visitaaponce.com

Feminisme Pancasila

Feminisme Pancasila
Ilustrasi MI(MI/Seno)

SEJAK Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (UU No 7/1984) diratifikasi, kesejahteraan laki-laki meningkat layaknya deret ukur, sedangkan kesejahteraan perempuan meningkat seperti deret hitung. Bagi perempuan, Pancasila akan benar sakti jika dipatuhi, ketimpangan gender disudahi yakni dengan mengesahkan UU keadilan dan kesetaraan gender (KKG), serta dibangun demokrasi ekonomi.

Memang perempuan sudah ada yang menduduki jabatan presiden, wapres, ketua DPR, menteri, ketua partai, CEO korporasi, atau eselon I di birokrasi, tetapi itu tidak menggambarkan situasi umum kemajuan perempuan kita. Artinya, keberadaan para perempuan hebat di posisi-posisi strategis tersebut bersifat elitis dan kasuistik, bukan karena sistem ekonomi dan sosial sudah pro terhadap kesetaraan gender.

Lalu, mengapa keberadaan para perempuan hebat tersebut tidak memberi dampak pada perbaikan status para perempuan kebanyakan lainnya? Sederhana, karena mereka memang tidak ada agenda mengubah sistem agar lebih responsif dan akomodatif terhadap kebutuhan praktis dan strategis kaum perempuan umumnya.

Soekarno menyeru agar perempuan Indonesia yang ia sebut Sarinah bersikap revolusioner dengan mendukung revolusi yang dipimpinnya. Ia mendesak para Sarinah (dan Marhaen) untuk menjebol konspirasi feodalisme dan kapitalisme yang patriarkis dan menindas rakyat laki-laki dan terutama perempuan.

Soekarno dengan tegas menjelaskan bahwa masyarakat berkeadilan sosial (sosialisme) yang berkesetaraan bebas dari relasi-relasi kuasa yang asimetris adalah tujuan revolusi. Oleh karenanya, feminis Pancasila juga melakukan pembebasan perempuan (dan kelompok minoritas lain) dari praktik feodalisme dan neokolonialisme/imperialisme (nekolim).

Marhaenisme sebagai cikal bakal Pancasila adalah ideologi nasionalisme kerakyatan yang berisi pembebasan dan merupakan antitesis nasionalisme chauvinistic yang elitis dan berisi penaklukan. Sila kedua Pancasila oleh karenanya menuntut penghapusan segala bentuk diskriminasi berbasis bangsa, SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan), mayoritas-minoritas, maupun seksual.

Hak sipil politik atas kesetaraan di sila kedua itu harus linier dengan hak ekonomi sosial warga di sila kelima. Tetapi, jika perempuan yang merupakan 49,5% penduduk Indonesia menjadi korban ketimpangan, artinya pembangunan selama ini belum inklusif alias diskriminatif.

Diskriminasi memunculkan ketimpangan pembangunan dalam berbagai bentuk, misalnya ketimpangan pendapatan, kekayaan, dan konsumsi yang dicerminkan oleh indeks Gini ratio kita yang sebesar 0,388 (September 2023). Walaupun disebut ketimpangan moderat, magnitude-nya melukai rasa keadilan.

Laporan Oxfam menyebutkan Indonesia sebagai negara dengan ketimpangan terburuk keenam di dunia (https://www.oxfam.org/en/inequality-indonesia-millions-kept-poverty). Empat orang terkaya kita berharta lebih dari harta 40% penduduk termiskin berjumlah 100 juta orang.

Oxfam juga mencatat 1% orang terkaya di Indonesia memiliki harta yang setara harta 49% penduduk Indonesia (2016). Ada kenaikan jumlah miliuner dari satu menjadi 20 orang di tahun yang sama, tapi mereka semua laki-laki.

Orang terkaya Indonesia bisa mendapat keuntungan dari bunga hartanya dalam semalam yang besarnya lebih dari 1.000 kali pendapatan orang termiskin dalam setahun. Nilai kekayaan orang terkaya kita juga bisa untuk mengentaskan 2,8 juta penduduk dari kemiskinan ekstrem.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak tahun 2000 ternyata memicu makin melebarnya gap antara kaya dan miskin yang terburuk di ASEAN. Pertumbuhan ekonomi yang kita kejar dan banggakan ternyata lebih dinikmati oleh kelompok penduduk terkaya Indonesia.

Ketimpangan harus diatasi karena bisa menggagalkan upaya mengurangi kemiskinan dan mengganggu keberlanjutan pertumbuhan ekonomi. Yang lebih mengkhawatirkan, ketimpangan pembangunan berdampak buruk bagi kohesivitas sosial.

Lima demensi ketimpangan meliputi kelas sosial, etnis, gender, umur, dan disabilitas. Ketertinggalan perempuan ditunjukkan dari IPM (indeks pembangunan manusia) nasional yang berada di angka 72,91, dengan IPM laki-laki sebesar 76,73 dan IPM perempuan di 70,31. Perempuan banyak tertinggal di bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.

Secara global, indeks pembangunan gender (IPG) Indonesia berada di peringkat 9 dari 10 negara ASEAN atau di ranking 16 di G-20. Adapun indeks ketimpangan gender (IKG) Indonesia berada di ranking 110 dari 191 negara atau di peringkat 7 dari 10 negara ASEAN atau di ranking 18 dari 19 negara G-20.

IKG rendah karena partisipasi perempuan yang rendah di sektor ekonomi dan politik. Oleh karenanya, peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) terbaru, yakni PKPU No 10 Tahun 2023 tentang pencalonan anggota parlemen, yang tidak responsif terhadap afirmasi bagi keterwakilan perempuan, berpotensi memperburuk IKG kita.

Sikap ‘netral’ KPU yang semata mengikuti logika pembulatan matematika sebenarnya bias laki-laki karena mendukung kondisi ketimpangan keterwakilan perempuan di parlemen saat ini. Walaupun Mahkamah Agung telah mengabulkan gugatan pembatalannya, kerugian sudah terjadi karena tidak bisa mengubah daftar caleg tetap.

Jauh sebelum konsep Sustainable Development Goals (SDGs) dikembangkan, Pancasila dan konstitusi kita sudah pro kesetaraan (inklusif). Perempuan dan laki-laki diposisikan dalam relasi setara dan saling melengkapi. Keduanya diibaratkan sebagai dua sayap burung garuda yang harus sama-sama kuat agar garuda bisa terbang tinggi.

 

Feminisme Pancasila: ibu bangsa

Pancasila sangat akomodatif terhadap 5 prinsip dasar dalam feminisme, yaitu upaya meningkatkan kesetaraan, memperluas pilihan-pilihan bagi perempuan, mengakhiri stratifikasi gender, menghapus kekerasan seksual, dan mempromosikan kedaulatan seks perempuan.

 

Para founding mothers sudah aktif di pertemuan-pertemuan internasional gerakan sosialis. Kesadaran berorganisasi nasional para perempuan yang dimulai tahun 1912-an dan pada 1927 sudah mampu bergabung ke Pacific Congress di Honolulu yang hasilnya membuahkan tekad untuk membuat Kongres Perempuan I di tahun 1928.

Dalam Kongres Perempuan III pada 23-27 Juli 1938 di Bandung diputuskan bahwa tanggal 22 Desember (Kongres Perempuan I) sebagai Hari Ibu. Harapannya, dengan peringatan Hari Ibu di setiap tahun akan dapat memperkuat kesadaran para perempuan untuk berperan sebagai ‘Ibu bangsa’.

Konsep ibu bangsa ini ditegaskan kembali di Kongres Perempuan IV pada 25-28 Juli 1941 di Semarang. Para perempuan menuntut hak politik untuk berparlemen termasuk memilih dan dipilih sebagai anggota dewan kota.

Di Kongres Perempuan IV terbentuk empat badan pekerja untuk menangani 4 isu publik yang menjadi keprihatinan mereka. Keempatnya ialah pendidikan (pemberantasan buta huruf), kedaulatan seks (perkawinan sesuai hukum Islam, perkawinan anak, dan poligami), perburuhan (pekerja perempuan), dan perekonomian (kemiskinan kaum perempuan).

 

Sementara itu, Soekarno sudah mendukung Kongres Perempuan I 1928 dan memaknainya persis seperti Sumpah Pemuda, yakni sebagai upaya membangun nasionalisme (identitas kebangsaan) kaum perempuan untuk menyongsong kemerdekaan Indonesia.

Pada Kongres PNI I 1929, Soekarno berpidato bahwa kesetaraan perempuan (vrouwenemancipatie) sudah saatnya. Perempuan tidak lagi bicara dapur, kasur, dan sumur, tetapi mencari hal yang sama dengan laki-laki. Jauh sebelum memformulasi Pancasila, Soekarno sudah seorang feminis (male feminist).

Di masa pascakolonial, Soekarno memperkuat identitas dan peran Sarinah sebagai ‘ibu bangsa’ yang sudah ditetapkan di Kongres Perempuan IV dengan memperluas peran para perempuan. Selain mengurus isu kebangsaan di atas, perempuan disarankan untuk ikut merawat pembangunan dan menjadi sukarelawati (sukwati) untuk bencana serta sebagai pendorong terwujudnya gotong royong dalam pembangunan.

Di buku Sarinah (1947) kemudian Soekarno menjelaskan argumentasi perempuan sebagai ‘ibu bangsa’ yaitu sebagai ibu yang melahirkan peradaban dunia. Para perempuanlah yang memulai kegiatan bercocok tanam di saat para lelaki masih berburu. Dengan bercocok tanam, masyarakat menjadi hidup menetap sehingga memungkinkan berkembangnya berbagai ilmu pengetahuan, mulai ilmu hayati, sosial, hukum, hingga politik.

Sehingga, ‘ibu bangsa’ bukan sekadar fungsi biologis, tetapi ideologis. Ibu bangsa adalah ibu peradaban di sepanjang masa ketika Indonesia menyatakan keberadaannya sebagai suatu bangsa. Lalu, di mana tempat ibu bangsa dalam gerakan feminisme?

Secara tradisional, feminisme dibagi menjadi tiga tradisi utama yang dikenal sebagai tiga besar, yaitu feminisme liberal/arus utama, feminisme radikal, dan feminisme sosialis atau Marxis. Ketiganya berbeda dalam tujuan, strategi, dan afiliasi walaupun sering tumpang tindih.

Perumusan Pancasila sangat diwarnai pemikiran sosialis yang berpengaruh besar pada para founding fathers dan mothers, terutama Soekarno. Ini wajar, karena gerakan pembebasan atau perlawanan terhadap kolonialisme dipantik oleh paham sosialisme di Eropa yang kemudian menyebar ke seluruh dunia.

Soekarno, sang penggali Pancasila, pada 6 November 1965 di hadapan anggota Kabinet Dwikora di Istana Bogor menegaskan bahwa Pancasila memang kiri. "Thus, Pancasila is left," kata Soekarno. Sila kelima Pancasila, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, adalah wujud sosialisme Indonesia.

Daalam buku Revolusi Belum Selesai, Soekarno menjelaskan bahwa Pancasila adalah ideologi yang mengutuk pendudukan kolonial, eksploitasi antarmanusia (termasuk berbasis seks) maupun antarbangsa. Dengan demikian, Pancasila bisa menurunkan aliran feminisme Pancasila.

Karena menginduk pada Pancasila, aliran feminisme Pancasila adalah perjuangan melawan neokapitalisme/imperialisme dan feodalisme yang patriarkis untuk menuju masyarakat yang berkesetaraan (sosialisme Indonesia). Feminisme Pancasila tidak secara eksklusif berfokus pada kesetaraan laki dan perempuan, tetapi juga berupaya memasukkan analisis kelas dan kondisi ekonomi perempuan.

Sama seperti feminisme sosialis, maka feminisme Pancasila juga menekankan pentingnya memperjuangkan kesetaraan gender dalam konteks sosial dan ekonomi yang lebih luas. Selain itu, feminisme Pancasila juga percaya bahwa kesetaraan gender tidak dapat dicapai tanpa mengatasi ketidakadilan sosial dan ekonomi yang mendasar dalam sistem kapitalisme yang berbasis pada individualisme dan tidak pro kerakyatan.

Oleh karena itu, feminisme Pancasila juga memandang bahwa perjuangan feminisme harus dikaitkan dengan perjuangan kelas pekerja dan gerakan sosial lainnya. Dalam konteks Indonesia, perjuangan para pekerja rumah tangga (PRT) merupakan wujud dan perjuangan para feminis Pancasila.

Sebagai kontras, feminisme liberal memandang kesetaraan gender dapat dicapai melalui reformasi kebijakan dan hukum yang lebih inklusif terhadap perempuan. Aliran ini lebih menekankan pada pentingnya hak-hak individu perempuan, seperti hak reproduksi, hak memilih, dan hak mendapat perlakuan yang sama dalam dunia kerja. Oleh karenanya, perempuan harus memiliki kesempatan yang sama seperti laki-laki dalam mendapatkan pendidikan, pekerjaan, dan akses ke sumber daya.

Feminisme Pancasila secara epistemologi menekankan pentingnya memahami realitas gender dalam konteks sosial dan ekonomi yang lebih luas. Secara aksiologis, feminisme (sosialis) Pancasila menekankan pentingnya memperjuangkan kesetaraan gender dalam konteks sosial dan ekonomi yang lebih luas.

Sama halnya dengan berbagai aliran feminis lainnya, feminisme Pancasila berusaha mencapai kesetaraan gender dan menciptakan masyarakat yang lebih adil dan inklusif bagi semua orang.

Meski demikian, untuk mentransformasi masyarakat menuju sila kelima, maka perlu membangun kesadaran kritis atas realitas perempuan sebagai korban sistem. Akan tetapi, untuk mengubah dan merevolusi sistem harus ada kombinasi strategi kultur dan struktur.

Untuk menjebol struktur atau sistem menuju masyarakat sosialis Pancasila maka dibutuhkan gerakan penyadaran akan hak-hak kesetaraan gender kepada perempuan dan laki. Tetapi kesadaran yang dibangun harus berstrata kritis, bukan kesadaran semu (fungsional/naif). Tanpa kesadaran kritis tidak akan muncul daya daya dobrak untuk menjebol sistem dari eksklusif-asimetris ke sistem yang inklusif-egalitarian.

 

UU keadilan dan kesetaraan gender (KKG)

Contoh perempuan pemimpin yang revolusioner di masa modern ialah Michelle Bachelet, perempuan pertama yang menjadi Presiden Cile. Selama dua periode kepresidenan (2006-2010 dan 2014-2018), ia membuat terobosan-terobosan penting untuk perbaikan demokrasi, praktik keadilan, dan meningkatkan status perempuan.

Sebelumnya, Michelle adalah menteri kesehatan, lalu menteri pertahanan pertama perempuan. Saat terpilih sebagai presiden, ia membentuk kabinet yang 50%-nya perempuan. Jika menterinya laki-laki maka wakilnya harus perempuan dan sebaliknya.

Pada periode pertama tersebut (2010-2014), ia melakukan perluasan sistem proteksi sosial untuk ibu, anak, dan disabilitas. Investasi untuk pendidikan dan kesehatan dinaikkan serta kebijakan kesetaraan gender ia lembagakan menjadi kebijakan negara.

Karena ada larangan menjadi presiden secara berturutan, ia kembali mencapreskan diri pada empat tahun kemudian, dan menang dengan angka tinggi dari sebelumnya 53% menjadi 62%. Pada periode kedua, ia menggratiskan biaya pendidikan univertas, mengeluarkan kebijakan baru untuk lingkungan, serta membentuk kementerian perempuan dan kesetaraan gender.

Di Indonesia, sulit mengharap ada pemimpin politik perempuan yang feminis dan revolusioner seperti Michelle Bhacelllet. Untuk menciptakan kesetaraan gender di Indonesia, pendekatannya harus melalui pembentukan hukum yakni undang-undang keadilan dan kesetaraan gender (UU KKG).

Sudah ada Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional, tetapi ternyata tidak berjalan dan kesetaraan gender justru memburuk.

RUU KKG sudah sempat dibahas panja di Komisi VIII DPR pada 2013, tapi kemudian menghilang. RUU KKG memandatkan pengaturan serta tindakan kesetaraan dan keadilan gender untuk diperluas. Tidak saja di pemerintah/eksekutif, tapi juga di legislatif, yudikatif, korporasi, dan masyarakat.

Pelaksaan KKG di pemerintahanlah yang akan bisa berdampak bola salju sebagaimana ditunjukkan oleh Michelle Bachellet. Di kawasan Latin Amerika, ia menginspirasi 3 perempuan lainnya untuk menjadi kepala pemerintahan, yaitu Dilma Rousseff di Brasil, Cristina Fernández de Kirchner di Argentina, serta Laura Chinchilla di Kosta Rika.

Keempatnya adalah feminis sosialis dan menunjukkan kesamaaan gaya pemerintahan yang berkarakter pro demokrasi dan rakyat miskin. Mereka berempat disebut berhasil memfeminiskan politik di Latin Amerika dengan karakter inklusif karena pro kesejahteraan rakyat dan kelompok marginal.

Pada periode kedua, legasi dan pengaruh kebijakan Bachellet kuat dan berkelanjutan. Ia mengarahkan kebijakannya yang tidak populer, yakni mempersempit ketimpangan pendapatan melalui reformasi perpajakan. Ia juga mereformasi energi yang menempatkan Cile saat ini paling maju di Latin Amerika dalam bidang energi terbarukan (tenaga surya).

Di bidang politik, ia merombak aturan pemilu sehingga partai kecil bisa ikut pemilu. Ia juga melakukan perbaikan penanganan korupsi yang menghidupkan kepercayaan rakyat.

Komitmen politiknya yang kuat terhadap prinsip kesetaraan (equality) mengantarnya menjadi pelopor kemajuan dan pembangunan. Dukungannya terhadap kesetaraan gender mengasahnya menjadi responsif terhadap isu keadilan dan kesejahteraan sehingga kemiskinan, lingkungan, demokrasi, minoritas, dan antikorupsi yang sangat berdampak pada kesejahteraan rakyat ia jadikan prioritas.

Berdasar aksiologi feminisme Pancasila dan ditunjukkan oleh pengalaman Cile, maka UU KKG hanya akan efektif apabila ada perbaikan demokrasi ekonomi. Tatanan ekonomi dan sosial yang lebih inklusif merupakan prasyarat bagi berhasilnya UU KKG.

Sistem ekonomi yang memiskinkan perempuan harus dihentikan. Alokasi APBN harus ditujukan untuk mempersempit ketimpangan gender, misalnya melalui kebijakan yang memastikan bahwa minimal 30% penerima manfaat pembangunan ialah perempuan.

Kombinasi aksi kultural (pemberdayaan perempuan) dan struktural (pembenahan konteks tata ekonomi dan politik) harus dilakukan karena hal itu merupakan resep revolusi Pancasila. Karenanya, selain memperjuangkan UU KKG, maka feminis Pancasila juga harus memperjuangkan pembangunan yang lebih inklusif dan berkeadilan.

Para feminis Pancasila harus berjuang di dua level legislasi sekaligus, yaitu lex specialis pro perempuan (UU KKG) dan lex generalis terkait tatanan ekonomi, sosial, dan politik yang lebih inklusif alias mengarusutamakan perspektif KKG di semua produk legislasi.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat