Harga Rumah Subsidi Tak Kunjung Naik, Pengembang Beralih ke Rumah Komersial
![Harga Rumah Subsidi Tak Kunjung Naik, Pengembang Beralih ke Rumah Komersial](https://disk.mediaindonesia.com/thumbs/800x467/news/2023/05/505fbffee2f7459b9570fc1c9c9abe4f.jpeg)
SIKAP Pemerintah menunda kenaikan harga rumah subsidi amat disayangkan sejumlah asosiasi pengembang perumahan tanah air. Hal ini mengancam terhentinya pasokan rumah bersubsidi lantaran banyaknya pengembang berhenti memproduksi rumah tipe tersebut.
Ketua Umum DPP Apersi Junaidi Abdillah mengatakan, saat ini jumlah pengembang anggota yang mulai beralih ke produksi rumah komersial tidak sedikit. Mereka beralih lantaran tak lagi bisa mengambil margin untung dalam memproduksi rumah bersubsidi.
“Pasca pandemi Covid-19 pengembang cukup bersemangat untuk kembali membangun rumah bersubsidi. Tetapi harga material dan tanah yang semakin melambung tinggi, di satu sisi peemrintah belum juga menyesuaian harga jual membuat banyak pengembang kesulitan,” ungkap Junaidi diskusi media bertajuk ‘Akhir Cerita Program Sejuta Rumah?’ yang diselenggarakan Indonesia Housing Creative Forum (IHCF) bekerjasama dengan Real Estat Editors Community (RE2C) di Jakarta.
Baca juga: Harga Rumah Subsidi Stagnan sejak 2019, Developer Merasa ‘Dianaktirikan’
Menurut Junaidi, situasi ini sangat memberatkan pengembang. Akibatnya banyak pengembang sudah beralih meninggalkan rumah bersubsidi.
“Pengembang lebih baik bangun spek yang lebih sedikit dengan harga jual di atas harga rumah subsidi namun tetap berproduksi. Mereka beralih ke komersil, karena untuk membangun kembali rumah subsidi sulit terutama akibat harga bahan material yang sudah naik berlipat-lipat kali,” ungkapnya.
Baca juga: Permudah Akses Pembangunan Rumah MBR
Apersi meminta keseriusan dan perhatian pemerintah terhadap program rumah bersubsidi ini dengan menyeimbangkan antara kepentingan pemerintah, MBR, pengembang dan perbankan.
Junaidi mengatakan, banyak masyarakat yang masih butuh rumah. Namun jika pengembang tidak lagi mau memproduksi maka masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) akan dirugikan.
Sebenarnya, pemerintah tidak perlu ‘menguji’ pengembang setiap tahun dengan tarik ulur penyesuaian harga jual. Hal itu karena inflasi pasti terjadi setiap tahun, sehingga penyesuaian kenaikan dapat mengacu pada besaran inflasi.
Lewat cara itu, pengembang tidak harus pusing menunggu-nunggu peraturan menteri keuangan atau keputusan menteri seperti sekarang ini. Pemerintah juga tidak perlu pusing melakukan pembahasan dan proses harmonisasi yang sangat panjang lebar seperti ini.
“Atau memang pemerintah menunggu banyak pengembang bertumbangan? Sudah harga tidak naik, malah ada aturan-aturan yang banyak sekali. Kami sepakat kualitas harus ditingkatkan, tapi harga ayo disesuaikan. Kalau harga kedelai naik, pasti harga tahu pun naik,” sebut Junaidi.
Wakil Ketua Umum DPP REI, Maria Nelly Suryani menegaskan selama masih ada MBR dan Pemerintah Indonesia memiliki keberpihakan kepada MBR, maka Program Sejuta Rumah (PSR) terutama penyediaan rumah bersubsidi seharusnya dapat terus berkelanjutan.
Namun pembangunan rumah bersubsidi yang berbasis pada Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) saat ini mengalami berbagai masalah.
Selain tidak ada kenaikan patokan harga jual sejak 2020, pengembang malah dituntut untuk meningkatkan kualitas rumah yang persyaratannya terlalu teknis seperti halnya kontraktor.
“Tidak apa dituntut kualitas dengan spek yang tinggi asal harga berimbang. Ada barang, ada harga! Jika syarat itu tetap dipaksakan dampaknya pasti semakin banyak pengembang rumah subsidi yang tumbang atau beralih ke rumah komersial,” kata Maria.
Menurut Maria, pengembang tidak bisa membangun hanya dengan modal tanah saja, tetapi juga butuh bahan material. Sementara setiap tahun harga material pasti naik, dan kenaikan harga tersebut harus diikuti pengembang. Dia mencontohkan harga besi yang sudah naik 90% sejak 2020.
“Pemerintah sepatutnya lebih peduli dengan fakta tersebut. Tapi kenyataannya, dalam tiga tahun terakhir harga rumah subsidi tidak ada penyesuaian dengan berbagai alasan,” jelas dia.
Ketua Umum DPP Himperra, Endang Kawidjaja juga menyoroti soal penurunan pasokan rumah bersubsidi di awal tahun ini berdasarkan informasi dari BP Tapera jadi berkurang dari target sehingga mempengaruhi realisasi KPR rumah bersubsidi.
“Terakhir, kami asosiasi pengembang justru diminta menandatangani perjanjian soal peningkatan kualitas rumah. Kami sebenarnya tidak masalah, asal ada kepastian setiap tahun harga bisa naik 6-7% atau kalau bisa 10%. Dengan begitu kami mampu menjamin kualitas dapat ditingkatkan,” tegas Endang Kawidjaja.
Dia menyebutkan, segmen rumah subsidi membutuhkan aturan khusus yang mengikat dari hulu ke hilir, dari suplai hingga pembiayaan kepada konsumen.
Menurut Endang, PP No 64 tahun 2016 tentang Pembangunan Perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah memiliki spirit yang baik dalam pelaksanaan pembangunan rumah subsidi. Tetapi semangat itu hilang usai terbitnya PP Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas PP Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan
Perumahan dan Kawasan Permukiman, serta PP Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
“Dengan adanya kedua regulasi tersebut, tidak ada lagi kekhususan. Banyak aturan, tapi kurang spesifik. Kami mendesak adanya penerus PP 64/2016 yang secara khusus memprioritaskan pembangunan,” kata Endang Kawidjaja.
MBR Dirugikan
Tiga asosiasi pengembang yang menyumbang pasokan rumah subsidi terbesar di Indonesia itu sepakat bahwa penundaan penyesuaian harga rumah subsidi pada akhirnya akan merugikan konsumen yakni MBR.
Yang kami khawatirkan justru dampaknya kepada MBR. Kalau harga tidak naik dan pengembang terus dihantam oleh aturan yang banyak, maka banyak pengembang rumah subsidi yang tumbang dan berkurang. Ini yang rugi ya MBR karena suplai dan pilihannya menjadi sedikit,” ujar Endang.
Pendapat senada dikatakan Maria. Menurutnya, MBR tetap akan dirugikan, karena mereka tidak diberi kesempatan untuk memilih dan memiliki rumah. Sementara rumah merupakan kebutuhan dasar manusia.
Mohon dipertimbangkan situasi pengembang termasuk jangan terus menerbitkan aturan yang seperti air hujan yang turun deras,” pungkas Maria.
Junaidi Abdillah mengatakan saat ini memang banyak pengembang yang mengubah rumah subsidi menjadi rumah komersial.
Hal itu karena mereka lelah disuruh menunggu harga baru dan ditambah lagi dengan berbagai aturan yang menyulitkan.
“Tapi efeknya akan dirasakan masyarakat juga karena angsuran KPR-nya menjadi lebih mahal,” sebutnya. (Z-10)
Terkini Lainnya
Kepastian Kuota FLPP 2024 Jadi Tantangan Pemerintahan Prabowo-Gibran
Sama-sama Bantu MBR Punya Rumah, Apa Bedanya Tapera dan FLPP?
Iuran Tapera sejak 2018 Belum Efektif Atasi Backlog Perumahan
Program 3 Juta Rumah Harus Sasar Masyarakat Kelompok Ini!
Pemerintah DIY Dorong Program KPR Sejahtera FLPP untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah
Pemerintah Minta Penyaluran 166 Ribu Rumah Bersubsidi Tepat Sasaran
Livin' KPR Jadi Solusi dalam Mencari Rumah Impian
Apa yang Dimaksud Restrukturisasi KPR? Begini Penjelasannya
Ingin Punya Rumah Ramah Lingkungan? KPR BRI Green Financing Bisa Jadi Solusi
Panduan dan Tips Menemukan Rumah Impian di BRI REI Expo Manado 2024
Aprindo: Iuran Tapera bisa Menurunkan Daya Beli Masyarakat
Umur di Tangan Tuhan, Bantuan Hidup Dasar Mesti Dilakukan
Sengkarut-marut Tata Kelola Pertanahan di IKN
Panggung Belakang Kebijakan Tapera
Pancasila, Perempuan, dan Planet
Eskalasi Harga Pangan Tengah Tahun
Iuran Tapera ibarat Masyarakat Berdiri di Air Sebatas Dagu
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Ulang Tahun, D'Cost Donasi ke 17 Panti Asuhan Melalui BenihBaik.com
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap