visitaaponce.com

Eks Hakim MK Sebut Aturan Piutang Negara Perlu Diuji Materi

Eks Hakim MK Sebut Aturan Piutang Negara Perlu Diuji Materi 
Diskusi Publik Nusakom Pratama Institut bertajuk “Perspektif Keadilan Dalam Pandangan Hukum dan Budaya”(Dok. Pribadi)

MANTAN Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) I Dewa Gede Palguna berpendapat bahwa Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2022 tentang Pengurusan Piutang Negara Oleh Panitia Urusan Piutang Negara harus diuji materi ke Mahkamah Agung (MA). 

Hal itu diungkapkan Palguna dalam Diskusi Publik Nusakom Pratama Institut bertajuk “Perspektif Keadilan Dalam Pandangan Hukum dan Budaya” digelar di Kubu Kopi, Denpasar, Bali, Jumat (18/8).

Menurutnya, lahirnya PP Nomor 28/2022 jika dianggap terlambat tidak akan masalah. Namun, sepanjang isinya bertentangan dengan nilai keadilan maka layak digugat publik.

Baca juga: Ajukan Gugatan ke MK, 98 Advokat Minta Maksimal Capres-Cawapres 70 Tahun

Bagi Palguna yang juga pendiri Forum Merah Putih, harusnya Indonesia memiliki constitutional complaint atau verfassungsbeschwerde seperti di Jerman untuk mengadukan persoalan hukum seperti munculnya PP Nomor 28/2022. 

“Norma undang-undang yang baik harusnya dimulai dari awal pembentukannya sehingga aturan turunannya bisa dikontrol,” ujar Palguna.

Baca juga: Pakar Administrasi Negara Sebut Aturan Piutang Negara Perlu Diuji Materi 

Dengan munculnya PP Nomor 28/2022, Palguna mempertanyakan teori-teori hukum apakah masih berlaku pada saat ini. Menurut Palguna, dari legal struktur sebetulnya perangkat hukum di Tanah Air sudah memadai. 

“Namun dalam hal legal kultur, kita sangat lemah karena budaya permisif demikian juga legal substances kita juga mengenal adanya kompromi politik yang bisa mengatasi persoalan hukum. PP Nomor 28/2022  jika  bertentangan dengan undang-undang di atasnya bisa dibawa ke Mahkamah Agung,” terangnya.

 

Produk Hukum yang Keberlakuannya tidak Efektif

Sementara itu, Direktur LBH Bali Woman Crisis Center, Ni Nengah Budawati menuturkan produk hukum yang tidak berpijak kepada aspek psikologis, sosial serta budaya maka keberlakuannya menjadi tidak efektif. 

Sehingga, kata Nengah, publik menjadi pesimis dan undang-undang menjadi produk hukum yang hampa tanpa makna.

Baik Palguna maupun Nengah membentangkan konteks pentingnya penegakkan hukum bagi terselenggaranya kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis dari amatan hukum dan budaya. 

Nengah mengemukakan selama hukum belum ditegakkan, kemajuan ekonomi sebuah bangsa menjadi tidak bermakna. Demikian pula halnya dengan mengenyampingkan aspek budaya dalam proses legislasi menjadikan produk hukum yang dihasilkan menjadi hampa. (Ykb/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat