visitaaponce.com

Mengapa KPI Dorong Revisi UU Penyiaran

Mengapa KPI Dorong Revisi UU Penyiaran?
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)(Dok.KPI)

KOMISI Penyiaran Indonesia (KPI) membenarkan mendorong adanya Revisi Undang-Undang Penyiaran (RUU Penyiaran) sejak 2010. Revisi ini sangat penting dalam rangka menghadirkan ekosistem penyiaran yang sehat dan berkualitas serta bermanfaat bagi masyarakat, negara, maupun tumbuh kembangnya industri penyiaran nasional. Komisioner KPI Tulus Santoso saat dihubungi, Rabu (29/5) tidak bersedia menjelaskan terkait revisi pasal revisi UU penyiaran yang berpotensi memasung kebebasan pers.

"Harusnya ini bisa menjawab," ucapnya.

Dalam keterangan tertulis KPI menjabarkan tiga poin tujuan diperlukan revisi tersebut. Dalam tiga poin itu tidak ada yang menjelaskan terkait pelarangan karya jurnalistik investigasi eksklusif.

Baca juga : Draf Revisi UU Penyiaran Berangus Pengawasan oleh Pers

"Upaya Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 pada prinsipnya lahir dari masukan berbagai pihak mulai dari kelompok masyarakat sipil (civil society), industri, akademisi dan pemerhati penyiaran lainnya. Secara resmi usulan revisi undang-undang ini sudah disampaikan pada Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) KPI tahun 2015 di Makassar," paparnya.

Secara umum, usulan KPI atas revisi undang-undang terkait tiga hal:

  1. Penguatan kelembagaan internal KPI yang terdiri atas KPI Pusat dan KPI Daerah dalam rangka optimalisasi kerja pengawasan konten siaran yang jumlahnya semakin berlipat sejak pelaksanaan ASO. 
  2. Membangun rasa keadilan bagi ekosistem penyiaran melalui usulan pengawasan konten di platform digital
  3. Mengusulkan audit rating demi menghindari adanya tafsir tunggal atas kualitas program siaran di televisi.

"Tiga hal ini disuarakan KPI secara simultan dalam berbagai bentuk kegiatan ataupun dialog resmi setelah mendengar aspirasi berbagai pemangku kepentingan penyiaran. Adapun rekam peristiwa yang dilakukan, KPI ini dapat diakses publik dalam website resmi KPI," ungkapnya.

Secara yuridis revisi undang undang penyiaran adalah keniscayaan. Lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, memiliki dampak terhadap pola struktur dan dukungan manajemen kesekretariatan yang melemahkan posisi KPI di daerah sebagai sebuah lembaga negara. Atas beberapa diskusi yang melibatkan beberapa pihak, maka solusi terbaiknya adalah melakukan revisi atas undang-undang penyiaran. Kehadiran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, mengoreksi 9 pasal pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Koreksi dimaksud berkaitan dengan perubahan beberapa kewenangan KPI dan tata laksana digitalisasi penyiaran yang tidak ada pengaturannya dalam undang-undang penyiaran.

Baca juga : RUU Penyiaran Ancam Kebebasan Berekspresi di Ruang Digital

"Atas dasar itu juga dibutuhkan regulasi yang baru untuk penyiaran," lanjutnya.

Terkait dinamika rancangan undang-undang (RUU) penyiaran, KPI menilai secara teknis RUU ini masih akan berproses sesuai dengan peraturan perundangan yang akan melibatkan segenap stakeholders. Dengan mempertimbangkan perkembangan teknologi penyiaran dan perubahan peraturan perundang-undangan, revisi tersebut merupakan kebutuhan.

"Spirit dari revisi Undang-Undang Penyiaran ini tetap ingin menjamin ruang kebebasan bersuara dan berpendapat demi demokratisasi media dan penyiaran di tanah air," tukasnya. (Sru/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat