visitaaponce.com

12 Pelanggaran Berat HAM yang Diakui Jokowi, Tragedi Rumoh Geudong Salah Satunya

12 Pelanggaran Berat HAM yang Diakui Jokowi, Tragedi Rumoh Geudong Salah Satunya
Rumoh Geudong tempat penyiksaan rakyat Aceh selama Operasi Jaring Merah di Piddie, Aceh, sepanjang 1989-1998.(Youtube)

PEMERINTAH akan melakukan upaya penyelesaian secara nonyudisial yang akan berfokus pada 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang telah menjadi keputusan dan diakui oleh Presiden Joko Widodo. Salah satunya penyiksaan di Rumoh Geudong, Pidie, Aceh.

Program-program pemulihan hak korban pelanggaran HAM berat itu akan diumumkan langsung oleh Presiden RI Joko Widodo pada acara Kick Off Implementasi Rekomendasi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PP HAM) di Rumoh Geudong, Pidie, Aceh, pada 27 Juni 2023.

Aceh menjadi salah satu wilayah dengan banyak pelanggaran HAM berat di masa konflik yang hingga kini masih membuat masyarakatnya trauma.

Baca juga : Korban Pelanggaran HAM Berat Aceh bakal Terima Jaminan Kesehatan hingga Beasiswa

Berikut ini rincian 12 peristiwa pelanggaran HAM berat yang diakui pemerintah dan akan mendapatkan kompensasi nonyudisial berupa jaminan kesehatan hingga beasiswa pendidikan.

1. Peristiwa 1965-1966

2. Peristiwa Penembakan misterius pada 1982-1985

Baca juga : Belenggu Pelanggaran HAM Berat

3. Peristiwa Talangsari di Lampung pada 1989

4. Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh pada 1989

5. Peristiwa Penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998

6. Peristiwa Kerusuhan Mei 1998

7. Peristiwa Trisakti

8. Peristiwa Semanggi I dan II pada 1998-199

9. Peristiwa Pembunuhan dukun santet pada 1998-1999

10. Peristiwa Simpang KKA di Aceh pada 1999

11. Peristiwa Wasior di Papua pada 2001-2002

12. Peristiwa Wamena Papua pada 2003

13. Peristiwa Jambo Keupok di Aceh pada 2003

Dalam penjelasannya, Menko Polhukam Mahfud MD menyebut, pelanggaran HAM berat berbeda dengan kejahatan HAM berat.

Pelanggaran HAM berat, terang Mahfud, pelakunya adalah aparat yang dilakukan secara terstruktur. Korbannya mungkin hanya dua atau tiga orang.

Sedangkan apabila pelakunya sipil, bukan aparat/negara serta korbannya masyarakat sipil seperti tragedi bom di Bali, Mahfud menyebut itu bukan pelanggaran HAM berat. Melainkan kejahatan berat.

“Ini istilah hukum supaya dimengerti karena ada orang yang mengatakan tidak ada lagi pelanggaran HAM berat. Ya memang tidak ada, yang ada kejahata berat banyak, kriminil itu banyak,” terangnya.

Menurut undang-undang, kata Mahfud, yang menentukan pelanggaran HAM berat atau bukan itu adalah Komnas HAM.

 

Peristiwa Rumoh Geudong

 

Dalam laporannya pada 2018, Komnas HAM menyebutkan pelanggaran berat HAM yang terjadi di Rumoh Geudong adalah perkosaan, kekerasan seksual lain yang setara, penyiksaan, pembunuhan, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional dan penghilangan orang secara paksa.

 

Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengatakan, kasus pelanggaran berat HAM Rumoh Geudong di Aceh terjadi selama pelaksanaan Operasi Jaring Merah di Piddie, Aceh, sepanjang 1989-1998.

Tragedi penyiksaan di Rumoh Geudong diduga melibatkan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI Angkatan Darat.

Ia mengatakan pengungkapan hasil penyelidikan itu telah dilakukan dari pengecekan bukti dan unsur-unsurnya. Ada 65 saksi yang telah diperiksa dalam kasus tersebut.

Pihaknya saat ini mendesak pemerintah, dalam hal ini Kejaksaan Agung, untuk menyelesaikan kasus tersebut.

Choirul menegaskan kasus Rumoh Geudong harus segera diselesaikan untuk menunjukkan Indonesia ialah negara yang menjunjung kemanusiaan.

Direktur Imparsial Al Araf mengatakan semua pihak dalam kasus tersebut harus diperiksa, termasuk para pemimpin di struktur komando saat itu.

"Pihak-pihak yang pernah menjadi pemimpin operasi dan pimpinan harus dimintai pertanggungjawaban. Dalam kontestasi politik pemilu ini, 1995-1998. Kita melihat komandan Kopasuss Mayor Jenderal TNI (Purn) Prabowo. Ini menjadi penting karena beliau (ikut) kontestasi pemi-lu," ujarnya.

Ia menambahkan, isu pelanggaran berat HAM seharusnya memang layak masuk substansi politik elektoral yang sedang terjadi di Indone-sia.

"Kasus-kasus pelanggaran HAM termasuk kasus Rumoh Geudong harus jadi narasi politik. Karena dalam politik elektoral jangan dihitung hanya narasinya siapa kandidat presiden, siapa cawapres, tim kampanye siapa," kata Al Araf. (Z-4)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zubaedah Hanum

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat