Perludem Menutup Sirekap bukan Solusi Atasi Kekacauan Pemilu
![Perludem: Menutup Sirekap bukan Solusi Atasi Kekacauan Pemilu](https://disk.mediaindonesia.com/thumbs/800x467/news/2024/02/67b089126cc66ce279a5f6a6d51e437d.jpg)
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menegaskan menutup atau menghentikan Sirekap bukan solusi tepat untuk meredam kekisruhan yang ada akibat ketidaksinkronan data suara di pemilu 2024. Seharusnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) meningkatkan kinerja dan akurasi Sirekap yang bisa menjadi pegangan untuk publik agar dapat terus mengawal perhitungan suara.
"Menutup Sirekap bukan jawaban. Tingkatkan kinerja dan akurasi Sirekap. Upload semua formulir C hasil, bukan menutup Sirekap. Di saat yang sama, KPU juga harusnya lebih responsif. Perbaiki segera dan laporkan progres itu ke publik," kata Titi dalam diskusi Menjaga Suara Calon Legislatif 2024: Memastikan Perolehan Suara Tidak Lenyap di Rimba Rekapitulasi Berjenjang di Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (20/2).
"Lalu KPU jangan menoleransi kesalahan pembacaan konversi dari foto form C1 ke angka. Karena, Sirekap menjadi basis rekapitulasi di kecamatan. Itu sumber datanya dari Sirekap. Kalau data anomali, bisa terjadi terus di kecamatan. KPU harus unggah semua karena datanya ada, sistemnya ada, anggaran ada. Kalau terjadi salah konversi data, partisipasi masyarakat bisa berperan dan mengoreksi itu," tambah dia.
Baca juga : Hasil Pemilu Meragukan, Sirekap KPU Perlu Diaudit
Titi mengajak masyarakat ikut gotong-royong menjaga integritas pemilu 2024. Sebab, menurut Titi, teknologi yang dihadirkan KPU melalui Sirekap memang lebih canggih dari 2019, tetapi hasil perhitungan itu belum akuntabel.
"Di 2024, memang naik kelas, di Sirekap ada foto form C hasil, ada hasil penghitungan petugas dengan konversi digital. Transparansi itu usaha yang positif. Tetapi, transparasi itu masih kurang akuntabel," ujar Titi.
"Karena ada tiga alasan. Pertama, problem teknologi. Ternyata konversi data ke angka mengalami distorsi, angka dari 86, jadi 886. Kedua, masalah sosialisasi. Tidak semua caleg dan masyarakat paham sistem Sirekap. Masyarakat kita ketika melihat ada konversi foto ke angka, fokusnya ke angka, tidak lagi ke foto dari hasil otentik hasil TPS. Ketiga karena kurang edukasi dan mendapat sosialisasi, sehingga mereka rentan misonformasi," tutupnya. (Z-2)
Terkini Lainnya
KPU Bakal Perbaiki Sirekap untuk Pilkada 2024
Hakim MK Kembali Ingatkan KPU Persoalan Sirekap Jelang Pilkada Serentak
KPU Janji Sirekap Pilkada 2024 tak Timbulkan Polemik
KPU Masih Gunakan Sirekap untuk Pilkada 2024
Upaya KPU Setop Tayangkan Real Count Sirekap Dipuji Komisi Informasi Pusat
Pengembang Bantah Server Sirekap Disimpan di Luar Negeri
Jokowi Diminta Berhenti Cawe-Cawe dan Melakukan Nepotisme di Pilkada
Jelang Pilkada, Rakyat Diminta Sadar dari Hipnotis Politik Populisme ‘ala Jokowi’
Kekeliruan Pemahaman Demokrasi Post-Secular dan Agenda Kesetaraan melalui Konsesi Tambang
Komentar Panglima TNI tentang Multifungsi TNI Disayangkan
Politik Dinasti dengan Dalih Asian Values tidak Dapat Dibenarkan karena Merusak Demokrasi
Demokrasi Post-Secular dan Agenda Kesetaraan (Kasus Tambang untuk Ormas Keagamaan)
Integrative & Functional Medicine: Pendekatan Holistik dalam Pengobatan Kanker
Hidup Segan Calon Perseorangan
Puncak Haji Berbasis Fikih
Eskalasi Harga Pangan Tengah Tahun
Iuran Tapera ibarat Masyarakat Berdiri di Air Sebatas Dagu
Huluisasi untuk Menyeimbangkan Riset Keanekaragaman Hayati di Indonesia
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Ulang Tahun, D'Cost Donasi ke 17 Panti Asuhan Melalui BenihBaik.com
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap