visitaaponce.com

Penantian Panjang 32 Tahun

Penantian Panjang 32 Tahun
Suryopratomo Pemerhati Sepakbola(MI/Seno)

KETUA Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia periode 1983-1991 Kardono merupakan sosok yang mencurahkan seluruh perhatiannya kepada kemajuan sepak bola Indonesia. Marsekal udara bintang tiga itulah yang pada 17 Maret 1990 mendirikan Yayasan Sepak Bola Indonesia.

Yayasan itu dibentuk sebagai bentuk kepeduliannya kepada para pemain sepak bola, khususnya kepada mereka yang sudah mempersembahkan prestasi tertinggi untuk bangsa dan negara. Almarhum Kardono berharap yayasan ini bisa memberikan tunjangan seumur hidup kepada pemain yang telah mengharumkan nama bangsa.

Langkah Kardono persis seperti penghargaan yang diberikan Korea Selatan kepada atlet mereka yang berprestasi dunia. Ketika atlet bulu tangkis Bang Soo-hyun menjadi pemain Korea pertama yang menjuarai All England, pemerintah Korea memberikan tunjangan seumur hidup kepada bintang bulu tangkis putri tersebut.

Setelah itu Bang Soo-hyun mempersembahkan medali emas bulu tangkis bagi Korea Selatan pada Olimpiade Atlanta 1996. Prestasi dan perhatian pemerintah itulah yang kemudian mendorong anak-anak muda Korea mau mengikuti jejaknya dan sekarang Korea Selatan menjadi salah satu negara yang unggul dalam bulu tangkis.

Semasa hidupnya Kardono selalu menyampaikan harapan agar penghargaan yang diberikan yayasan bisa memacu anak-anak muda Indonesia untuk meraih prestasi yang tinggi. Menurut Kardono, ia akan merasa puas apabila uang yang dimiliki yayasan bisa dipakai untuk memberikan tunjangan kepada para pemain sepak bola nasional.

Namun, hingga Kardono meninggal pada 11 Mei 2003, keinginan itu tidak pernah bisa tercapai. Yayasan Sepak Bola Indonesia hanya memberikan tunjangan kepada pemain-pemain yang sukses membawa Indonesia memenangi SEA Games 1987 dan 1991.

Praktis hanya 44 pemain yang masuk ke tim SEA Games 1987 dan 1991 yang mendapatkan tunjangan dari Yayasan Sepak Bola Indonesia. Bahkan satu pemain yakni Robby Darwis masuk daftar pemain yang ikut memenangi medali emas SEA Games 1987 dan 1991.

Itulah kesedihan yang dirasakan almarhum Kardono semasa hidupnya. Setelah ia melepas jabatan sebagai Ketua Umum PSSI pada 1991, prestasi sepak bola Indonesia tidak pernah lagi mencapai puncaknya.

 

Pembinaan yang terputus 

Sepak bola Indonesia yang disegani di Asia hingga awal 1970-an kemudian terus merosot prestasinya. Terakhir prestasi besar yang diukirkan terjadi saat PSSI A berhadapan PSSI B di final Merdeka Games Malaysia. Hanya di ajang-ajang junior seperti under-16, U-19, kesebelasan Indonesia mampu menjadi yang terbaik di Asia, tetapi prestasi mereka meredup ketika masuk tim senior.

Berbagai jalan pintas kemudian dicoba dilakukan dengan mengirim tim nasional untuk berlatih di Brasil dan Italia. Namun, semua upaya itu terus mengalami jalan buntu. Hanya beberapa pemain yang sempat menonjol, tetapi sebagai sebuah tim prestasinya jauh di bawah.

Empat kali tim nasional Indonesia sempat lolos putaran final Piala Asia, yakni pada 1996, 2000, 2004, dan 2007. Yang terakhir Indonesia tampil karena menjadi tuan rumah. Tetapi, dari keempat kesempatan itu, Indonesia selalu tersingkir di babak pertama. Tahun ini tim nasional akan kembali tampil lagi di putaran final Piala Asia.

Ibarat tetesan air di gurun pasir, begitulah kegembiraan yang dirasakan ketika Rizky Ridho yang kawan-kawan Selasa lalu merebut medali emas SEA Games XXXII Kamboja. Setelah 32 tahun tidak pernah menjadi juara, akhirnya kesebelasan Indonesia kembali bisa menjadi yang terbaik.

Ajang SEA Games memang bukan ajang untuk tim senior lagi. Federasi Sepak Bola Asia Tenggara (AFF) sepakat menggunakan ajang SEA Games sebagai tempat mencari bibit untuk tim nasional.

Keberhasilan Indonesia menjadi juara di Kamboja merupakan bekal yang baik untuk membangun tim yang lebih bisa diandalkan di masa mendatang. Apalagi dalam enam pertandingan yang dimainkan sepanjang turnamen, tim asuhan Indra Sjafri tidak pernah kehilangan angka.

Sejak kehadiran pelatih asal Korea Selatan Shin Tae-yong, secara perlahan teknik sepak bola pemain Indonesia mulai diperbaiki. Cara bermain sepak bola pun jauh lebih baik. Mereka bisa memainkan tempo permainan dan membangun serangan yang tertata dari bawah.

Saya pertama kali melihat permainan yang lebih terstruktur dan bisa dinikmati saat kesebelasan nasional tampil di ajang Piala AFF 2021 di Singapura. Saya terkesan oleh permainan pemain muda seperti Alfeandra Dewangga dan Pratama Arhan yang bermain sangat taktis.

Ada lagi Rizky Ridho yang bermain sebagai center-back. Di Kamboja kemarin ia bahkan menjadi sosok yang berwibawa di lapangan sebagai kapten kesebelasan. Ia tetap tenang menghadapi provokasi pemain-pemain Thailand.

Di barisan depan Witan Sulaiman juga menarik perhatian. Meski postur tubuhnya tidak besar, penguasaan bolanya sangat baik. Ia sulit untuk ditahan oleh pemain lawan apabila sedang bergerak dengan bola.

Kesinambungan pelatih memungkinkan Indra Sjafri tidak perlu memulai pekerjaan dari nol. Sebagai Direktur Teknik PSSI saat kepemimpinan Mochammad Iriawan, Indra Sjafri selalu berada bersama tim asuhan Shin Tae-yong. Ia tahu kekuatan pemain di bawah usia 22 tahun yang berada di tim nasional dan dijadikan pilar di tim SEA Games sekarang ini.

 

Keberlanjutan 

Kesuksesan di Kamboja pantas disambut dengan kegembiraan karena menjadi penghapus dahaga juara. Tetapi, keberhasilan ini juga jangan membuat kita berpuas diri dan seakan kita sudah meraih kesempurnaan.

Apa yang diraih di SEA Games 2023 barulah tahap awal dari upaya besar kita membangun sepak bola Indonesia. Tantangan selanjutnya, bagaimana prestasi para pemain muda ini bisa terus berlanjut dan berkembang sampai menjadi pilar utama tim nasional ‘Merah Putih’.

Jangan sampai seperti sebelum-sebelumnya, prestasi ini terputus ketika memasuki tim senior. Starting eleven harus dipertahankan dan diperhatikan perkembangannya. Selain Dewa, Arhan, Ridho, dan Witan, kita melihat bakat luar bisa yang ada pada diri Marselino, Ramadhan Sananta, Beckham Putra, dan Irfan Jauhari.

Pembinaan yang berkelanjutan, kebersamaan yang lebih lama di antara para pemain membuat mereka akan menjadi 'satu hati'. Apalagi kalau latihan set-piece dilakukan secara berulang-ulang akan membuat pemain semakin mengerti pola permainan yang diinginkan pelatih.

Manchester City bisa menjadi tim yang ditakuti karena pelatih Josep Guardiola terus-menerus mengajarkan bagaimana seharusnya bermain sebagai satu kesatuan tim. Prinsip practices make perfect betul-betul diterapkan Pep Guardiola. Tidak usah heran apabila the Citizens kini tidak terkalahkan dan mereka mampu menaklukkan juara bertahan Liga Champions Real Madrid di semifinal.

The Citizens tinggal selangkah lagi untuk merebut trofi Liga Champions pertama kalinya. Kalau mereka bisa menaklukkan Internazionale Milan di Istanbul, 13 Juni mendatang, bukan mustahil Manchester City akan mampu meraih treble. Kalau tim nasional Indonesia ingin meraih prestasi besar seperti yang dilakukan the Citizens, semua pihak harus mau bekerja keras dan tidak mengenal lelah seperti halnya Pep Guardiola membangun kesebelasannya sekarang ini.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat