visitaaponce.com

Potret Generasi Terakhir Perempuan Bertato di Myanmar

Potret Generasi Terakhir Perempuan Bertato di Myanmar
Perempuan bertato dari etnis Chin di Myanmar(Sai Aung Main / AFP)

SELAMA kurang lebih 1.000 tahun, tato wajah telah menjadi tradisi bagi sebagian besar perempuan, yang hidup di berbagai suku di Myanmar. Akan tetapi, kini jumlahnya semakin berkurang, terlebih setelah pemerintah setempat mengeluarkan larangan atas praktik tato wajah pada 1962.

Generasi terakhir perempuan dengan tato di wajah itu, baru-baru ini telah diabadikan oleh fotografer Italia, Marco Vendittelli. Selama tujuh hari, Vendittelli melakukan perjalanan di berbagai wilayah di Myanmar untuk mengunjungi sejumlah klan, mulai dari Dai, Muun, Yindu, Upu, Mkaan, dan Ngaya.

Vendittelli mengatakan, Myanmar, khususnya di negara bagian Chin adalah tempat yang luar biasa. Penduduknya lekat dengan alam dan belum banyak terpengaruh oleh industri pariwisata.

Sejumlah perempuan yang ia jumpai dalam perjalanan dan yang sempat menato wajahnya, kini menjadi sesepuh suku atau klan masing-masing. Motif tato di wajah mereka cukup unik dan sebagian besar memiliki pola geometris.

Salah satu perempuan dari klan Dai, misalnya, ditato dengan motif titik-titik kecil yang hampir menutupi seluruh wajah. Ia juga menggunakan perhiasan yang terbuat dari rebung berukuran besar di daun telinganya. Perempuan lain dari klan Yindu ditato dengan garis hitam tipis sehingga menciptakan ilusi optik di kulit wajah.

Sebagaimana diketahui, kini kurang lebih ada 60 klan yang hidup di seluruh wilayah Negara Bagian Chin. Rata-rata, perempuan di sana sudah menato wajahnya sejak usia 12 tahun.

"Banyak orang yang saya ajak bicara mengatakan mereka mulai menato wajah mereka agar menjadi 'jelek' sehingga mereka bisa menghindari penculikan," kata Vendittelli, seperti dilansir dari Daily Mail, Selasa, (26/1).

Menurut Vendittelli, sejauh ini belum diketahui bagaimana awal mula dari praktik tato wajah tersebut dimulai. Dari cerita penduduk setempat, konon tato wajah dibuat untuk menghindari penculikan perempuan oleh penguasa atau raja dari daerah tetangga.

“Yang lain mengatakan mereka melakukannya untuk menunjukkan identitas atau asal suku mereka. Semua orang baik dan ramah. Mereka akan membuat Anda merasa seperti bagian dari keluarga dengan memperkenalkan Anda pada tradisi klan," ujar Vendittelli. (AFP/M-4)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Adiyanto

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat