visitaaponce.com

Perundungan dalam Pendidikan Kedokteran Biasa atau tidak

Perundungan dalam Pendidikan Kedokteran: Biasa atau tidak?
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Dokter Spesialis Orthopaedi dan Traumatologi Indonesia dr. Muhammad Shoifi, SpOT(K)(MI/HO)

AKHIR-AKHIR ini, isu bullying atau perundungan yang terjadi dalam pendidikan dokter, khususnya pendidikan dokter spesialis, marak lagi dibincangkan. Agak aneh sebenarnya. Karena sudah jamak sebagai pendapat umum bahwa dokter adalah profesi yang tidak hanya berempati kepada pasien namun juga punya nilai kolegialitas yang tinggi kepada sejawatnya. Ya mungkin bisa disebut aneh tapi nyata. 

Data terbaru yang dirilis laman media sosial Kemenkes, sejak Juli-1 Desember 2023, dugaan perundungan terhadap tenaga kesehatan yang dilaporkan ke kanal laporan Kemenkes tercatat 216 laporan dengan rincian 109 di RS Vertikal dan 107 di RSUD, RS Universitas, dll. 

Dari rilis data itu bisa saja adalah fenomena gunung es. Masih tampak yang ada di permukaan saja dan belum semua tercatat atau dilaporkan. Meski masih dalam dugaan dan tidak semua benar, hal ini tentu menjadi keprihatinan yang sangat besar. 

Perundungan dalam KBBI adalah mengganggu, mengusik terus menerus, atau menyusahkan. Perundungan terjadi dalam konteks ketidakseimbangan kekuatan korban dan pelaku. 

Di dalam dunia pendidikan dapat terjadi antara senior kepada juniornya, kakak kelas kepada adik kelas, atau yang merasa punya kekuasaan kepada yang lebih lemah. Pada aspek waktu, perundungan ini biasanya dilakukan secara berulang dan bisa terjadi pada orang tertentu saja. 

Perundungan ini dapat berupa perundungan verbal, fisik, sosial, maupun emosional. Perbuatan menghina, mencela, mengancam, atau kata-kata yang merendahkan adalah perundungan verbal. Perundungan fisik dapat berupa pelecehan fisik, pukulan, tendangan, mendorong atau penganiayaan secara fisik. Sedangkan penyebaran gosip, fitnah, pengucilan termasuk perundungan sosial. Dan perundungan emosional dapat berupa ancaman terhadap korban. 

Terkadang perundungan ini dianggap sebagai hal yang sepele. Ada istilah yang sering muncul dalam dunia pendidikan yang cukup menggelitik, "Jika kamu tidak sanggup melewatinya (perundungan), kamu tidak cukup layak". 

Hal ini dapat membawa konsekuensi terjadinya pelanggaran yang dilakukan pelakunya. Hirarki dalam pendidikan kedokteran adalah bagian penting dalam proses pembelajaran. Namun, pelanggaran dengan pengelabuan terhadap istilah hirarki adalah pelanggaran yang harus diberikan sangsi secara tegas. 

Apa dampak bagi korban? 

Dampak besar yang dapat dialami korban adalah gangguan emosional dan mental. Timbul kecemasan, depresi, stres, mengurung diri, dan runtuhnya rasa kepercayaan diri. 

Jika ini terjadi pada proses pendidikan juga berakibat turunnya performa akademik, penurunan minat dalam pendidikan, bahkan sampai terjadinya pengunduran diri atau bahkan dikeluarkan karena dianggap tidak mampu. 

Dampak psikologis yang terjadi dapat berdampak dalam jangka waktu yang lama dan berefek pada hubungan sosial lainnya. 

Bagaimana dengan pelaku perundungan?

Beberapa literatur menyampaikan pelaku perundungan adalah orang dengan kondisi kejiwaan yang terganggu. Hal ini dapat dipicu karena, pernah mengalami kekerasan dalam keluarga, kurangnya kasih sayang orangtua, rendahnya rasa percaya diri, merasa kurang pintar atau berbakat dibandingkan orang lain, dan dapat juga karena gangguan mental atau emosional. 

Apakah yang bisa dilakukan? 

Sistem pendidikan yang baik harus mampu melakukan penanganan secara komprehensif. Mulai dari pembekalan yang cukup sejak awal proses pendidikan dimulai, pendampingan kepada korban secara baik, proses "pelaporan" yang mudah dan rahasia, sampai aturan dan sangsi yang tegas dan memiliki efek jera. 

Tantangan besar yang juga harus dipenuhi dalam aspek pendidikan adalah kedekatan dan keterbukaan antara guru dan peserta didik. Perundungan yang mudah terjadi dan berlangsung lama dapat terjadi karena sistem pendidikan yang tidak memberi ruang kedekatan antara guru dan Peserta didiknya. Situasi yang berjarak akan sulit mendeteksi dan mengantisipasi perundungan terjadi. 

Terlebih jika potensi perundungan sudah dapat terdeteksi sebelumnya namun dilakukan "pembiaran" atau tidak dilakukan tindakan sedari awal maka suka tidak suka hal ini dapat disebut sebagai bagian dari keterlibatan perundungan. 

Hal lain yang juga krusial adalah bagaimana seorang korban perundungan melaporkan? Dan apakah perundungan ini dapat diproses jika ada laporan saja? Apakah perundungan adalah "delik aduan"? Mestinya jawabannya adalah "tidak". Proses penyelesaian adanya dugaan terjadinya perundungan seharusnya tidak menunggu adanya laporan.

Bagaimana melapor sedangkan kondisi korban sudah terintimidasi sedari awal. Terjadinya gangguan secara psikologis peserta didik apalagi jika sudah sampai mendapatkan perawatan secara psikologis harus menjadi dasar kemungkinan terjadinya perundungan. Bahkan bisa saja jika hal ini sudah terjadi maka bisa disebut kondisinya sudah terlambat. 

Guru sebagai pendidik memiliki tugas dan tanggung jawab yang sangat krusial dalam mencegah dan mengantisipasi perundungan terjadi di lingkungan pendidikannya. Pendidik yang baik harus mampu mencegah, mengantisipasi, memberikan perlindungan penuh kepada korban serta menegakkan aturan secara tegas kepada pelaku. 

Yang tidak boleh dilupakan bahwa perilaku perundungan ini dapat menjadi perilaku yang diwariskan. Karena sebagian pelaku perundungan adalah korban dari perundungan yang terjadi sebelumnya. Menjadi mata rantai yang tidak terputus. Dianggap biasa. Bagian dari "sistem pendidikan" yang keras. Bahkan dianggap lemah jika tidak mampu melewatinya. 

Kondisi perundungan ini jika dibiarkan terus terjadi selain merusak akal sehat, merendahkan martabat intelektual dan kemanusiaan juga akan merusak mental generasi masa depan.

Perundungan? Biasa atau Tidak Biasa? (*)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat