visitaaponce.com

Rasionalitas Sepak Bola

Rasionalitas Sepak Bola
Suryopratomo Pemerhati Sepak bola(Seno)

NANYANG Technological University pertengahan tahun depan akan meluncurkan satelit karya mereka dan akan mengorbit pada radius 250 km di atas permukaan bumi. Satelit pertama Singapura ini akan bertahan sekitar 1,5 tahun untuk melakukan pemotretan beresolusi tinggi dan diberi nama Extremely Low Earth Imaging Technology Explorer (ELITE).

Pencapaian tinggi yang dilakukan ilmuwan Singapura menunjukkan bahwa bangsa itu mampu berdiri sejajar dengan negara-negara maju dalam mengeksplorasi angkasa luar. Bahkan dengan radius 250 km, satelit Singapura merupakan yang terdekat dengan bumi karena satelit lain berorbit rendah. Seperti Starlink yang disewa Indonesia, berada dalam radius 500 km hingga 800 km.

Lompatan besar ini bisa dilakukan karena Singapura berhasil membangun cara berpikir rasional kepada bangsanya. Para pemimpin bangsa itu mendorong rakyatnya untuk selalu berpikir besar, membangun disiplin, dan terus bergerak maju agar tidak kalah dari bangsa lain.

Baca juga : Sirkus Sepak Bola sebagai Pelarian

Semua bangsa yang maju peradabannya memulai dengan membangun manusianya. Pendidikan menjadi pilar utama untuk menghasilkan manusia yang selalu berpikir logis sehingga menjadi pribadi yang unggul dan berkualitas, serta selalu berpikir kritis, inovatif, dan kreatif.

Cara berpikir yang rasional diterapkan dalam semua aspek kehidupan dan dilakukan secara berkesinambungan. Pemimpin hadir untuk mencerdaskan kehidupan bangsanya dengan keteladanan yang dilakukan setiap hari.

Bukan meninabobokan rakyat dengan ungkapan yang bombastis, yang tidak berdasar sehingga masyarakat salah memahami makna. Satire bangsa Romawi tentang ‘roti dan sirkus’ (panen et circenses) sudah mengingatkan bahwa penghiburan yang melupakan tugas negara untuk memberikan pelayanan publik dan kebijakan publik yang baik, akhirnya akan membuat bangsa tidak pernah mencapai kemajuannya.

Baca juga : Ditolak Van Gaal, Berakhir Manis di Real Madrid

 

Membodohi rakyat 

Sebagai bangsa yang akan menjadi kelompok masyarakat dunia berpendapatan tinggi, bangsa Indonesia harus juga bisa melakukan hal yang sama. Kita semua harus berupaya melakukan yang terbaik untuk membawa Indonesia terbang tinggi.

Baca juga : Laga Kontra Filipina Jadi Penentu Nasib Indonesia

Apalagi sekarang kita sedang berjuang untuk menjadi anggota Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Ada nilai-nilai yang harus dipenuhi sebagai sebuah bangsa yang maju. Kualitas manusia Indonesia harus tampil sebagai pribadi yang rasional dan tidak mudah untuk dibodohi.

Tanggung jawab pemimpin, termasuk pemimpin media massa, dituntut lebih tinggi. Mereka harus menyampaikan pikiran-pikiran yang bernas, yang mencerdaskan dan mencerahkan bangsanya. Bukan malah mencekoki dengan informasi yang menyesatkan.

Termasuk dalam memaknai keberhasilan kesebelasan nasional Indonesia melaju ke babak ketiga penyisihan Piala Dunia 2026 Grup Asia. Kesuksesan ini patut kIta syukuri sebagai sebuah keberhasilan. Pasalnya, sudah lama sepak bola Indonesia tidak bisa berkiprah dalam tingkat Asia sekalipun.

Baca juga : Calvin Verdonk Bisa Tampil Saat Indonesia Lawan Filipina

Namun, terlalu berlebihan apabila pencapaian yang diraih sekarang dikatakan sebagai sebuah sejarah besar karena baru pertama kali Indonesia bisa menembus babak ketiga. Kesebelasan Indonesia masuk babak ketiga karena berada dalam kelompok 20 negara yang terendah prestasinya sehingga harus melewati babak play-off di babak pertama.

Kesuksesan mengalahkan Brunei Darussalam di babak pertama hanya memberikan jatah wild card kepada sepak bola Indonesia untuk bisa bertanding di babak berikutnya. Baru di babak kedua kita memainkan kompetisi yang sesungguhnya dan bersyukur tim asuhan Shin Tae-yong bisa menjadi runner-up di belakang Irak sehingga lolos ke babak ketiga.

Bagi tim-tim elite seperti Irak, Iran, Korea Selatan, Jepang, dan Arab Saudi, kompetisi yang baru berakhir lalu adalah putaran pertama. Mereka tidak harus melewati play-off karena kualitasnya dianggap jauh di atas 20 negara yang berada di peringkat bawah Asia.

Prestasi Asnawi Mangkualam dan kawan-kawan sekarang ini baru sejajar dengan prestasi Jaya Hartono dan kawan-kawan di penyisihan Piala Dunia 1986. Ketika itu kesebelasan Indonesia mampu melewati rintangan Malaysia dan India untuk menjadi juara grup dan lolos babak play-off. Sayang kemudian tim asuhan Bertje Matulapelwa harus menyerah dari Korea Selatan.

Ketika itu jatah Asia ke Piala Dunia 1986 Meksiko pun hanya dua. Akhirnya Korsel dan Irak yang menjadi wakil Asia untuk tampil di putaran final.

Kesuksesan mengalahkan Filipina Selasa lalu kini membawa Indonesia masuk kelompok 18 besar Asia. Keberhasilan ini sudah lama ditunggu karena sudah hampir 40 tahun, atau 10 kali Piala Dunia, kesebelasan Indonesia tidak pernah punya kesempatan mengadu kemampuan dengan tim elite Asia lainnya.

 

Underdog 

Di babak ketiga, mulai 5 September nanti, persaingan akan makin ketat. Dengan berada dalam pot keenam, Indonesia merupakan underdog di antara lima negara lain yang ada dalam satu grup. Sebagai tim yang tidak diunggulkan, pilihan mana pun yang didapat dari undian 27 Juni nanti sama tidak mudahnya.

Tentu yang namanya bola itu bundar. Tidak bisa kita memperkirakan tim Merah-Putih akan berhasil atau gagal. Semua akan ditentukan dalam 10 kali pertandingan yang akan dimainkan masing-masing selama 90 menit. Hanya saja, harus diakui bahwa sepak bola Asia Tenggara paling tertinggal jika dibandingkan dengan kawasan lainnya. Empat tahun lalu, Vietnam yang menjadi wakil Asia Tenggara di kelompok 12 besar Asia tidak mampu bersaing melawan tim elite dan menjadi juru kunci.

Apabila di Qatar empat tahun lalu Asia hanya mendapatkan lima jatah di putaran final, di Piala Dunia Amerika Utara nanti, Asia minimal mendapatkan delapan jatah ke putaran final. Kalau beruntung memenangi pertandingan play-off antarkonfederasi, akan ada sembilan tim Asia yang bakal tampil di Piala Dunia 2026.

Semua negara tentu ingin bisa tampil di ajang Piala Dunia 2026. Kunci untuk bisa mendapatkan tiket itu ialah berpikir rasional dalam mempersiapkan diri. Siapa yang paling disiplin dalam berlatih, maka merekalah yang paling berpeluang untuk menjadi wakil Asia.

PSSI sudah memilih jalan untuk mengandalkan pemain-pemain naturalisasi agar mampu bersaing dengan kesebelasan Asia yang lain. Namun, pengalaman menghadapi Irak memberi pelajaran bahwa dengan delapan pemain naturalisasi yang menjadi starter sekalipun, tidak memberi jaminan bahwa sepak bola Indonesia akan menang.

Inilah yang harus menjadi kesadaran bagi Shin Tae-yong bahwa proses tidak bisa membohongi hasil. Waktu dua setengah bulan yang tersisa bukan waktu yang lama untuk menyiapkan sebuah tim yang akan berlaga di level tertinggi Asia. Apalagi, seusai Piala Eropa 2024 nanti, para pemain naturalisasi harus kembali membela klub mereka di Belanda, Inggris, dan Jepang. Tidak terkecuali juga Marselino Ferdinan dan Pratama Arhan yang berkompetisi di luar negeri.

Memang, masalah yang sama dihadapi tim Asia yang lain. Begitu banyak pemain Korsel dan Jepang yang bermain di Liga Eropa. Mulai Agustus nanti mereka juga harus membela klub masing-masing untuk memulai kembali kompetisi. Hanya saja, Korsel dan Jepang sudah memiliki sistem pembinaan sepak bola yang benar. Mereka membangun fondasi dasarnya dengan baik sehingga memiliki banyak stok pemain yang berkualitas.

Pekerjaan rumah itulah yang belum dilakukan PSSI. Mereka masih berkutat kepada hasil, melupakan proses. Rasionalitas sepak bola harus didahulukan apabila kita ingin membangun sepak bola yang kuat. Pembinaan harus bertumpu pada kemampuan sendiri, dengan membangun jiwa dan raga putra-putra Indonesia. Bukankah tanggung jawab negara, termasuk PSSI, untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional Indonesia?

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat