visitaaponce.com

Laksamana Malahayati, Penjaga Selat Malaka yang Disegani Dunia

Laksamana Malahayati, Penjaga Selat Malaka yang Disegani Dunia
Zainal C Airlangga(Dok pribadi)

HERMAN Willem Daendels, Gubernur Jenderal Belanda yang menguasai Indonesia pada 1808-1811, pernah menulis catatan yang penuh sentimen perihal male chauvinist (pemujaan kejantanan), "Perempuan tidak punya tempat dalam penghormatan umum, dan terhadap perempuan hanya ada urusan pribadi!" Catatan itu tak lain ditujukan kepada perempuan Nusantara yang ketika itu disebutnya warga kelas dua dan tak punya kiprah di panggung publik.

Tentu saja, anggapan Daendels keliru. Sebab, jejak-jejak sejarah menunjukkan bahwa mereka sebelum Kartini sekalipun, nyatanya bukan sosok perempuan yang terbelenggu. Jauh sebelum abad ke-19 dan 20, sejarah perempuan di Nusantara adalah riwayat tentang kepemimpinan inspiratif dan perlawanan. 

Mereka tidak saja membangun kesadaran emansipasi paling awal, tetapi juga bahkan memimpin perang di garis depan. Sebut saja Gayatri Rajapatni dan Tribuana Tunggadewi dari Majapahit, Ratu Sima dari Kalingga, Matah Ati dari Mangkunegaran, Nyi Ageng Serang dari Jawa Tengah, Martha Christina Tiahahu dari Maluku, Maria Walanda Maramis dari Sulawesi, hingga Laksamana Malahayati dan Cut Nyak Dhien dari Aceh.

Karena itu, kita tidak lantas terkesima dengan konstruksi Barat bahwa emansipasi perempuan dimulai dan tentang Kartini saja. Sebab, Belanda berkepentingan untuk mencipta figur perempuan lembut yang tak membahayakan mereka, yang melawan tradisi feodal Jawa, dan memuja pikiran Barat. Tujuan politis Belanda melalui Kartini (tanpa mengecilkan peran besar Kartini), adalah menampilkan wajah protagonis Belanda dan keberhasilan politik etis.

Konstruksi tersebut, juga dipropagandakan Belanda untuk menihilkan sejarah perlawanan (secara fisik) dari para perempuan Nusantara. Karena jika kisah kepahlawanan mereka itu dibuka dan menjadi buah bibir di daerah jajahan, letusan pemberontakan melawan kolonial akan jauh lebih besar dan membahayakan. Pada titik ini, negeri penjajah perlu membentuk stigma bangsa Indonesia yang inferior, terbelakang, pasrah, dan tak berdaya.

Namun berkebalikan dari stigma dan kontruksi itu, satu dari sekian sosok perempuan Nusantara penantang kolonial adalah Laksamana Malahayati. Dialah penjaga selat Malaka dari Kesultanan Aceh Darussalam yang disegani dunia.

Laksamana perempuan pertama di dunia

Pemilik nama asli Keumalahayati ini, namanya mudah ditemukan di literatur Barat dan Tiongkok, namun amat sulit dilacak di Indonesia. Padahal, dia adalah laksamana perempuan pertama di dunia, petarung garis depan, dan pemimpin laskar Inong Balee (para janda perang) yang disegani lawan maupun kawan.
 
John Davies, kapten Inggris yang bekerja untuk kapal Belanda mencatat, "Kesultanan Aceh pada masa itu memiliki armada laut yang terdiri dari 100 kapal, di antaranya berkapasitas muatan 400–500 penumpang. Yang menjadi pemimpin pasukan tersebut adalah seorang perempuan berpangkat laksamana, namanya Malahayati. Dengan perkasa, Laksamana Malahayati bersama anak buahnya terlibat pertempuran melawan portugis di Selat Malaka. Enam kapal Portugis di Selat Malaka berhasil ditenggelamkan." (Davis dalam Yacobs, 1894).

Bahkan, di tangan perempuan asal Tanah Rencong inilah, Cornelis de Houtman, pemimpin armada laut Belanda yang terkenal dan sempat mendarat di Pelabuhan Banten, tewas dalam duel satu lawan satu di atas geladak kapal pada 11 September 1599. Fakta sejarah ini tercatat dalam literatur bertajuk Vrouwelijke Admiraal Malahayati karya penulis Belanda Marie van Zuchtelen.

Juni tahun berikutnya, Malahayati berhasil menangkap Laksamana Belanda, Jacob van Neck, yang tengah menjarah rempah-rempah di pantai Aceh. Setelah berbagai insiden, Belanda akhirnya mengirim surat diplomatik dan memohon maaf kepada Kesultanan Aceh melalui utusan Maurits van Oranjesent.

Peristiwa terbunuhnya de Houtman dan penangkapan Jacob Cornelisz van Neck, sesuatu yang menggegerkan bangsa Eropa dan terutama Belanda. Karena kepiawaiannya dalam bertempur, oleh peneliti Barat nama Malahayati disejajarkan dengan Semiramis, Permaisuri Raja Babilonia dan Katherina II, Kaisar Rusia, serta Jeanne d’arc dari Perancis.

Tidak hanya itu, reputasi Malahayati juga sampai ke telinga Ratu Elizabeth, penguasa Inggris. Tak seperti Portugis dan Belanda, negeri raksasa itu memilih berdamai dengan Aceh. Pada Juni 1602, Ratu Elizabeth I mengutus Sir James Lancaster ke Aceh untuk meminta izin melintasi Selat Malaka.

Malahayati ternyata juga merupakan sosok negosiator ulung. Pada Agustus 1601, Malahayati memimpin Aceh untuk berunding dengan dua utusan Maurits van Oranjesent, Laksamana Laurens Bicker dan Gerard de Roy. Mereka sepakat melakukan gencatan senjata. Belanda juga harus membayar 50 ribu gulden sebagai kompensasi penyerbuan yang dilakukan Van Caerden. Denda tersebut adalah buntut tindakan Paulus van Caerden ketika datang ke Aceh menggunakan dua kapal, menenggelamkan kapal dagang Aceh serta merampas muatannya berupa lada, lalu pergi meninggalkan Aceh.

Peristiwa penting lainnya selama Malahayati menjadi Laksamana adalah ketika ia mengirim tiga utusan ke Belanda, yaitu Abdul Hamid, Sri Muhammad, dan Mir Hasan. Ketiganya merupakan duta-duta pertama dari negara/kerajaan di Asia yang mengunjungi negeri Eropa. Rombongan duta Aceh itu tiba pada Agustus 1602, namun pada 9 Agustus Abdul Hamid meninggal dunia di negeri Eropa dan dimakamkan di perkarangan gereja St Pieter di Middelburg, Zeeland.

Memimpin pasukan ‘Janda Perang’

Malahayati atau Keumalahayati diperkirakan lahir pada 1585. Namanya memiliki arti yang istimewa; batu indah dan bercahaya. Ia puteri dari Laksamana Mahmud Syah, cucu dari Laksamana Muhammad Said Syah, cicit dari Sultan Salahuddin Syah, raja di era 1530-1539, yang juga pendiri kerajaan Aceh Darussalam. Sedangkan ibunya telah wafat sejak ia masih kecil.

Selepas menempuh pendidikan agamanya di Meunasah, Rangkang, dan Dayah, oleh karena ingin mengikuti karier ayahnya sebagai laksamana, maka ia mendaftarkan diri dalam penerimaan taruna di Akademi Militer 'Mahad Baitul Makdis' milik Kesultanan Aceh Darussalam. Di sana, ia memilih angkatan laut dan dikenal sebagai taruna yang sangat pintar.

Di akademi ini pula, Malahayati berkenalan dengan seorang calon perwira laut yang lebih senior. Keduanya saling jatuh cinta. Sepasang kekasih ini pun sepakat menikah setelah sama-sama lulus dan menyandang gelar perwira angkatan laut. Keduanya kemudian mengabdi di Kesultanan Aceh Darussalam di bawah pimpinan Sultan Alaiddin Ali Riayat Syah IV Saidil Mukammil (1589-1604 M).

Dalam suatu pertempuram melawan Portugis di Teluk Haru, armada Aceh sukses menghancurkan para tentara Portugis. Namun, kesuksesan perang yang dipimpin Sultan Alauddin Riayat Syah Al-Mukammil itu harus dibayar mahal dengan gugurnya sekitar seribu orang pasukan tempur Kesultanan Aceh. Bahkan termasuk suami Malahayati yang juga seorang laksamana yang saat itu menjabat sebagai Komandan Protokol Istana Darud-Dunia.

Sejak suaminya gugur dalam perang itu, Malahayati berjanji akan menuntut balas dan bertekad meneruskan perjuangan sang suami, meski seorang diri. Dia pun meminta kepada Sultan untuk membentuk armada laut Aceh, yang semua prajuritnya terdiri dari janda-janda yang suaminya gugur dalam perang Teluk Haru. Armada ini dikenal dengan nama Inong Balee, berkekuatan 2.000 orang janda.

Armada Inong Balee berulang kali terlibat dalam pertempuran di Selat Malaka, daerah pantai timur Sumatera, dan Malaya. Seorang wanita penulis asal Belanda, Marie van Zuchyelen dalam bukunya Vrouwolijke Admiral Malahayati, memuji Laksamana Malahayati dengan armada Inong Baleenya itu, terdiri dari 2.000 prajurit wanita yang gagah dan tangkas.  

Namun, setahun sebelum Sultan Iskandar Muda memerintah, Laksamana Malahayati wafat. Ia gugur saat masih memimpin pasukan Aceh menghadapi armada Portugis di bawah pimpinan Alfonso de Castro yang menyerbu Kreung Raya Aceh pada Juni 1606. Laksamana Malahayati lalu dimakamkan di lereng Bukit Kota Dalam, sebuah desa nelayan yang berjarak sekitar 34 kilometer dari Banda Aceh, yang jaraknya tidak jauh dari Benteng Inong Balee.

Menjadi Malahayati milenial

Laksamana Malahayati dan perang melawan kolonial memang telah berakhir. Namun justru itu awal bagi lahirnya para penantang baru kolonial di 1900-an. Kisah heroisme Malahayati jadi bahan bakar para pemuda pribumi dalam mengobarkan jihad fisabilillah. Malahayati menjelma inspirasi bagi para perempuan Indonesia, bahkan hingga kini. 

Sosoknya tak hanya menghiasi lembaran sejarah, tetapi juga diabadikan menjadi nama jalan, nama rumah sakit, nama pelabuhan, nama universitas di Lampung, nama kapal perang TNI Angkatan Laut, hingga nama RS terapung milik PDI Perjuangan.

Lalu, untuk masa kini, bagaimana mengambil inspirasi Laksamana Malahayati bagi generasi milenial? Generasi yang lahir pada 1980-2000 ini memiliki nuansa zaman berbeda dengan generasi sebelumnya. Mereka lahir di era kecanggihan teknologi dan informasi. Ada gap yang panjang antara sejarah kepahlawanan masa lalu dengan realitas kaum milenial saat ini. 

Oleh karena itu, nilai-nilai kepahlawanan perlu pemaknaan kembali. Tak melulu sosok yang berperang fisik atau memegang senjata. Tetapi, dia yang mampu merespons keadaan dengan pikiran-pikiran adiluhung dan berbuat lebih untk negerinya. Sikap seperti itulah yang disebut altruisme, sebuah spirit nilai yang menjadi penanda bahwa ia layak disebut pahlawan.

Dalam konteks ini, inspirasi serupa Malahayai harus dihadirkan kembali di era milenial guna menghadapi tantangan kekinian dan kedisinian. Pertama, di era teknologi digital seperti sekarang, musuh kepahlawanan semakin pelik karena dia menyelusup melalui berbagai propaganda yang memecah belah, terutama melalui media sosial. Citarasa kebangsaan dibuat tawar, tenun kebhinekaan dirobek dengan narasi saling menegasikan satu sama lain. 

Kedua, jika Laksamana Malahayati masa lalu mengusir penjajah melalui perlawanan fisik dan gerilya, Malahayati masa kini adalah anak-anak muda milenial yang akan mengalahkan musuh melalui berbagai gerakan sosial yang memanfaatkan teknologi dan menjadi role model di bidangnya masing-masing.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat