visitaaponce.com

Tersesat dalam Polusi Udara

Tersesat dalam Polusi Udara
Abdillah Muhammad Marzuqi(Dok pribadi)

IBARAT seorang wartawan mengajukan pertanyaan pada kepala daerah yang wilayahnya didera masalah kelaparan akut; bagaimana cara mengatasi kelaparan akut? Pertanyaan itu dijawab 'dengan sarapan'.

Begitu pula dengan polusi udara yang terjadi di kawasan DKI Jakarta dan sekitarnya. Uniknya, jawaban itu diungkapkan dengan lugas, tegas, dan bernas. Lantang para pemimpin mengecilkan permasalahan sekaligus mengerdilkan pemikiran.

Polusi udara akut dijawab dengan kebijakan work from home (WFH). Jika WFH menjadi solusi tepat polusi udara, mengapa tidak dipermanenkan saja. PNS dan ASN selamanya WFH. Itu akan terdengar lebih merdu di telinga. Setidaknya gaji dari pajak rakyat bisa untuk usaha sampingan pelihara ayam atau buat warung kelontong.

Polusi udara tidak muncul tiba-tiba. Ia seperti jelangkung yang disebut-sebut butuh dipanggil sekaligus tidak perlu diantar pulang. Ia akan hilang dengan sendirinya ketika panggilannya dibatalkan. 

Lantas, bagaimana menangani polusi udara? WFH saja. Tidak salah juga para pemimpin tak memasukkan persoalan lingkungan dalam otak mereka. Toh, dalam Pancasila tidak ada satu kata pun yang menyebut lingkungan, ekologi, polusi udara, ataupun sampah plastik. Artinya, mereka adalah pemimpin yang lurus dan bersetia dengan dasar negara, sekaligus berperilaku sesuai cara pandang Pancasila. 

Tentu saja itu merupakan bahasa halus dari ketidakmampuan menerjemahkan landasan konstitusi untuk menjawab persoalan kehidupan segenap rakyat. 

Kembali pada polusi udara. Harus diakui persoalan lingkungan tidak lebih menarik dari isu kesejahteraan, kemiskinan, kelaparan, pendapatan, dan lapangan kerja. Setidaknya, dalam isu tersebut terasa lebih dekat dengan politik kekuasaan yang menjadi tempat lahir pemimpin bangsa ini. Mungkin lebih banyak uang mengalir di politik dibanding memelihara lingkungan yang kerap berbaku-hantam dengan dunia usaha.

Silang pendapat

Berdasarkan banyak pendapat ahli yang juga kerap bersimpangan. Polusi udara di DKI Jakarta diakibatkan oleh operasional pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang memakai batu bara untuk menghasilkan listrik. Tentu saja, hal itu bisa langsung dibantah oleh orang-orang yang menggantungkan penghasilannya dari produksi batu bara dan listrik.

Ada pula pendapat yang menyebut kendaraan bermotor menjadi sumber utama polusi. Biasanya, pendapat itu disertai dengan data yang mendukung sekaligus mengesampingkan data yang menentang. Lagi-lagi, data itu sengaja dipilih dan dipilah sesuai dengan bangun pemikiran yang hendak diungkapkan. Lalu, terjadilah perang data untuk menunjukkan argumen yang paling kuat, untuk kemudian menang debat. Sekali lagi, bukan bersama mencari solusi yang tepat nan permanen.

Transportasi publik hanya sekadar ada dan punya. Setidaknya untuk berbangga ketika pertemuan internasional. Pemimpin kita dengan bangga akan bilang Jakarta punya MRT dan LRT. Seolah tidak mau kalah dengan negara lain yang transportasi publik menjadi tulang punggung, bukan sekadar punya. Di beberapa negara maju, kaum pejalan kaki adalah raja. Di sini, kaum pejalan kaki merupakan jelata yang seolah tidak punya hak untuk berada di Jakarta.

Sekali lagi, urusan energi bersih akan menjadi seksi jika dikaitkan dengan kendaraan listrik, motor listrik, dan kendaraan yang diklaim ramah lingkungan. Padahal sumber energi listrik itulah yang dinilai jadi sumber masalah.

Bayangkan kalau 50% masyarakat Jabodetabek membeli kendaraan listrik seperti harapan pemerintah. Mari kita beli kendaraan listrik yang disubsidi oleh pemerintah. Apakah polusi udara berkurang? Bisa jadi. Kemacetan? Tambah lagi. Mungkin dalam pemikiran para pemimpin, macet akan lebih menyenangkan jika minim polusi udara. Pengendara bisa menikmati udara sejuk nan segar di tengah kemacetan.

Uji emisi akan digalakkan untuk menyikapi masalah polusi udara. Ide yang benar-benar brilian. Ibarat sakit lalu pergi ke rumah sakit. Dokter hanya memeriksa, lalu pasien disuruh pulang. Setelah itu, penyakitnya diharap pergi dengan sopan.

Krusialkah isu lingkungan? Sudahlah jangan berharap soalan ekologi mampu mendominasi arus utama perbincangan di negara ini. Toh tujuan bernegara adalah terwujudnya keadilan sosial sembari berpraktik hidup dan kehidupan dengan didasarkan ketuhanan yang maha esa. Artinya, tidak perlu berekologi. Lebih penting berekonomi sembari mewujudkan keadilan sosial.

Memang hanya orang futuristik yang berpikir dan berpihak pada keberlanjutan daya topang lingkungan pada aktivitas manusia. Antroposentris? Memang.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat