visitaaponce.com

Setop Angin Surga Harga BBM

NGERI-NGERI sedap mendengarnya. Jika konflik Iran dan Israel meluas, hal itu bakal mengganggu pasokan minyak mentah sehingga dapat menyebabkan lonjakan harga minyak mentah dunia. Tatanan ekonomi global berubah, dan Indonesia yang merupakan pengimpor murni minyak (net importer) bakal merasakan imbasnya.

Selasa (16/4), selepas mengikuti rapat kabinet yang dipimpin Presiden Jokowi, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sudah buka-bukaan. Pemerintah hanya bisa menjamin tidak akan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi hingga Juni mendatang.

Itu pun jika konflik Iran-Israel tak meluas dalam satu-dua bulan ke depan. Akan tetapi, jika konflik meluas dan harga minyak dunia tembus US$100 per barel, APBN bakal jebol untuk menanggung subsidi harga BBM. Ditambah lagi, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang saat ini masih dalam tekanan.

Harga minyak dunia sejatinya juga telah mengalami tren kenaikan. Jenis Brent bahkan sempat menyentuh US$90 per barel, atau tertinggi sejak Oktober 2023, sebagai dampak dari situasi geopolitik.

Kemarin, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS untuk pengiriman Mei US$85,36 per barel, sedangkan harga minyak mentah Brent yang merupakan patokan harga minyak dunia untuk pengiriman Juni US$90,02 per barel.

Angka tersebut lumayan besar, jauh di atas asumsi makro APBN 2024 yang menetapkan US$82 per barel.

Perlu diingat pula, skala dampak konflik Iran-Israel bakal jauh lebih besar jika dibandingkan dengan perang Rusia-Ukraina atau perang di Gaza yang sudah berlangsung puluhan tahun lamanya. Itu karena Iran merupakan salah satu produsen minyak dan gas (migas) utama di Timur Tengah dan juga menjadi anggota organisasi negara pengekspor minyak bumi (Organization of the Petroleum Exporting Countries/OPEC).

Parahnya lagi, dalam penutupan perdagangan kemarin sore, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS ada di level Rp16.259, melemah 83 poin jika dibandingkan dengan penutupan Selasa (16/4) di level Rp16.175.

Secara matematis, APBN sudah jelas berada di bibir jurang jika terus menanggung subsidi harga BBM. Dalam hitungan pemerintah, setiap kenaikan harga minyak per 1 dolar AS akan berdampak pada kenaikan subsidi dan kompensasi untuk BBM di dalam negeri sekitar Rp3,5 triliun-Rp4 triliun.

Dari situ sudah jelas terlihat, jika harga BBM subsidi tidak dinaikan, beban APBN akan membengkak. Di sisi lain, jika harga BBM subsidi naik, hal itu dipastikan akan memicu inflasi yang menyebabkan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok sehingga menurunkan daya beli rakyat.

Karena itu, sejak sekarang pemerintah lebih baik bicara apa adanya dan menghindari pernyataan-pernyataan bak memberi angin surga kepada masyarakat, misalnya tak akan menaikkan harga BBM subsidi hingga Juni 2024. Siapa yang bisa menjamin konflik Iran-Israel tak akan berkepanjangan hingga Juni 2024?

Pemerintah sebaiknya bersikap realistis dengan memaparkan indikator-indikator terukur, salah satunya harga minyak dunia. Pemerintah akan lebih bijak kalau mengatakan tak akan menaikkan harga BBM subsidi jika minyak dunia masih di bawah US$100 per barel.

Namun, jika harga minyak dunia sudah di atas US$100 per barel, harga BBM subsidi bakal dinaikkan sembari mempertebal bantuan langsung tunai (BLT) kepada rakyat miskin yang terdampak. Pada saat bersamaan, aksi refocusing anggaran sebagaimana yang pernah dilakukan saat pandemi, bisa juga dilakukan lagi.

Pernyataan dan cara-cara itu jauh lebih realistis bagi masyarakat yang sudah lelah dengan harapan palsu.



Terkini Lainnya

Tautan Sahabat