visitaaponce.com

Pelajaran Penting dari Clairefontaine

Pelajaran Penting dari Clairefontaine
Suryopratomo Pemerhati Sepak bola.(Seno)

PERJUANGAN ‘Garuda Muda’ untuk membuat sejarah dengan lolos ke putaran final Olimpiade Paris berakhir sudah. Witan Sulaeman dan kawan-kawan tidak mampu melewati rintangan terakhir melawan wakil Afrika, Guinea. Mereka harus menyerah 0-1 dan buyarlah mimpi tampil di ajang pesta olahraga dunia empat tahunan itu.

Nasib pelatih Shin Tae-yong harus sama dengan Wiel Coerver yang menangani kesebelasan Indonesia tampil di penyisihan Olimpiade Montreal 1976. Perjuangan tim asuhannya berakhir di detik-detik terakhir.

Sejarah sepak bola Indonesia pun, suka tidak suka, masih terpatri saat ditangani pelatih Tony Pogacnik. Ketika itu pelatih asal Yugoslavia tersebut mampu membangun tim nasional yang tangguh dan secara luar biasa bisa menahan Uni Soviet bermain imbang 0-0.

Baca juga : Pilih Melbourne atau Montreal

Ramang dan kawan-kawan menjadi sejarah kejayaan sepak bola Indonesia karena Uni Soviet yang mereka bisa tahan kemudian memenangi medali emas sepak bola Olimpiade Melbourne.

Tujuh dekade absen di ajang Olimpiade merupakan waktu yang terlalu lama bagi negara seperti Indonesia yang sangat mencintai sepak bola. Kenyataan itu akan terus kıta terima sepanjang kıta tidak pernah serius menangani pembinaan sepak bola sejak usia dini.

Sekali lagi kita dibukakan mata bahwa tidak pernah ada jalan pintas untuk meraih prestasi tinggi. Hanya mereka yang mau bersusah payah dan berkeringatlah yang akan meraih hasıl terbaik.

Baca juga : Timnas U-23 Langsung Bertolak ke Prancis untuk Persiapkan Diri Kontra Guinea

Naturalisasi pemain bukan jawaban untuk meraih prestasi tertinggi. Itu hanya menjadi katalisator untuk mempercepat reaksi dari program pembinaan yang kemudian dilakukan.

Lihatlah penampilan ‘Garuda Muda’ saat menghadapi Guinea. Kita kalah baik dalam pengaturan pertahanan maupun ketika menata serangan. Tim asuhan Shin tidak mampu keluar dari tekanan. Mereka banyak membuat kesalahan yang tidak perlu. Bahkan pemain sekelas Nathan Tjoe-AOn dipaksa untuk membuat blunder dan beruntung kiper Ernando Ari masih bisa berjibaku menyelamatkan gawangnya.

Hanya karena kegemilangan penampilan Ernando, ‘Garuda Muda’ hanya kebobolan satu gol. Bahkan satu penaltı Guinea secara gemilang mampu dipatahkan kiper asal Surabaya tersebut. Kalau tidak, gawang Indonesia akan kebanjiran gol.

Baca juga : Jelang Indonesia vs Guinea, Garuda Muda Fokus Pulihkan Stamina

Wajar apabila Shin Tae-yong lepas kendali dan akhirnya mendapatkan kartu merah dari wasit. Keinginannya untuk membuat sejarah besar bagi persepakbolaan Indonesia tidak mampu dipenuhi anakanak asuhannya.

Rasa frustasi itulah yang membuat pelatih asal Korea Selatan tersebut melakukan tindakan yang berpotensi mendapat hukuman tambahan dari FIFA karena menodai prinsip sportivitas.

 

Baca juga : Menpora Ajak Masyarakat Tumbuhkan Dukungan bagi Semua Cabang Olahraga

 

Memetik manfaat

Kegagalan untuk bisa lolos ke Olimpiade Paris tentu sangat menyakitkan, terutama bagi para pemain yang sudah berjuang keras. Namun, bisa mendapat kesempatan bertanding sampai babak play-off merupakan prestasi yang tetap boleh dibanggakan.

Hanya saja, di sisi lain, para pemain harus menyadari bahwa jarak sepak bola Indonesia dengan dunia masih terpaut jauh. Saat menghadapi tim sekelas Guinea pun kita masih lebih banyak didikte lawan.

Pertahanan sayap ‘Garuda Muda’ begitu mudah didobrak penyerang Guinea. Bahkan pemain Guinea bisa beberapa kali sendirian menembus masuk kotak penaltı Indonesia.

Ketika menghadapi serangan balık lawan, pemain asuhan Shin terlihat panik dan kalah cepat darı pemain lawan. Dua kali penaltı yang harus diterima karena baik Witan maupun Alfeandra Dewangga tidak punya pilihan kecuali memotong darı belakangan dan tanpa ampun hukumannya penaltı.

Dengan banyak kelemahan yang terlihat pada pertandingan play-off Kamis (9/5), semoga pertandingan yang digelar di Clairefontaine itu membukakan mata pengurus PSSI yang menyaksikan langsung pertandingan. Kehadiran mereka jangan sekadar menyaksikan pertandingan play-off, tetapi dipergunakan untuk melihat langsung fasilitas akademi sepak bola yang dimiliki Persatuan Sepak Bola Prancis (FFF).

Itulah warisan paling berharga yang ditinggalkan Presiden FFF Fernand Sastre bagi persepakbolaan Prancis. Sebelum ada akademi itu, prestasi Les Bleus tertinggal jauh darı negara-negara Eropa lainnya. Mereka tidak pernah menjadi juara, padahal pelopor penyelenggaraan Piala Dunia dan Piala Eropa ialah Prancis.

Sastre sendiri boleh dikatakan tidak pernah melihat kejayaan sepak bola Prancis. Ia meninggal dunia hanya tiga hari setelah Piala Dunia 1998 di Prancis digelar. Namun, darı akademi sepak bola yang ia bangun di Clairefontaine lahir bintang-bintang besar seperti Thierry Henry dan Nicolas Anelka yang ikut membawa Les Bleus merebut Piala Dunia 1998.

Setelah itu, Prancis pun disegani sebagai sebuah kekuatan sepak bola dunia dan semakin banyak pemain bintang yang dilahirkan. Kylian Mbappe yang sekarang dianggap sebagai bintang baru pengganti Lionel Messi merupakan pemain didikan Clairefontaine dan ikut membawa Prancis memenangi Piala Dunia mereka yang kedua pada 2018.

Dengan tinggal beberapa hari lagi di Clairefontaine, akan terbuka wawasan pengurus PSSI bahwa perlu ada proses untuk bisa menggapai prestasi yang tinggi. Yang pertama bisa dilihat bagaimana fasilitas dan prasarana akademi yang dimiliki FFF sehingga bisa dilakukan proses pembinaan untuk melahirkan bintang-bintang kelas dunia.

Dari Clairefontaine bisa dipetik juga pelajaran, sistem pembinaan usia seperti apa yang perlu kita miliki. Bagaimana cara mereka merekrut pemain muda untuk bisa dimasukkan ke akademi? Seperti apa tempat penginapan yang perlu disediakan dan bagaimana memadukan latihan sepak bola dengan pendidikan formal yang tetap harus dijalani para pemain muda tersebut?

Bagaimana pengorganisasian akademi di Clairefontaine? Kualitas kepala akademi seperti apa yang dibutuhkan?

Berapa jumlah pelatih yang ada di dalam akademi dan seperti apa kualifikasi mereka? Berapa lama masa pendidikan di dalam akademi? Kapan anak-anak itu boleh bertemu orangtua mereka dan berapa lama boleh keluar akademi sebelum kembali melanjutkan pendidikan? Setelah mengikuti pendidikan di akademi, bagaimana proses pematangan diri pemain selanjutnya dilakukan?

Kegagalan di Clairefontaine jangan hanya direspons dengan ratapan ataupun menjadi pujian yang berlebihan. Apa yang dijalani dari Qatar hingga Clairefontaine justru harus menyadarkan kıta bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan.

Di Clairefontaine kıta seharusnya bisa memetik pelajaran dari Sastre. Ia membutuhkan waktu 12 tahun untuk merealisasikan mimpinya membangun sebuah akademi yang bisa melahirkan bintang-bintang besar Prancis. Ide yang muncul 1976 itu baru bisa menjadi kenyataan 1988. Baru sepuluh tahun setelah itu Prancis bisa menjadi juara dunia.

Kıta tentu tidak harus membutuhkan waktu yang lama seperti Sastre. Kita amati saja Akademi Sepak Bola Clairefontaine yang sudah terbukti berhasil, kemudian kita tiru atau kalau tidak bisa mengikuti sepenuhnya, kita modifikasi. Konsep amati, tiru, dan modifikasi (ATM) tidak salah untuk diterapkan kalau memang kita mempunyai mimpi memiliki kesebelasan yang bisa dibanggakan.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat