visitaaponce.com

Serigala Betina dalam Nana

Serigala Betina dalam Nana
Adegan-adegan dalam film Nana.(Dok. Batara Goempar (Fourcolours Film) via Berlinale )

Menyaksikan Before, Now & Then (Nana), penikmat karya-karya sutradara Kamila Andini barangkali akan merasakan asosiasi film tersebut dengan dua karyanya sebelumnya. Dari film pendek Sendiri Diana Sendiri, diperankan Raihaanun, dan film yang terhimpun dalam judul Angel Sign, diperankan Teuku Rifnu Wikana. 

Film pertama membicarakan posisi perempuan dalam rumah tangga yang menghadapi pernyataan suaminya yang ingin menikah lagi. Sementara itu, film satunya berkenaan dengan penyintas yang mencoba bertahan dari trauma kekerasan akibat peristiwa politik Indonesia. 

Kedua tema itu kini seperti bertemu dalam Nana. Tokoh Nana (diperankan Happy Salma) bersama sang kakak, Ningsih (Rieke Diah Pitaloka), menjadi pelarian setelah ada gerombolan yang menghabisi keluarganya. Bapaknya tewas, sementara suaminya, Kang Icang (Ibnu Jamil) hilang tanpa jejak. 

Nana menyintas pelarian yang menyusuri hutan itu dan kemudian, di ‘masa kini’ hidup bersama Kang Lurah (Arswendi Bening Swara). Ia menjadi perempuan yang otonom, yang mampu mengurus kebun serta hasil tanam keluarga mereka, sekaligus membesarkan empat anaknya. 

Nana, yang naskahnya ditulis Kamila bersama Ahda Imran, diangkat dari bagian novel autobiografi Jais Darga Namaku, yang juga karya Ahda. Tokoh Nana terinspirasi dari Raden Nana, ibunda Jais Darga yang antara lain dikenal sebagai diler karya seni skala internasional dan sekaligus produser eksekutif film Nana.

Untuk konsumsi layar lebar, Kamila secara piawai mampu meramu unsur fiksi-dokumenter. Ia memanfaatkan kronik sejarah dekade 60-an semasa peralihan rezim pemerintahan di Indonesia, dari Sukarno ke Suharto, yang digabungkan dengan penceritaan bermuatan personal.

Sebagaimana film-film Kamila yang lalu, pada Nana pun kita bisa melihat pola penyematan isu perempuan. Utamanya, perihal pembebasan diri.

Pada film panjangnya sebelum ini, Yuni (2021), Kamila bicara tentang perempuan remaja di lanskap suburban yang dihadapkan pada perjodohan dan tekanan pernikahan oleh orang-orang sekitarnya. Di film pendek Memoria (2016), Kamila mengangkat sosok Maria, penyintas kekerasan seksual di masa operasi militer Indonesia di Timor Leste, yang terperangkap dalam kekerasan dalam rumah tangga. Isu perempuan juga menguar dalam debut film panjang Kamila di 2011, The Mirror Never Lies.

Di film Nana, Kamila memperlihatkan Nana sebagai karakter yang masih terjebak dengan masa lalunya meski ia terlihat hidup nyaman bersama Kang Lurah. Sejak mula, Nana gusar mengenai sosok suaminya dulu, Kang Icang, yang mulai pudar dari ingatannya. Begitu juga bau tangannya. Semua mengejawantah pada mimpi-mimpi sureal yang menghantuinya.

Bagian tersebut sedikit banyak mengingatkan kepada penjelasan psikolog Ester Linawati dalam bukunya, Ada Serigala Betina dalam Diri Setiap Perempuan. Perempuan lebih rentan untuk mengalami peristiwa-peristiwa yang dapat mengganggu kondisi psikisnya. Bahkan, bisa berdampak panjang karena peristiwa tersebut berpotensi menimbulkan trauma. Biasanya, muncul gangguan stres pascaperistiwa, seperti teringat akan peristiwa buruk yang telah terjadi, kesulitan tidur, atau mimpi buruk mengenai peristiwa tersebut.

Mak Ino dan Pencarian Kebebasan

Stress yang dialami Nana kemudian terakumulasi dengan kehadiran Mak Ino (Laura Basuki) di tengah kehidupannya dengan Kang Lurah. Ketertekanan itu, bisa disebabkan dua hal: atensi Kang Lurah pada Mak Ino, dan kecurigaan warga pada latar belakang Mak Ino yang disinyalir terkait dengan komunis. 

Hal terakhir itu bisa juga menjadi salah satu respons yang muncul pada gangguan post-traumatic stress disorder seperti diungkapkan Ester Linawati. Peristiwa nahas pada bapak dan suami Nana di masa lalu dipicu isu komunis. 

Di sisi lain, Mak Ino justru kemudian bisa menjadi pintu bagi Nana menuju keterbebasan. Alih-alih menempatkan dua karakter perempuan tersebut pada kutub yang berlawanan, Kamila justru mempertemukan mereka dalam empati kesamaan nasib. 

Juga Mak Ino lah yang kemudian membela Nana, ketika dirinya dijustifikasi para perempuan yang menganggap sering keluyurannya Kang Lurah akibat Nana tidak bisa merawat diri. 

Mak Ino dan Nana, dalam diri mereka sama-sama memiliki jiwa yang disebut psikoanalis Clarissa Pinkola Estes dalam buku Ester, serigala perempuan.

Estes melihat kesamaan antara perempuan dan serigala betina sebagai sosok yang memiliki intuisi kuat, kepedulian terhadap sesama, keberanian, kemampuan beradaptasi dalam berbagai situasi dan kondisi (dalam salah satu adegan Nana berujar pada diri agar bisa bersikap seperti air), kekuatan, dan daya tahan.

Adegan percakapan Nana dan Mak Ino di pinggir kali tentang imajinasi bagaimana seharusnya perempuan, juga menjadi semacam progresivitas pemikiran perempuan pada zamannya. Perempuan yang dalam upaya mencari ruang aktualisasi tanpa embel-embel justifikasi dari berbagai pihak. 

Apa yang ditunjukkan keduanya semacam menjadi penyampaian gagasan pembebasan diri. Bebas dari tuntutan-tuntutan nilai untuk kemudian membebaskan para perempuan lain.

Di film ini, duo aktris Happy Salma dan Laura Basuki sama-sama berperan kuat dengan penerjemahan karakter yang memberi peluang bagi penonton untuk bersimpati. Batasan protagonis-antagonis yang dinihilkan, eksplorasi, serta bagaimana mereka mengisi ruang film menjadi daya kuat yang menggenapi keutuhan film. 

Aktor cilik Cempha Putri juga melakoni perannya sebagai Dais dengan apik. Ia mampu menggambarkan dinamika hubungannya dengan sang ibu, Nana, dengan meyakinkan. 

Secara keseluruhan, craftsmanship Kamila juga tampak lebih purna di Nana. Ia kian leluasa menjalinkan antara yang sureal dan realis. Didukung desain produksi oleh Vida Sylvia,  Nana pun terlihat lebih meyakinkan secara tata artistik dan semangat zamannya. 

Karakter sinema dunia Selatan ala Kamila juga tersampaikan dengan lebih stylish dan rapi daripada Yuni yang masih terasa raw. Kali ini, Kamila seperti ingin membuat film art house-nya lebih bergaya. Sudut-sudut dan komposisi kamera dari Director of Photography Batara Goempar juga bisa menyampaikan visi sinema gaya tutur pelan yang ingin dicapai Nana.

Film Before, Now & Then (Nana) tayang di Indonesia di platform OTT Amazon Prime Video sejak 1 Agustus. (M-2)


 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Irana Shalindra

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat