visitaaponce.com

Pengusaha Listrik Siap Monetisasi Perdagangan Karbon

Pengusaha Listrik Siap Monetisasi Perdagangan Karbon
Ilustrasi(Freepik.com)

Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) Arthur Simatupang menyatakan pelaku usaha siap memonetisasi atau menghasilkan pendapatan dari sumber baru lewat perdagangan karbon subsektor ketanagalistrikan yang mulai resmi diluncurkan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Rabu (22/2).

Perdagangan karbon merupakan kegiatan jual beli sertifikat karbon yang dilakukan pengusaha pembangkit listrik untuk mengurangi emisi di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Nilai perdagangan karbon yang ditentukan pemerintah mengikuti mekanisme pasar sebesar US$2-18 per ton karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau setara Rp30-273 ribu.

"Prinsipnya kita menyambut baik langkah ini untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK). Lewat perdagangan karbon itu bisa jadi opportunity (kesempatan) dan ini bisa dimonetisasi," ungkapnya di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu (22/2).

Perdagangan karbon tahap awal dilaksanakan pada unit pembangkit jenis PLTU mulut tambang yang terhubung ke jaringan tenaga listrik PLN dengan kapasitas lebih besar atau sama dengan 100 megawatt (MW).

Dari penetapan Kementerian ESDM, nilai Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Pelaku Usaha (PTBAE-PU) untuk PLTU mulut tambang sebesar 1.089 ton CO2e per megawatt hour (MWh).

Untuk PLTU nonmulut tambang dengan kapasitas terpasang 100 MW sampai sama dengan 400 MW, PTBAE-PU ditentukan sebesar 1.011 ton CO2e per MWh. Kemudian, PTBAE-PU diberikan sebesar 1.089 ton CO2e per MWh untuk PLTU mulut tambang dengan kapasitas lebih besar dari 100 MW.

Lalu, untuk PLTU mulut tambang dan nonmulut tambang dengan kapasitas terpasang 25 MW sampai dengan 100 MW, PTBAE-PU diberikan sebesar 1.297 ton CO2e per MWh.

"Ini kan sudah jelas ya batas emisinya. Kami akan coba dulu praktiknya seperti apa. Dari batas emisi itu, kita lihat mana (PLTU) yang defisit emisinya, dan mana yang surplus. Ini yang akan dilakukan perdagangan karbon," kata Arthur.

Sebanyak 99 unit PLTU batu bara dari 42 perusahaan pembangkit menjadi peserta perdagangan karbon tahap awal dengan total kapasitas terpasang 33.569 megawatt (MW). Dari 99 unit PLTU tersebut, 55 unit milik PLN grup dan 44 unit dari perusahaan Independent Power Producer (IPP) atau pengusaha listrik swasta. Adapun potensi karbon yang diperdagangkan mencapai 500 ribu ton CO2e.

Arthur menuturkan para pengusaha pembangkit listrik akan mencermati berapa nilai potensi yang didapat dari perdagangan karbon tersebut dengan mekanisme business to business atau B2B ke sesama pengusaha PLTU batu bara lainnya.

"Sudah dihitung berapa jumlah PLTU yang milik PLN, berapa milik swasta. Dari situ dulu kelihatan berapa yang bisa diperdagangkan. Sudah jelas ada value added (nilai tambah) yang akan didapat," pungkasnya.

Sementara itu, PT PLN Nusantara Power, perusahaan sub-holding PLN yang bergerak di bidang pembangkitan listrik menyatakan ada 11 PLTU yang ikut dalam perdagangan karbon.

Direktur utama (Dirut) PLN Nusantara Power Ruly Firmansyah menjelaskan dari penyediaan sertifikat penurunan emisi (SPE) yang dimiliki di dua PLTU PLN Nusantara Power menghasilkan jutaan emisi yang siap diperdagangkan.

"Kami telah memiliki sejumlah proyek yaitu di PLTU Muara Karang, Jakarta, telah divalidasi oleh Kementerian ESDM. Di sana ada potensi 1,2 juta ton CO2e. Lalu ada juga di PLTU Renun (Sumatra Utara)," tutupnya. (OL-8)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Polycarpus

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat