visitaaponce.com

Kalangan Eksportir Minyak Jelantah Keluhkan Tingginya Tarif Ekspor

Kalangan Eksportir Minyak Jelantah Keluhkan Tingginya Tarif Ekspor
Pengepul di Pedaringan, Solo, mengumpulkan minyak jelantah dari warung, reatoran, dan dapur rumah tangga.(MI/Widjajadi.)

KEBIJAKAN pemerintah menaikkan tarif bea keluar untuk barang ekspor berupa kelapa sawit crude palm oil (CPO) dan produk turunannya hingga kini masih terus dikeluhkan kalangan eksportir minyak jelantah (used ooking oil) di Jawa Tengah. Soalnya, tarif yang dikenakan sangat tinggi.

Mereka sejak sebelum lebaran 2022 sudah mencoba meminta bantuan Komisi VI DPR agar Kementerian Perdagangan bersedia menurunkan tarif bea keluar ekspor minyak jelantah, tetapi belum menunjukkan hasil. "Hingga kini belum ada respons positif dari Kemendag. Kebijakan menyamaratakan dengan produk turunan CPO lain ini sungguh memberatkan. Padahal minyak jelantah merupakan limbah sisa minyak goreng, tetapi penetapan disamaratakan," kata Respati Ardi, anggota Asosiasi Minyak Jelantah (AMJ) Jawa Tengah, dalam perbincangan di Solo, Selasa (5/7).

Pemerintah sebelumnya juga memasukkan minyak jelantah yang masuk sebagai ketegori produk turunan dari minyak sawit mentah atau CPO sebagai komoditas yang dilarang ekspor. Akhirnya keran ekspor jelantah dibuka lagi.

Namun seiring dengan kebijakan itu, pemerintah mengeluarkan aturan penambahan kategori harga referensi atas barang ekspor berupa kelapa sawit, CPO, dan produk turunannya yang dikenakan bea keluar dari 12 kategori menjadi 17 kategori. Peraturan itu sebagai upaya mendukung stabilitas harga di dalam negeri dan ketersediaan produk kelapa sawit, CPO, dan produk turunannya. "Mestinya besaran tarif minyak jelantah jangan disamaratakan," imbuh Respati.

Minyak jelantah dikenai bea tarif keluar sebesar US$488 ditambah tarif pungutan sawit ekspor US$35, hingga totalnya mencapai US$523. "Ini sungguh berat, karena kami masih harus menanggung biaya angkut kapal dan biaya pengepul minyak jelantah," tukas dia.

Dia mendapatkan informasi bahwa tingginya bea keluar itu sebagai dampak dari eksportir sawit yang menggunakan nama ekspor minyak jelantah. "Mestinya jika itu benar kan itu perkara berbeda. Biarlah kasus itu menjadi prosea hukum dan tidak kemudian menyamaratakan ke dalam tarif bea keluar," sergah Respati.

Lebih jauh dia memaparkan Jawa Tengah merupakan eksportir minyak jelantah terbesar kedua di Tanah Air dengan jumlah anggota AMJ sebanyak 17 eksportir. Keberadaan minyak jelantah dari warung, restoran, dan rumah tangga mencapai 500 ton per bulan. "Kami mewadahi minyak jelantah di Jateng agar tidak membuang sembarangan limbah minyak goreng dengan memberdayakan pengepul. Ada minyak jelantah dari pabrik makanan, tetapi kami tidak kuat secara modal untuk menampung," ujar Respati.

Minyak jelantah diekspor, karena di Indonesia hingga kini belum ada mesin yang mampu mengolah jelantah menjadi biodisel untuk bahan bakar pesawat. Pengimpor di luar negeri seperti Eropa, Afrika, dan Singapura mampu mendaur ulang dan mengolah jelantah jadi biodisel. (OL-14)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Wisnu

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat