visitaaponce.com

Kota yang Memerdekakan

Kota yang Memerdekakan
Ilustrasi MI(MI/Seno)

MESKI bangsa Indonesia telah merdeka 78 tahun, kenyataannya kota-kota kita belum merdeka. Ada pekerjaan rumah yang perlu segera dituntaskan, yakni pengentasan kawasan kumuh kota.

Menurut UU No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, permukiman kumuh ialah permukiman yang tidak layak huni yang ditandai dengan ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat. Sementara itu, perumahan kumuh ialah perumahan yang mengalami penurunan kualitas fungsi sebagai tempat hunian.

Data kawasan kumuh di tiap provinsi di Indonesia, di luar wilayah DKI Jakarta, pada 2019, meliputi Aceh 5786 ha, Sumatra Utara 6206 ha, Sumatra Barat 1896 ha, Riau 1152 ha, Jambi 1373 Sumatra Selatan 3607 ha, Bengkulu 786 ha, Lampung 2023, Kepulauan Bangka Belitung 648 ha, Kepulauan Riau 823 ha. Lalu, Jawa Barat 4.572 ha, Jawa Tengah 8912 ha, DI Yogyakarta 406 ha, Jawa Timur 1.797 ha, Banten 1.371 ha, Bali 484 ha, Nusa Tenggara Barat 1927, Nusa Tenggara Timur 756 ha. Juga, Kalimantan Barat 3.426 ha, Kalimantan Tengah 1751 ha, Kalimantan Selatan 3.271 ha, Kalimantan Timur 1.154 ha, Kalimantan Utara 317 ha, Sulawesi Utara 561 ha, Sulawesi Tengah 2.515 ha, Sulawesi Selatan 2.190 ha, Sulawesi Tenggara 1.445 ha, Gorontalo 258 ha. Pun Sulawesi Barat 224 ha, Maluku 301 ha, Maluku Utara 707 ha, Papua Barat 556 ha, Papua 707 ha (Ditjen Cipta Karya, Kementerian PU-Pera, 2020).

 

Langkah perbaikan

Lalu, langkah apa yang harus dilakukan? Pertama, regulasi. Pemerintah kota/kabupaten harus menetapkan batas deliniasi kawasan kumuh dan memastikan lokasi kawasan kumuh sesuai rencana tata ruang wilayah dan rencana detail tata ruang yang ditetapkan dalam surat keputusan wali kota/bupati. Kemudian, pemerintah daerah dapat mulai menata kembali struktur penguasaan kepemilikan (dibuktikan dengan sertifikat hak milik/SHM), melakukan konsolidasi penggunaan lahan, serta melakukan penataan ulang/peremajaan kawasan kumuh.

Sesuai UU No 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dan PP No 14/2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman, pemerintah daerah menyusun rencana tata bangunan dan lingkungan (RTBL) dan panduan rancang kawasan kumuh (PRK).

Kedua, revitalisasi. Pemerintah kota/kabupaten melakukan pemetaan sosial sebelum penataan permukiman kumuh karena setiap kawasan kumuh memiliki karakter berbeda. Pendataan dilakukan pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat/komunitas. Rencana pembenahan meliputi perbaikan kualitas prasarana dan sarana, dan utilitas umum yang memenuhi persyaratan dan tidak membahayakan penghuni, tingkat keteraturan dan kepadatan bangunan, kualitas bangunan, serta kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat.

Status ringan, pemugaran bangunan rumah warga (bedah rumah) secara mandiri atau gotong royong. Konstruksi bangunan memenuhi persyaratan rumah sehat. Status sedang, peremajaan kawasan kumuh, yakni permukiman ditata ulang terpadu, perbaikan jalan dan saluran air, jaringan utilitas (air bersih, gas, listrik), sanitasi komunal, penanganan sampah, instalasi pengolahan air limbah, serta jalur evakuasi dan ruang terbuka hijau.

Status berat, jika lokasi kawasan kumuh tidak sesuai rencana tata ruang dan rawan bencana (kebakaran, banjir, gempa), demi keamanan dan keselamatan warga, perumahan harus direlokasi ke kawasan yang lebih aman dan layak huni. Lokasi kawasan dikembalikan sesuai peruntukannya atau dijadikan ruang terbuka hijau.

Ketiga, sosialisasi. Pembangunan hunian vertikal akan mengefisiensikan penggunaan lahan, mengoptimalkan pemanfaatan lahan, dan meningkatkan daya tampung hunian. Pembangunan hunian vertikal harus didukung dengan pembangunan jaringan utilitas berupa penyediaan air bersih, penataan jaringan listrik (penyebab utama kebakaran), penyambungan gas (penyebab kedua kebakaran), serta pengelolaan sampah (tempat pengolahan sampah terpadu) dan air limbah (instalasi pengolahan air limbah komunal).

Efisiensi penggunaan lahan akan menyediakan lahan yang memadai untuk pelebaran jalan, saluran air, jaringan utilitas, termasuk jalur evakuasi bencana dan pemadam kebakaran (dilengkapi pompa hidran). Selain itu, akan tersedia pula ruang terbuka hijau berupa taman, kebun sayuran, lapangan olaharaga, tempat interaksi warga sekaligus tempat evakuasi bencana.

Keempat, implementasi. Ketinggian bangunan hunian vertikal (4-8 lantai) dan jumlah unit yang disediakan disesuaikan dengan jumlah penduduk yang tinggal di kawasan kumuh tersebut. Pemerintah kota/kabupaten melakukan konsolidasi lahan, memastikan hak kepemilikan tanah, serta berkoordinasi dengan badan pertanahan daerah untuk menghitung ganti untung dan hak kepemilikan unit di hunian vertikal secara transparan dan berkeadilan.

Proses pembangunan hunian vertikal membutuhkan waktu 3-6 bulan kerja. Selama pembangunan, masyarakat diberi pilihan untuk pindah sementara ke rumah susun terdekat dengan biaya sewa ditanggung pemerintah, ke rumah saudara/keluarga, atau mengontrak rumah atas biaya bersama (disubsidi pemerintah). Kota pun bebas kumuh.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat