visitaaponce.com

Melirik Potensi Pendanaan Iklim Berbasis Keuangan Syariah

Melirik Potensi Pendanaan Iklim Berbasis Keuangan Syariah
(Dok. Pribadi)

PENDANAAN iklim merujuk pada pembiayaan lokal, nasional, dan internasional yang dapat mendukung kegiatan mitigasi dan aksi nyata yang dapat mengurangi problem perubahan iklim. Sumber pendanaan dapat berasal dari sektor publik, swasta, dan alternatif pembiayaan lainnya. 

Diproyeksikan hingga 2030, dibutuhkan anggaran kurang lebih US$1,5 triliun per tahun dalam bentuk pembiayaan perubahan iklim. Jumlah yang sangat besar untuk program mitigasi perubahan iklim. Karenanya, keberadaan pendanaan iklim diharapkan tumbuh dan berkembang pesat sebagai bagian dari ikhtiar menjaga keberlangsungan generasi masa depan. 

Hal itu sembari mendukung tata nilai dan keyakinan atas ekologi serta memastikan investasi yang dilakukan ramah terhadap lingkungan, sosial, ekonomi, dan tata kelola yang baik.

Merujuk pada Konvensi PBB tentang perubahan iklim (UNFCC), negara maju berkewajiban penyediakan bantuan pendanaan kepada negara berkembang yang rentan terdampak perubahan iklim. Namun, laporan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) mengonfirmasi bahwa negara-negara maju gagal memenuhi target pendanaan sebesar US$100 juta dan hanya berhasil mengumpulkan dana sebesar US$80 juta pada 2020 (Stears Business, 2021). 

Karena itu, negara berkembang harus melakukan inovasi dan strategi tepat untuk mencari sumber pendanaan alternatif pendanaan hijau sesuai dengan potensi dan kekuatan yang dimilikinya, termasuk di Indonesia.

Sebagai komitmen Perjanjian Paris tentang Perubahan Iklim, Indonesia mengeluarkan UU No16 Tahun 2016 yang salah satu isinya ialah gambaran komitmen dan aksi iklim sebuah negara yang dikomunikasikan kepada dunia internasional melalui United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). 

Implementasi dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) dimaksudkan sebagai landasan bersama melakukan sinergi lintas sektoral, kementerian, lembaga, akademisi, praktisi, industri, dan lain sebagainya untuk bersama-sama menahan kenaikan pemanasan global di bawah 2 derajat Celsius dan menekannya lebih lanjut menuju 1,5 derajat Celeius sesuai dengan Perjanjian Paris. 

MI/Duta

 

Keuangan syariah

Yang menarik dari Perjanjian Paris ialah adanya kesepakatan yang mengikat semua negara untuk meningkatkan kemampuannya menyesuaikan diri terhadap dampak perubahan iklim, meningkatkan ketahanan iklim, serta pembangunan rendah emisi sembari menjaga produksi pangan, energi, dan lainnya. Selain itu, negara-negara tersebut juga bersepakat membuat aliran pendanaan yang selaras dengan jalur pembangunan rendah emisi dan berketahanan iklim. 

Untuk mendukung aksi perubahan iklim tersebut, Indonesia membutuhkan dana kurang lebih sebesar Rp3.461 triliun hingga 2060 (Suwanan et al, 2022). Dana tersebut jauh lebih tinggi dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sehingga perlu strategi lain untuk menutupinya. Keuangan syariah dengan instrumen keuangan yang dimilikinya mempunyai peran yang sangat strategis dalam memobilisasi pendanaan iklim sesuai dengan agenda Perjanjian Paris. 

Semenjak beroperasi pertama kali pada 1970-an, industri keuangan syariah berkembang sangat cepat dengan akumulasi aset terkini secara global sebesar US$3 triliun (UM & Muhtar, 2022). Industri keuangan syariah terkonsentrasi di negara-negara maju, baik di Timur Tengah maupun di Asia Tenggara, dengan dukungan infrastruktur regulasi yang kuat serta permintaan pasar domestik yang tinggi. Kedua kekuatan itu menjadi faktor penggerak utama berkembangnya industri keuangan syariah selama dasawarsa terakhir ini.

Potensi keuangan syariah untuk mendukung pendanaan iklim, hijau, dan ramah lingkungan di negara-negara muslim ataupun mayoritas muslim tidak banyak dilakukan, termasuk di Indonesia. Padahal, Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar dan diikuti dengan semangat keagamaan yang tinggi dalam bermuamalah syariah. 

Hal itu dibuktikan dengan beroperasinya pelbagai lembaga keuangan syariah, baik perbankan maupun nonperbankan. Pada dasarnya, itu peluang yang sangat besar untuk dieksplorasi lebih jauh akan potensi tambahan pendanaan iklim untuk mendukung program pengurangan emisi dan efek rumah kaca dengan instrumen keuangan syariah. 

Instrumen keuangan syariah yang dimaksud di sini berasal dari keuangan sosial Islam (zakaf, infal, sedekah, wakaf, qardhul hasan) dan keuangan komersial Islam (perbankan syariah, pasar modal syariah, asuransi syariah, modal ventura syariah, pembiayaan syariah, dan lainnya). Keseluruhan instrumen itu mempunyai potensi pendanaan besar yang secara kreatif dan inovatif bisa dimanfaatkan untuk mendukung pendanaan iklim selaras dengan tuntutan masyarakat global.

Filosofi keuangan syariah yang dibangun di atas prinsip maqasid al-syariah (tujuan utama syariah) bersinggungan langsung dengan tujuan dan target utama pembangunan berkelanjutan (SDGs). Namun, eksplorasi instrumen keuangan syariah yang dapat digunakan untuk mendanai aktivitas yang dikaitkan dengan 17 target SDGs tidak banyak dilakukan, baik di negara muslim maupun nonmuslim. 

Selain itu, keuangan syariah beroperasi dengan bekal modal keahlian yang cukup, khususnya dalam mengelola aset dan dana lainnya dengan tata kelola yang baik serta jaminan kepatuhan syariah yang tinggi (Zaini & Bin Shuib, 2021). Kedua fitur itu menjadikan keuangan syariah pada level operasional selaras dengan tambahan persyaratan internasional akan pentingnya sertifikat hijau sebagaimana tercantum dalam prinsip obligasi hijau dan kerangka kerja global bagi pembiayaan hijau. Dengan demikian, kriteria hijau dan ramah lingkungan dalam pilihan investasi sebenarnya ialah tuntutan utama syariah yang juga diemban lembaga keuangan syariah. Namun, dalam praktiknya masih jauh dari yang diharapkan.

Ahmed & Mohieldin (2015) berpandangan bahwa keuangan syariah pada dasarnya selaras dengan prinsip pendanaan hijau yang berusaha menyalurkan investasi ke arah tujuan yang membawa manfaat lingkungan, khususnya prinsip washatiyyah yang mengharuskan terciptanya keseimbangan atau mizan (tata kelola alam raya)dalam bentuk penghindaran sikap boros, berlebihan, dan manipulasi. Fasad (kehendak menghancurkan) ialah dilarang dalam Islam berikut tindakan yang tidak etis dalam transaksi keuangan dan bisnis, seperti praktik pembebanan bunga (riba), kontrak yang menipu dan tidak pasti (garar), dan perjudian (maisir).

 

Portofolio investasi

Berpijak pada kerangka berfikir itu, aktivitas bisnis harus memenuhi kebutuhan manusia yang selaras dengan prinsip efisiensi dan dampak ekonomi yang berkelanjutan. Kegiatan bisnis yang dapat menghancurkan ekosistem lingkungan ialah dilarang dalam Islam dengan sangat keras. 

Dalam menghadapi problem lingkungan, perubahan iklim, pemanasan global, serta krisis kamanusian lainnya, para ulama berpandangan adanya irisan nilai-nilai syariah dengan aksi pemuliaan lingkungan harus menjadi instumen penting bagi industri keuangan syariah untuk fokus menggarap pembiayaan yang mengarah pada konservasi alam dan aksi iklim. (Obaidullah, 2018)

Dengan demikian, pendanaan iklim dengan aturan yang mengikat dan spesifik yang mendasari nilai-nilai ekonomi, sosial, lingkungan, dan tata kelola yang selaras dengan nilai-nilai dasar Islam sangat potensial menyelesaikan persoalan mendasar atas mahalnya pembiayaan sektor hijau yang dihadapi semua negara sejauh ini.

Tujuan akhirnya ialah mendorong investor mengalihkan portofolio investasinya pada kegiatan ekonomi yang membawa keseimbangan sosial, ekonomi, dan lingkungan. Hal itu dimaksudkan untuk mempromosikan kesejahteraan manusia dan memitigasi dampak perubahan iklim, menjaga keragaman hayati, dan ketidakseimbangan alam. 

Maka itu, gagasan pendanaan hijau dinilai sebagai pengubah permainan besar dalam industri keuangan syariah yang dapat membantu menerjemahkan inovasi instrumen keuangan baru. Hal yang berkaitan dengan proyek berbasis hijau dan ramah lingkungan sekaligus mengurangi kesenjangan pembiayaan iklim yang sangat besar.   

Bagaimana industri keuangan syariah menerjemahkan nilai dan etika universal (maqashid al-syariah) dalam bentuk produk dan layanan yang adaptif dan relevan dengan isu perubahan iklim merupakan persoalan krusial. Persoalan yang mengharuskan adanya perubahan paradigma berpikir yang sebelumnya cenderung legal-formal ke arah substantif-maslahat. 

Perubahan cara berpikir itu penting karena kriteria kepatuhan produk syariah pada industri keuangan syariah hanya dilihat dari keterpenuhan syarat dan rukunnya. Sementara itu, dampak nyatanya daripada produk dan jasa yang diberikan tidak dijadikan sebagai instrumen penilaian. Akibatnya, prinsip dasar dan nilai keuangan syariah yang berorientasi pada pembedayaan ekonomi, sosial,dan lingkungan hilang dari serangkaian produk dan layanan yang diberikan, bahkan adanya kecenderungan meniru produk yang ditawarkan konvensional dengan sekadar malabeli istilah syariah pada produknya. 

Tuntutan agar lembaga keuangan syariah dalam pengembangan produknya lebih mempertimbangkan aspek substantif dari legalis-formalis sebenarnya berpijak pada gagasan besar agar keuangan syariah hari ini lebih berorientasi moral, etik, dan kemaslahatan yang berkesimbungan.

 

Paradigma berpikir ekologis

Pada level praksis, reformasi tata kelola, dan pengembangan produk keuangan syariah di semua tingkatan, baik yang berorientasi bisnis maupun sosial, membutuhkan perubahan kerangka berpikir dari linieritas ke ekologis. Pada corak berpikir linier, akumulasi kekayaan dan ekploitasi sumber daya alam dilakukan dengan tanpa mempertimbangkan dampak kerusakan ekologis yang potensial mendatangkan bencana alam, seperti banjir, tanah longsor, dan lainnya. 

Konsekuensinya, keamanan masa depan manusia dan keberlangsungan keragaman hayati terganggu, bahkan musnah dalam waktu yang relatif pendek. Di sinilah pentingnya kita menggerakkan cara berpikir ekologis ketimbang cara berpikir linier.

Khan (2019) berpandangan bahwa fondasi etika dan moral Islam menduduki posisi yang penting dalam mendukung modifikasi perubahan pola berpikir linier ke ekologis bagi industri keuangan syariah untuk mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan (SDGs) dan transisi pada ekonomi sirkular. 

Berhasil tidaknya perubahan cara berpikir progresif itu bergantung sepenuhnya pada pemahaman stakeholder terhadap prinsip dasar etika Islam seperti penghormatan atas masa depan generasi berikutnya dan integrasi standar moral lembaga filantropi Islam (zakat, infak, sedekah, wakaf), yang pada keseluruhan proses pengarusutamaan kegiatan ekonomi sosialnya harus lebih ramah terhadap pemuliaan lingkungan dan alam. 

Kepatuhan yang ketat pada standar lingkungan di bawah paradigma berpikir ekologis harus berlaku pada semua tahapan kegiatan bisnisnya dari hulu ke hilir. Mulai penyaringan investasi syariah, kelayakan bisnis yang dijalankan, portfolio pembiayaan yang diberikan, bahkan pada tahap implementasinya.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat