visitaaponce.com

Ini Bahaya dari Permintaan Tiongkok Gunakan APBN sebagai Jaminan Proyek Kereta Cepat

Ini Bahaya dari Permintaan Tiongkok Gunakan APBN sebagai Jaminan Proyek Kereta Cepat
Teknisi memeriksa kereta cepat Jakarta-Bandung(Antara Foto/ Mubarak)

Pemerintah Tiongkok meminta pemerintah Indonesia menjadikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai jaminan utang kereta cepat Jakarta-Bandung. Permintaan itu sejauh ini masih ditolak pemerintah Indonesia. Namun, jika nantinya pemerintah Indonesia mengabulkan, ada banyak bahaya yang mengintai atas keputusan tersebut.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, permintaan pemerintah Tiongkok itu akan sangat berbahaya jika dikabulkan. Pasalnya ada risiko yang tinggi dari potensi gagal bayar oleh konsorsium kereta cepat.

"Sebelum ada cost overruns saja kan sudah berat bayar utang. APBN yang ikut terseret nanti bisa berimbas ke belanja pemerintah untuk menanggung cicilan dan bunga utang dalam jangka panjang," kata Bhima, saat dihubungi, Jumat (14/4).

Baca juga: Pengamat Sebut Proyek Kereta Cepat bakal Kuras APBN

Menjadikan APBN sebagai jaminan juga dianggap sebagai langkah semu. Sebab, kemampuan bayar konsorsium kereta cepat yang rendah nantinya juga akan berujung pada kucuran dana dari APBN.

Bila permintaan Tiongkok itu dituruti oleh pemerintah Indonesia, dampaknya akan terasa pada pelebaran defisit anggaran, turunnya rating utang pemerintah, dan konsekuensi bunga Surat Berharga Negara (SBN) yang lebih mahal.

"Pemerintah juga jangan sesumbar bilang penerimaan pajak masih besar. Faktanya rasio pajak tahun lalu cuma naik disumbang windfall harga komoditas dan pemulihan pandemi. Beberapa tahun ke depan tekanan rasio pajak akan berisiko menurun. DPR harus cegah skenario aneh libatkan apbn sebagai agunan utang kereta cepat," jelas Bhima.

Baca juga: Tiongkok Turunkan Bunga Pinjaman Kereta Cepat 3,4%, Luhut : Kita Mau Lebih Rendah lagi

Dilematis

Dia menambahkan, negosiasi bunga utang yang dilakukan pemerintah ke Tiongkok juga dinilai tak masuk akal. Pasalnya, kata Bhima, yang menjadi permasalahan bukan lah bunga, melainkan pertanggungan biaya risiko dari cost overruns.

Jika berbicara bunga, artinya pemerintah indonesia yang tetap keluar uang baik melalui BUMN maupun APBN langsung. Pengajuan pinjaman baru untuk menutup cost overruns hanya untungkan pihak kreditur.

Itu karena pembengkakan biaya juga dimulai dari kesalahan proses perencanaan di awal atau feasibility study.

"Waktu itu proses perencanaan proyek terlalu optimistis dan kreditur menawarkan bunga murah," kata Bhima. Tapi begitu dijalankan ada biaya bengkak, apa semua full tanggung jawab bumn dan pemerintah indonesia? Ini kan kurang fair. Beban utang dari kereta cepat juga akan semakin menimbulkan efek berantai ke defisit APBN," lanjutnya.

Hal itu pada akhirnya akan berpengaruh ke operasional kereta cepat yang menjadi semakin dilematis. Sebab, demi mempercepat pelunasan utang, maka harga tiket harus dinaikkan. Begitu harga tiket naik, maka jumlah penumpang bisa dibawah proyeksi ideal.

Situasi itu justru memperberat subsidi negara ke kereta cepat. Padahal subsidi juga ditujukan untuk golongan tidak mampu, sedangkan calon penumpang kereta cepat golongan mampu.

"Skema ideal tetap burden sharing atau berbagi beban antara kreditur dan pemerintah. Sekarang opsi yang terbuka adalah debt swap. Menukar utang kereta cepat Tiongkok dengan program subsidi tiket kereta cepat. Jadi beban utang berkurang, kreditur Tiongkok akan menyubsidi tiket sebagai bagian dari goodwill terhadap masyarakat Indonesia," pungkas Bhima.

(Z-9)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri Rosmalia

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat