visitaaponce.com

Tragedi Kemanusiaan

Tragedi Kemanusiaan
Adiyanto Wartawan Media Indonesia(MI/Ebet)

PERTENGAHAN pekan lalu terjadi dua kecelakaan laut di luar negeri. Peristiwa pertama menimpa kapal selam wisata Titan di perairan Atlantik utara. Kapal itu mengangkut lima penumpang. Selain juru mudi, kapal yang dioperasikan perusahaan jasa wisata bawah laut Opengate itu disebut- sebut mengangkut miliarder Pakistan, Shahzada Dawood, beserta putranya, Suleman Dawood, serta dua wisatawan kaya lainnya, Hamish Harding dan Paul-Henri Nargeolet.

Tujuan mereka untuk melihat bangkai kapal Titanic yang tenggelam lebih dari seabad silam. Namun, nahas, kapal selam itu justru hilang kontak hingga akhirnya ditemukan meledak. Meski jasadnya belum ditemukan, semua penumpang diperkirakan tewas.

Berselisih beberapa hari dari peristiwa itu, sebuah kapal pencari suaka yang disesaki kurang lebih 750 penumpang, sebagian besar di antaranya warga Pakistan dan Afghanistan, juga tenggelam di lepas pantai Yunani. Korban yang tewas mencapai ratusan.

Dua peristiwa itu bagi saya cukup ironis dan memilukan. Selain penanganannya berbeda, tujuan manusia dalam kapal itu juga bertolak belakang. Yang pertama untuk pelesiran dengan ongkos miliran per orang, sementara para pencari suaka itu menggantang asa (sekaligus bertaruh nyawa) demi sekadar hidup yang lebih manusiawi ketimbang di negeri asalnya yang dilanda konflik.

Seperti kita tahu dari sejumlah pemberitaan, peristiwa hilangnya kapal selam Titan itu jadi perhatian dunia. Ia menjadi headline di sejumlah media massa ternama internasional. Penanganannya pun istimewa, melibatkan sejumlah negara, termasuk angkatan laut Amerika Serikat. Sebaliknya, penanganan peristiwa tenggelamnya kapal pencari suaka itu terkesan biasa-biasa saja. Begitu pun pemberitaannya, datar-datar saja.

“Mereka mengerahkan semua sumber daya dan begitu banyak berita mengenai pencarian ini (kapal selam Titan). Namun, mereka tidak mau repot-repot mencari ratusan orang Pakistan dan orang lain yang berada di kapal di lepas pantai Yunani itu. Ini ialah standar ganda,” kata Anees Majeed, mahasiswa asal Pakistan yang kehilangan keponakannya, seperti dikutip The Guardian, Minggu (25/6).

Tanpa mengurangi rasa simpati kepada para korban dalam kedua musibah tersebut, cara penanganan ataupun pemberitaan mengenai kedua peristiwa itu, menurut saya, memang sungguh kontradiktif. Saya tidak mengatakan tidak ada pemberitaan tentang tragedi di Yunani itu. Begitu pun dengan upaya penyelamatan yang dilakukan pemerintah setempat. Tentu saja ada, tetapi skalanya tidak sebanding dengan pemberitaan ataupun upaya penyelamatan kapal selam wisata tersebut.

Apakah lantaran peristiwa yang dialami para imigran itu sudah sering terjadi sehingga dianggap biasa-biasa saja? Apakah karena di kapal selam itu ada pesohor dan miliarder sehingga harus diekspos besar-besaran untuk sekadar click bait? Entahlah...

Setiap tahun, jutaan orang di belahan dunia melarikan diri dari kemiskinan dan penderitaan. Mereka terpaksa meninggalkan kampung halaman, kadang harus berpisah dengan sanak saudara dan keluarga dengan harapan mendapatkan kehidupan yang lebih baik di negeri orang. Sayangnya, impian itu kerap kandas di tengah jalan.

Menurut data UNHCR, badan pengungsi PBB, pada 2021, sebanyak 1.924 orang pencari suaka itu dilaporkan tewas atau hilang di rute Mediterania Tengah dan Barat, sementara 1.153 lainnya tewas atau hilang di rute Afrika Barat Laut ke Kepulauan Canary.

Jika kita pun menganggap puluhan ribu pengungsi itu, termasuk dari Rohingya yang terdampar di Aceh, sekadar statistik, apakah itu juga bukan sebuah tragedi? Jangan-jangan, rasa kemanusiaan kita pun perlahan memang mulai karam.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat