang masih sangat berpotensi untuk ditingkatkan, b) masih terbukanya peluang untuk meningkatkan persentase areal kerja efektif, c) pasar kayu hutan alam yang sedang mengalami penurunan permintaan, dan d) alternatif potensial sumber PNBP, selain hasil hutan kayu diperlukan melalui optimalisasi ruang pemanfaatan kawasan hutan.

 

Bisnis regeneratif

Menurut data KLHK, luas kawasan hutan Indonesia ialah 125.795.306 hektare, dengan panjang batas 373.828,44 km, yang terdiri atas 284.032,3 km batas luar dan 89.796,1 km batas fungsi kawasan hutan. Sampai dengan Desember 2022, telah dilakukan penataan batas kawasan hutan sepanjang 332.184,0 km (88,88%), yang terdiri dari penataan batas luar kawasan hutan 242.387,8 km (65%) dan penataan batas fungsi kawasan hutan sepanjang 89.796,1 km (24%) (PPID KLHK, 2023).

Realisasi penetapan kawasan hutan hingga Desember 2022 ialah seluas 99.659.996 ha, yang terdiri atas 2.328 unit SK Penetapan Kawasan Hutan. Khusus untuk tahun 2022, sebagai bentuk keseriusan penyelesaian percepatan pengukuhan kawasan hutan, telah dicapai penetapan kawasan hutan seluas 10.006.045 ha yang terdiri dari 179 SK. Terjadi lonjakan luas penetapan kawasan hutan dalam periode 10 tahun terakhir secara signifikan, menjadi total sebesar 79,2% dari total luas kawasan hutan Indonesia.

Berdasarkan data ini, sebetulnya banyak potensi yang bisa dikembangkan di kawasan hutan, di luar pemanfaatan kayunya. Indonesia mempunyai potensi besar wanatani yang memberi peluang kontribusi hutan bagi penyediaan pasokan bahan pangan untuk masyarakat, bahan baku obat untuk kebutuhan di sektor kesehatan, serta energi terbarukan yang terdapat pada masyarakat lokal.

Hasil kajian Lembaga Ekolabel Indonesia tahun 2022 menunjukkan tujuh komoditas wanatani yang prospektif untuk dikembangkan, dengan mempertimbangkan pasar internasional, kelayakan finansial pada tahap budi daya dan pengolahan, dan skala investasi. Ketujuh komoditas tersebut ialah kakao, kopi, kayu putih, aren, vanili, air minum, dan kredit karbon.

Komoditas aren (Arenga), misalnya, memiliki potensi pasar sangat menjanjikan. Pasar gula aren dunia dengan kode HS 170290 sejauh ini melibatkan sepuluh importir besar, dengan Tiongkok sebagai importir terbesar senilai US$336,9 juta, diikuti oleh Prancis US$282,5 juta dan Thailand US$240 juta.

Sekalipun terbuka peluang baru dalam pengusahaan hutan, hingga saat ini baru tercatat sekitar 14 dari 567 PBPH di Indonesia yang mengajukan proposal multiusaha kehutanan (Dirjen PHL, 2022). Mengapa peluang ini belum menarik minat sebagian besar pemegang PBPH?

Secara faktual, sudah tentu kebijakan multiusaha kehutanan tidak lepas dari kekuatan pasar, kekuatan industri, dan kekuatan makroekonomi. Di samping itu, yang juga dibutuhkan ialah perubahan mindset para pelaku industri kehutanan, dari model bisnis yang berorientasi pada timber-based menjadi multiproduct-based forest management.

Oleh karena itu, Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari mengapresiasi inisiatif Kadin Indonesia yang menginisiasi Regenerative Forest Business, yang berupaya membangun jejaring di antara para pengusaha kehutanan sebagai sektor hulu dan pengusaha sektor di hilir (offtaker), sebagai bagian dalam inisiasi pelaksanaan bisnis berbasis multiusaha kehutanan. Melalui pengembangan kerja sama hulu-hilir secara terintegrasi, potensi sumber daya hutan diharapkan bisa lebih tergarap optimal.

Pemerintah berharap skema multiusaha kehutanan dapat menjawab penilaian eksklusivitas perizinan pemanfaatan hutan selama ini yang berbasis satu izin untuk satu kegiatan usaha. Di sisi lain, model perizinan sebelumnya menyebabkan hilangnya manfaat terbaik dari kawasan hutan, yang mungkin bernilai tinggi untuk pemanfaatan HHBK dan jasa lingkungan.

Peluang ini seyogianya dapat dimanfaatkan oleh pemegang izin usaha, termasuk oleh masyarakat sekitar kawasan hutan. Pemerintah telah memberikan ruang kepada pengusaha untuk perizinan yang mudah dan murah sehingga implementasi multiusaha kehutanan dapat terwujud dengan efektif.

Pengelolaan hutan lestari melalui penerapan multiusaha kehutanan yang dikelola berbasiskan lanskap ekosistem hutan diyakini dapat menjadi pilar penting untuk mendukung tercapainya berbagai target pembangunan. Baik dalam sektor kehutanan maupun untuk mendukung pemenuhan kebutuhan pembangunan sektor di luar kehutanan, serta sekaligus sebagai bagian dari aksi mitigasi perubahan iklim dalam rangka pencapaian target penurunan emisi gas rumah kaca nasional.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat