visitaaponce.com

Ruang yang Sama untuk Berkarya

Ruang yang Sama untuk Berkarya
Cover buku Menuju Indonesia Inklusi.(Dok. Media Indonesia Publishing)

'KITA perlu melihat lebih banyak orang dengan disabilitas di ruang publik dengan ragam ekspresi dan kemampuan mereka. Dengan begitu, masyarakat semakin terbiasa hidup berdampingan dan saling menghargai'.

Kalimat berupa saran itu tercantum di halaman 24 pada berjudul Menuju Indonesia Inklusi karya Angkie Yudistia. Perempuan kelahiran Medan, 36 tahun silam, itu merupakan disabilitas rungu sejak usia 10 tahun. Sejak itu, kehidupannya berubah. Ia kerap dirundung karena keterbatasannya saat itu. Hal itu membuat ia sempat tak semangat menjalani hidupnya.

Namun, berkat dukungan dari keluarga, Angkie terus belajar, mengasah diri, dan menemukan kepercayaan diri. Ia berhasil. Langkahnya pun semakin mantap dengan memilih mengenyam pendidikan tinggi di London School of Public Relations dan setelah lulus menjadi profesional di bidang komunikasi.

Berbekal gelar sarjana, Angkie lantas mendirikan Thisable Foundation pada 2011. Yayasan itu berkembang menjadi perusahaan berbasis sosial pada 2015 dengan nama Thisable Enterprise yang berfokus pada pengembangan keterampilan para disabilitas dan menghubungkan mereka dengan perusahaan-perusahaan yang membutuhkan.

Buku tersebut terdiri atas enam bab yang secara umum berkisah tentang cerita hidup Angkie sebagai disabilitas rungu, upaya menciptakan lingkungan yang inklusif bagi penyandang disabilitas hingga kisah sukses para disabilitas.

Pada bab pertama, Angkie menulis tentang 'Terbatas Bukan tak Mampu' yang menjelaskan tentang paradigma dan stigma masyarakat tentang penyandang disabilitas. Angkie ingin mengungkapkan saat ini masyarakat, terutama di daerah, cenderung bingung berinteraksi dengan penyandang disabilitas. Masyarakat juga masih menilai penyandang disabilitas memiliki kekurangan untuk berkarya dan bekerja.

Begitu juga dengan penyandang disabilitas yang merasa minder hingga menarik diri dari lingkungan masyarakat. Banyak juga penyandang disabilitas yang dianggap aib bagi keluarga, diabaikan lingkungan sekitar.

Angkie berharap buku ini bisa membuat masyarakat melihat penyandang disabilitas seperti keberagaman fisik laiknya warna kulit, sesuai hak asasi manusia. 

MI/Duta

 

Bergandengan tangan

Setelah menjelaskan stigmatisasi, di bab dua Angkie menulis tentang 'Negeri yang Ramah Disabilitas'. Secara global, salah satu indikator yang menjadi acuan pembangunan inklusif ialah indeks inklusivitas. Indeks tersebut merupakan ukuran holistik, berfokus pada kesetaraan ras/etnik, agama, gender, dan disabilitas di ranah perwakilan politik, kekerasan di luar kelompok, ketimpangan pendapatan, tingkat penahanan, serta kebijakan imigrasi dan pengungsi.

Pada 2020, skor indeks inklusivitas Indonesia tercatat berada di angka 26,50, menempati peringkat ke-125. Angka tersebut masih jauh tertinggal dari negara-negara maju, seperti Belanda, Selandia Baru, Swedia, dan Inggris. Di antara negara-negara ASEAN pun, peringkat Indonesia masih di bawah Filipina, Vietnam, Singapura, dan Thailand.

Angkie menuturkan semua pihak harus bergandengan tangan untuk menciptakan Indonesia sebagai negara yang ramah disabilitas. Pemerintah berperan dalam regulasi dan kebijakan. Akademisi berperan dalam riset, pemetaan, hingga cetak biru. Masyarakat, termasuk komunitas penyandang disabilitas, memegang peranan penting dalam menghilangkan stigma-stigma negatif.

Pelaku usaha mendukung melalui kegiatan-kegiatan perusahaan yang inklusif serta media bertanggung jawab pada pemberitaan yang memberi ruang pada isu-isu disabilitas dari perspektif HAM. Semuanya saling terhubung dan mendukung.

Selanjutnya, pada bab ketiga yang berjudul 'Komisi Nasional Disabilitas', Angkie menjelaskan upaya yang ia lakukan untuk membentuk komisi tersebut. Komisi Nasional Disabiltas (Komnas Disabilitas) diresmikan pada 1 Desember 2021. Berdirinya Komnas Disabilitas berdekatan dengan peringatan Hari Disabilitas Internasional setiap 3 Desember. 

Pada bab itu, Angkie memaparkan pengalamannya tergabung dalam panitia seleksi komisioner Komnas Disabilitas. Ia mengungkapkan bagaimana terus belajar memahami halaman demi halaman regulasi dan aturan agar Komnas Disabilitas segera terbentuk. Perjuangan itu pun berbuah manis.

Pada bab keempat yang berjudul 'Pandemi Covid-19 yang Membuka Mata' Angkie ingin mengungkapkan perjalanan menyelenggarakan vaksinasi untuk penyandang disabilitas. Vaksinasi untuk penyandang disabilitas memang menjadi tantangan tersendiri karena harus memiliki nomor induk kependudukan (NIK).

Masalah itu kemudian membuka mata untuk menyelesaikan persoalan yang telah terjadi bertahun-tahun, yakni banyaknya penyandang disabilitas yang belum memiliki NIK dan KTP-E. Angkie bersama timnya kemudian melakukan pertemuan dengan Kementerian Dalam Negeri untuk membahas KTP untuk penyandang disabilitas. 

Pertemuan itu menghasilkan surat edaran dari Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil mengenai kebijakan jemput bola untuk melakukan pendataan terhadap penyandang disabilitas di Indonesia yang menurut Badan Pusat Statistik berjumlah 22,5 juta jiwa. 

Sejak dikeluarkannya surat edaran dari Dukcapil hingga Juli 2022, tercatat 678 ribu penyandang disabilitas yang telah memiliki KTP dan KIA. Namun, perjalanannya masih sangat jauh menuju 22,5 juta jiwa sesuai estimasi BPS. 

'Saya berharap setiap keluarga mau mendaftarkan anggota keluarga penyandang disabilitas karena disabilitas bukan aib sehingga tak perlu ditutupi', tulis Angkie pada halaman 108.

 

Lapangan kerja yang inklusif

Selanjutnya, pada bab kelima berjudul 'Kesempatan yang Sama Mewujudkan Eksosistem Inklusi', Angkie menuliskan tentang pentingnya regulasi dan dunia usaha untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang inklusif. 

Angkie ingin mengungkapkan penyandang disabilitas juga memiliki kemampuan dan bisa diandalkan ketika terjun ke dunia kerja. Dengan pesatnya kemajuan teknologi, semua rintangan dan hambatan dalam berkomunikasi antara penyandang disabilitas dan perusahaan bisa berjalan dengan baik. Dengan demikian, diharapkan serapan tenaga kerja untuk penyandang disabilitas juga meningkat. 

Dalam bab itu, Angkie juga menulis bagaimana penyandang disabilitas juga berdaya dengan berwirausaha. Dengan adanya iklim usaha yang positif dapat membuat semua orang, tak terkecuali penyandang disabilitas, bisa mengembangkan diri dengan berwirausaha.

Pada bab terakhir berjudul 'Disabilitas Menembus Batas', Angkie menuliskan tentang perjalanannya dari lahir hingga saat ini. Bagaimana ia dibesarkan dan dididik oleh ibunya hingga membuat Angkie menjadi perempuan mandiri. Meski ada kekhawatiran dari orangtuanya dengan harus melepas anaknya seorang diri, cara itu ternyata membuat Angkie tumbuh sebagai perempuan yang kuat dan percaya diri.

Bab itu tidak hanya menceritakan kisah Angkie. Sejumlah penyandang disabilitas lainnya yang berhasil menembus batas dan berkarya serta berdaya juga dituangkan dalam bab ini.

Secara umum, buku tersebut ditulis dengan bahasa yang ringan sehingga mudah dipahami. Buku ini pun layak menjadi bahan bacaan serta renungan karena akan membuka mata pembaca bahwa penyandang disabilitas sama dengan orang kebanyakan. Kekurangan atau keterbatasan fisik tidak menjadi hambatan seseorang untuk berkarya dan berdiri di kakinya sendiri.

Melalui buku ini, kita juga diminta untuk membuka mata bahwa disabilitas bukan hal tabu dan membuat seseorang canggung. Dari buku ini, kita bisa belajar bagaimana bersikap dengan penyandang disabilitas mental dan intelektual, disabilitas sensorik tuli, disabilitas sensorik netra, serta penyandang disabilitas mental.

Pun kita bisa tahu bahwa setiap penyandang disabilitas memiliki perbedaan pendekatan sesuai dengan kondisi yang dialami. Dengan menerapkan apa yang ditulis Angkie itu, tentu saja disabilitas dan nondisabilitas dapat hidup berdampingan tanpa adanya rasa canggung, bahkan diskriminasi. (M-4)

 

Judul: Menuju Indonesia Inklusi
Penulis: Angkie Yudistia
Penerbit: Media Indonesia Publishing
Tahun terbit: Juli 2023
Jumlah halaman: 155

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat