visitaaponce.com

Pemerintah Disebut Punya Andil Sebar Hoaks

Pemerintah Disebut Punya Andil Sebar Hoaks
Ilustrasi(Dok.MI )

POLITIKUS PDI Perjuangan Masinton Pasaribu menilai penyebaran informasi bohong tidak lagi dilakukan oleh individu tapi dilakukan secara masif dan sistematis bahkan oleh negara. Namun tetap saja pemerintah tidak boleh membiarkan situasi ini semakin memperburuk proses berdemokrasi. Melalui instrumennya pemerintah harus melakukan berbagai upaya mencegah dan menindak.

"Kalau kita lihat sejarah perkembangan hoaks awalnya itu dipakai untuk mantra menyihir. Kalau sekarang hoaks jadi penyebaran informasi bohong dan itu sekarang direproduksi tidak lagi oleh individu tapi sudah sistematis sekali dan pola penyebarannya rapi," ungkapnya.

Hoaks menurutnya merupakan maut apalagi dipergunakan dalam momen politik. Sehingga penegakan hukum yang adil menjadi kunci menangkal penyebaran hoaks.

Baca juga: Ketimpangan Penegakan Hukum Jadi Penyebab Masifnya Hoaks

"Mau pro dan kontra selama itu informasi bohong ya takedown semua, jangan yang satu dibiarkan dan satu ditindak nah itu tidak adil. Itu akan muncul terus sebagai bentuk perlawanan bahkan lebih masif. Komitmen itu harus ditampakan negara itu adil. Cuma yang jadi soal bagaimana kalau negara yang buat hoaks itu," cetusnya.

Dia menekankan partai politik punya peran penting memerangi hoaks termasuk simpatisan calon presiden yang ada sekarang. Dengan komitmen tersebut maka kita bisa menciptakan pemilu yang sehat dan pemimpin yang berintegritas.

Baca juga: Menagih Komitmen Parpol Perangi Hoaks

"Kita sama-sama khususnya parpol sebagai peserta dan juga simpatisan calon presiden punya komitmen yang sama untuk mengantisipasi hoax. Maka kita akan bisa menciptakan pemilu sebagai sarana demokrasi dengan satu kualitas dan riang gembira menjalankannya tidak tegang, bangsa yang mau terpecah belah dan era itu harus kita akhiri," paparnya.

Di kesempatan yang sama diskusi Antisipasi Hoaks Jelang Pemilu, Kamis (27/7) pengamat politik Hendri Satrio menuturkan sebagai rakyat paling dicari pada pemilu yang dilakukan lima tahun sekali. Maka pergunakan waktu tersebut untuk menentukan masa depan bangsa lima tahun ke depan..

"Kita sebagai rakyat paling dicari-cari oleh negara itu 5 tahun sekali dari jam 7 sampai jam 12.00 menyampaikan pilihan dan pendapatnya," ucapnya.

Dalam survei yang dilakukan pada 2022 menunjukan indeks optimisme generasi muda tentang sosial sangat bagus yang berarti masyarakat percaya bahwa kebebasan berpendapat akan semakin tinggi dan media sosial di Indonesia akan semakin beredar.

"Nah repotnya di indeks optimisme politik dan hukum minus 10,2. Jadi ini terkait yang disampaikan soal keadilan atau hukum yang tidak tebang pilih"

Angka yang menunjukkan minus 10,2 menandakan kecilnya kepercayaan atau optimisme pemuda terhadap penegakan hukum dan pelaksanaan sistem politik di Indonesia. Hal ini menurutnya disebabkan oleh dua kelompok besar yang seringkali menyebar informasi bohong..

"Pertama adalah kelompok yang tidak mengerti dampaknya. Jadi itu pribadi saja, ini masalah eksistensi. Jadi kalau dia menyebar kebohongan itu makin top walaupun nanti ujungnya ditangkap polisi," imbuhnya.

Kedua adalah kelompok yang mengerti dampak yang kemudian sengaja menyebar hoaks dengan skenario besar. Poin kedua diyakini Hendri sangat dipahami oleh polri.

"Hoaks tidak bisa disamakan dengan produk jurnalistik. Mestinya kita membentuk satu dewan lagi yaitu dewan podcast karena podcast ini menjadi masalah, kalau ada apa-apa masuknya Undang-Undang ITE padahal kadang-kadang Informasi yang disampaikan itu dibaca juga oleh publik. Ini harus menjadi perhatian khusus," tandasnya.

Sementara itu, Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan menuturkan Polri rutin menggelar operasi Mantap Brata jelang pemilu khususnya. Operasi tersebut dilakukan di pusat dan setiap daerah dengan 9 Satgas salah satunya satgas anti money politic dan Satgas Nusantara.

"Satgas nusantara yang bertugas untuk penanggulangan berita bohong dan juga penanganan konflik sosial. Jadi kalau kita bicara hoaks penduduk Indonesia 200 juta sekian bahwa pengguna internet 212 juta lebih penduduk Indonesia dan seratus juta lebih pengguna medsos. Sehingga penggunaan medsos dapat dimanfaatkan untuk kepentingan di dunia maya. Ada juga yang memanfaatkan untuk hoaks," tuturnya.

Berdasarkan data 2019 bareskrim paling banyak menaikkan perkara hoaks pada 199. Jumlah ini menurun pada 2020 menurun dan pada 2021 melandai.

"Itu sudah dikurangi dengan restorative justice," sambungnya,

Penerapan restorasi justice bersifat penyebaran hoaks secara individual. Restorative justice tidak bisa diterapkan pada semua kasus penyebaran hoaks khususnya informasi bohong, penghinaan bersifat sara, suku, agama, ras dan antar-golongan.

"Misalnya menghina suku. Ini situasi yang akan mengancam perpecahan," tandasnya. (Sru/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat