visitaaponce.com

Kalah Melawan Korupsi

TITIK nadir pemberantasan korupsi di negeri ini ternyata bukan isapan jempol semata. Penegasan tersebut justru datang dari lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang merupakan simbol perang melawan korupsi. Lembaga antirasuah itu kini tidak lagi memiliki tenaga untuk mengobarkan perang melawan aksi lancung para koruptor.

Tak tanggung-tanggung, Wakil Ketua KPK yang telah dua periode menjabat, Alexander Marwata-lah yang membuat terang-benderang pengakuan kekalahan itu di depan anggota DPR RI, awal pekan ini. Alex mengaku gagal dalam menegakkan agenda pemberantasan korupsi. Pengakuan Alex menunjukkan KPK seakan takluk, tidak berkutik lagi dalam perang melawan korupsi.

Pengakuan Alex mengisyaratkan lembaga yang merupakan anak kandung reformasi itu telah kehilangan nyali dan energi, tidak punya muruah untuk menegakkan agenda-agenda pemberantasan korupsi. Musababnya, KPK digerogoti dari internalnya sendiri, termasuk Alex di dalamnya.

Linimasa beberapa tahun belakangan menunjukkan agenda penguatan KPK jauh panggang dari api. Kebijakan politik revisi Undang-Undang KPK, terpilihnya komisioner KPK bermasalah, pemecatan puluhan pegawai lembaga antirasuah secara ugal-ugalan melalui tes wawasan kebangsaan mencerminkan bukti pelemahan antikorupsi, alih-alih penguatan.

Para pemimpin KPK yang bergantian terjerat kasus etik, termasuk eks Ketua KPK Firli Bahuri yang akhirnya mundur dari KPK dan kini berstatus tersangka kasus dugaan pemerasan terhadap eks Menteri Pertanian Sahrul Yasin Limpo, menambah sempurna kegagalan itu.

Ketika KPK seharusnya menjadi garda terdepan untuk pemberantasan korupsi di Tanah Air, yang muncul justru deretan kasus hukum yang menjerat jajaran pejabat dari tubuh lembaga KPK itu. Kasus-kasus pimpinan KPK lebih menonjol ketimbang perkara korupsi yang ditangani KPK. Tidak hanya pimpinannya yang terjerat kasus, pegawai Rutan KPK juga ikutan mengkhianati agenda pemberantasan korupsi.

Rentetan kasus itu jelas memengaruhi wibawa KPK yang harusnya diisi oleh figur-figur dengan aspek integritas yang paling tinggi. KPK kini telah kehilangan sosok teladan yang tidak memiliki celah sedikit pun untuk menistakan agenda pemberantasan korupsi.

Belum lagi persoalan ego sektoral di internal KPK yang menurut pengakuan Alex Marwata sangat memengaruhi kinerja lembaga pemberantas korupsi tersebut. Beberapa staf yang berasal dari korps tertentu seolah dikendalikan oleh remote control atau bos dari instansi aslinya.

Hal itu diperparah dengan situasi pimpinan KPK yang sering kali tidak memiliki wibawa yang cukup untuk menghentikan semua kekisruhan yang terjadi di internal lembaga. Maka, lengkaplah sudah pemeretelan gigi-gigi KPK. Institusi ini pun telah bermetomorfosis dari macan yang menakutkan menjadi macan ompong.

Karena itulah, seleksi pimpinan KPK yang tengah berproses saat ini untuk mencari komisioner periode 2024-2028 harus bisa mengembalikan muruah KPK sebagai lembaga antirasuah yang independen. Tanggung jawab tersebut kini berada di pundak panitia seleksi calon pimpinan dan Dewas KPK.

Demi bisa memulihkan KPK, panitia seleksi harus bisa memilih calon pimpinan yang kompeten, berintegritas, dan berani, serta memilih calon anggota Dewas yang bisa menjadi penyeimbang.

Selain itu, sudah barang tentu sokongan politik dibutuhkan agar KPK periode mendatang benar-benar pulih. Sejumlah regulasi penting seperti Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset, Rancangan Undang-Undang Pembatasan Transaksi Uang Kartal, dan revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi perlu segera diwujudkan.

Dengan begitu, gigi dan taring KPK tumbuh lagi, tajam lagi, tidak tumpul, apalagi ompong seperti saat ini. Perjuangan KPK untuk memenangi perang melawan korupsi masih panjang. Jangan biarkan KPK kalah atau dikalahkan. Reformasi sudah mengamanatkan bahwa KPK bisa bubar jika bangsa ini telah menang melawan korupsi. Saat ini, kemenangan itu masih jauh panggang dari api.

 



Terkini Lainnya

Tautan Sahabat