visitaaponce.com

Perludem Menutup Sirekap bukan Solusi Atasi Kekacauan Pemilu

Perludem: Menutup Sirekap bukan Solusi Atasi Kekacauan Pemilu
Anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan sejumlah saksi melakukan rekapitulasi penghitungan surat suara pemilu di GOR Cilandak.(MI/Susanto)

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menegaskan menutup atau menghentikan Sirekap bukan solusi tepat untuk meredam kekisruhan yang ada akibat ketidaksinkronan data suara di pemilu 2024. Seharusnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) meningkatkan kinerja dan akurasi Sirekap yang bisa menjadi pegangan untuk publik agar dapat terus mengawal perhitungan suara.

"Menutup Sirekap bukan jawaban. Tingkatkan kinerja dan akurasi Sirekap. Upload semua formulir C hasil, bukan menutup Sirekap. Di saat yang sama, KPU juga harusnya lebih responsif. Perbaiki segera dan laporkan progres itu ke publik," kata Titi dalam diskusi Menjaga Suara Calon Legislatif 2024: Memastikan Perolehan Suara Tidak Lenyap di Rimba Rekapitulasi Berjenjang di Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (20/2).

"Lalu KPU jangan menoleransi kesalahan pembacaan konversi dari foto form C1 ke angka. Karena, Sirekap menjadi basis rekapitulasi di kecamatan. Itu sumber datanya dari Sirekap. Kalau data anomali, bisa terjadi terus di kecamatan. KPU harus unggah semua karena datanya ada, sistemnya ada, anggaran ada. Kalau terjadi salah konversi data, partisipasi masyarakat bisa berperan dan mengoreksi itu," tambah dia.

Baca juga : Hasil Pemilu Meragukan, Sirekap KPU Perlu Diaudit

Titi mengajak masyarakat ikut gotong-royong menjaga integritas pemilu 2024. Sebab, menurut Titi, teknologi yang dihadirkan KPU melalui Sirekap memang lebih canggih dari 2019, tetapi hasil perhitungan itu belum akuntabel.

"Di 2024, memang naik kelas, di Sirekap ada foto form C hasil, ada hasil penghitungan petugas dengan konversi digital. Transparansi itu usaha yang positif. Tetapi, transparasi itu masih kurang akuntabel," ujar Titi.

"Karena ada tiga alasan. Pertama, problem teknologi. Ternyata konversi data ke angka mengalami distorsi, angka dari 86, jadi 886. Kedua, masalah sosialisasi. Tidak semua caleg dan masyarakat paham sistem Sirekap. Masyarakat kita ketika melihat ada konversi foto ke angka, fokusnya ke angka, tidak lagi ke foto dari hasil otentik hasil TPS. Ketiga karena kurang edukasi dan mendapat sosialisasi, sehingga mereka rentan misonformasi," tutupnya. (Z-2)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Wisnu

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat