visitaaponce.com

Refleksi Kebangsaan Buya Syafii dan Muhammadiyah di Tahun Politik

Refleksi Kebangsaan Buya Syafii dan Muhammadiyah di Tahun Politik
(Dok. Pribadi)

SABTU, 27 Mei 2023, merupakan haul satu tahun wafatnya Ahmad Syafii Maarif. Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1998-2005 yang akrab disapa Buya Syafii itu merupakan salah satu pemikir kebangsaan yang gagasan dan pemikirannya banyak menjadi rujukan dalam memperkaya wawasan kebangsaan, baik bagi pejabat negara maupun generasi penerus bangsa, terlebih para politikus—agar mau naik kelas menjadi negarawan.

Buya Syafii kerap mengangkat isu dan wacana yang tidak hanya menggugah, tetapi juga menyentak batin dan nurani, membangkitkan nalar dan kesadaran. Termasuk, soal keprihatinannya yang concern terhadap isu keindonesiaan, Pancasila, dan kemanusiaan. Berikut ialah ‘serpihan’ pikiran reflektif Buya Syafii yang dapat menjadi bahan renungan kita bersama.

Matinya nilai etik dan moral di hadapan politik-kekuasaan menjadi perhatian Buya Syafii. Dalam pandangan Buya, bila dihadapkan dengan konteks kebangsaan, agama merupakan substansi, sebagaimana falsafah garam—tidak tampak tapi terasa. Artinya, nilai-nilai agama semestinya menjadi landasan moral dan etik. Namun, nilai-nilai itu kerap ditinggalkan demi memenuhi hasrat meraih kekuasaan. Buya mengkritik dengan keras perilaku demikian. “Nilai-nilai (luhur agama dan Pancasila) ini sekarang di dunia politik kita telah dibuang ke limbo sejarah demi memburu uang dan kekuasaan,” tandasnya (Maarif, 2023: 84).

Selain itu, Buya kerap mengingatkan pentingnya membumikan nilai-nilai Pancasila. Pragmatisme politik kita mungkin sulit dihindari. Kenyataan demikian diperkuat dengan mentalitas para politikus yang kian ‘barbar’ memburu kekuasaan. Untuk itulah, Buya menekankan pentingnya kesadaran untuk mewujudkan nila-nilai Pancasila demi menyelamatkan masa depan bangsa. “Sebegitu jauh, nilai-nilai luhur Pancasila dalam pengamatan saya masih lebih banyak berada pada tataran verbal. Masalah yang sangat mendesak sekarang ialah membuktikan secara konkret semua nilai luhurnya itu dalam tindakan pada semua lini kehidupan: ekonomi, politik, sosial, hukum, dan moral,” (Maarif, 2023: 99).

Pancasila, menurut Buya, terus dikhianati dalam perbuatan. Pengamalan Pancasila dalam kehidupan bangsa ini jauh dari yang semestinya. Hal itu terjadi karena kita tidak memiliki kesungguhan dalam mengawal pelaksanaan Pancasila sehingga Pancasila hanya menjadi alat politik, pajangan, dan pemanis bibir. “Saya berharap agar Pancasila jangan lagi dikhianati oleh siapa pun sehingga menjadi lumpuh dalam mengawal kemerdekaan bangsa. Jangan dibiarkan lagi tahun-tahun kemerdekaan ini berlalu dengan sia-sia,” (Maarif, 2023: 107).

 

Refleksi kebangsaan Muhammadiyah

Dalam politik, agama kerap hanya menjadi cangkang, bukan substansi, sehingga agama (lebih tepatnya simbol agama) amat rentan menjadi alat pemecah belah masyarakat dan rentan ditunggangi kepentingan sesaat oleh—meminjam bahasa Buya Syafii—para politikus tunaadab, tunamoral, chauvinist, dan tak memiliki komitmen kebangsaan yang tulus. Maka, agama semestinya menjadi substansi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam politik praktis, Muhammadiyah memiliki sikap menjaga jarak dan tidak terlibat dalam mobilisasi massa, sedangkan dalam politik kebangsaan bersikap aktif sesuai dengan Khittah dan Kepribadian Muhammadiyah (Nashir, 2016: 158). Dengan begitu, pikiran kebangsaan Muhammadiyah menempatkan agama sebagai substansi, seperti ditegaskan dalam Khittah Ujung Pandang 1971 dan Khittah Denpasar 2002.

Pada 2015, PP Muhammadiyah merilis dokumen Indonesia Berkemajuan; Rekonstruksi Kehidupan Kebangsaan yang Bermakna. Dalam dokumen itu dijabarkan tentang konsepsi, realitas, dan tawaran solutif bagi problem kehidupan kebangsaan. Indonesia berkemajuan dimaknai sebagai negara utama (al-madinal al-fadhillah), negara berkemakmuran dan berkeadaban (umran), dan negara yang sejahtera (2015: 11). Cita-cita untuk mewujudkan Indonesia berkemajuan merupakan bukti konsistensi dan komitmen kebangsaan Muhammadiyah.

Haedar Nashir (2019: 227) menjelaskan, Indonesia berkemajuan berakar dari gagasan tokoh-tokoh pergerakan dan pendiri bangsa. Dalam Muhammadiyah, Indonesia berkemajuan diwujudkan dengan pembangunan pusat-pusat keunggulan (center of excelence) melalui lembaga pendidikan, fasilitas kesehatan, pelayanan sosial, penguatan ekonomi, pemberdayaan masyarakat, dan lembaga-lembaga modern lainnya (2019: 233). Upaya mewujudkan Indonesia berkemajuan juga ditunjang dengan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang religius, cerdas, berilmu, mandiri, bekerja keras, berdaya saing, dan memiliki kepekaan serta partisipasi sosial yang tinggi.

MI/Seno

 

Refleksi di tahun politik

Saat ini kita memasuki tahun politik. Perhelatan Pemilu Serentak 2024 mulai memunculkan riak-riaknya. Nama-nama bakal capres dan bakal cawapres pun mulai mencuat ke muka. Koalisi-koalisi besar dibentuk dan mengalami sejumlah dinamika. Namun, dalam politik, apa yang tampak di muka kadang tak seperti yang ada sebenarnya. Palsu, banyak kepura-puraan, gimik, dan omong kosong (nonsens).

Iklim politik yang kian pragmatis makin meluruhkan nilai-nilai kebangsaan kita. Mengapa demikian? Iklim politik yang begitu pragmatis perlahan mendegradasi orang-orang yang tulus dan sungguh-sungguh dalam membangun peradaban bangsa dan negara. Akibat fatalnya, sendi-sendi kehidupan bangsa kita kian koyak dan rapuh di segala lini sebab orang-orang hanya memikirkan perutnya sendiri. Pancasila di tangan politikus yang tidak bertanggung jawab telah memberikan pengalaman pahit bagi bangsa ini, yakni mendegradasi fungsinya sebagai dasar berpijak dan nilai bersama (Maarif, 2015: 294).

Pada situasi seperti ini, ketulusan dan kesungguhan menjadi barang yang amat mahal. Tentu ini jauh dari harapan para pendiri bangsa ini. Sebab itulah refleksi kebangsaan, utamanya dalam perspektif Buya Syafii dan organisasi yang pernah dipimpinnya (Muhammadiyah), penting kembali direnungkan. Semoga catatan ini memantik kesadaran kita untuk mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi, golongan, dan kepentingan lainnya. Semangat itulah yang menjadi komitmen kebangsaan kita, yang mendorong Indonesia menjadi bangsa yang maju, adil, berperikemanusiaan, dan beradab.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat