visitaaponce.com

Pengamat Rencana Gasifikasi Batu Bara akan Tingkatkan Emisi Karbon dan Rusak Lingkungan

Pengamat: Rencana Gasifikasi Batu Bara akan Tingkatkan Emisi Karbon dan Rusak Lingkungan
Aktivitas bongkar muat batu bara kebutuhan smelter nikel di Laut Lasolo, Konawe, Sulawesi Tenggara.(Antara)

PEMERINTAH berencana untuk melakukan proyek gasifikasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME) pada akhir 2027. Gasifikasi batu bara disebut pemerintah akan menghemat devisa impor LPG tahunan. Namun, dibalik keuntungan tersebut gasifikasi batu bara disebut dapat mengurangi emisi karbon dan merusak lingkungan.

Kementerian ESDM menyatakan jika proyek gasifikasi batu bara sudah beroperasi dapat menekan impor LPG sebesar 1 juta ton per tahun, menghemat devisa impor LPG sebesar Rp9,1 triliun per tahun, dan akan menambah investasi sebesar US$2,1 miliar.

Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), Pius Ginting, mengatakan emisi yang dihasilkan oleh gasifikasi batu bara akan mencapai 650 CO2 emisi per gram satuan energi yang dihasilkan. Sementara penggunaan LPG dan LNG hanya mencapai 200 CO2 emisi per gram satuan energi yang dihasilkan.

“Jadi kita lihat masih berkali lipat dampak dari gasifikasi batu bara terhadap emisi karbon,” ungkapnya dalam Indonesia-Australia NGO Discussion on Underground Coal Gasification yang diselenggarakan oleh AEER di Jakarta, Rabu (5/7).

Baca juga: Perusahaan Tambang Ini Digugat Pailit ke PN Jakpus

Lebih lanjut, Pius menegaskan bahwa pemerintah perlu mempertimbangkan lagi program gasifikasi batu bara ini. Pasalnya, hal ini dikatakan bertengangan dengan komitmen net zero emission yang dinyatakan oleh Indonesia.

“Indonesia berkomitmen mengurangi 31,89% emisi karbon di 2030 dengan upaya sendiri dan dengan dukungan internasional mencapai 43,2%. UCG (gasifikasi batu bara) hanya akan memperlambat komitmen ini sekitar 2,3%,” tegas Pius.

Menurutnya, dibandingkan memberlakukan gasifikasi batu bara, lebih baik pemerintah mengembangkan energi baru terbarukan (EBT) di sektor lainnya seperti pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan lain sebagainya.

“Kita harapkan 2-3 tahun ke depan UCG tidak terjadi tapi EBT seperti PLTS yang dikembangkan. Nantinya ini akan berpengaruh ke sektor lainnya. Karena sekarang kendaraan listrik saja masih berpengaruh kepada kenaikan emisi karena untuk charge kendaraan listrik ini kan sumbernya masih pakai PLTU di Indonesia,” tuturnya.

Baca juga: September Ini, Perusahaan BUMN Siap Jalankan Pasar Karbon

Risiko Kontaminasi

Di tempat yang sama, Chief Executive Conservation Council South Australia, Craig Wilkins, menjelaskan gasifikasi batu bara merupakan proses konversi batu bara menjadi produk gas yang dapat digunakan untuk bahan bakar, listrik, bahan baku industri kimia, dan lainnya.

“Namun ini tidak boleh digunakan. Alasan utamanya adalah adanya kontaminasi kepada air di dalam tanah. Karena kami adalah negara kering makanya sangat penting bagi kami untuk menjaga sumber air di dalam tanah. Gas ini mengandung karbon moniksida dan lainnya yang beracun dan bisa menghasilkan kanker,” ujar Craig.

“Lalu ada juga dampaknya terhadap penambahan emisi karbon. Pada akhirnya ini akan membawa dampak negatif. Teknologi ini juga lebih banyak mengalami kegagalan untuk dilakukan karena hal ini tidak dapat dilakukan secara aman,” sambungnya.

Dia menegaskan bahwa dirinya telah bekerja sama dengan masyarakat lokal yakni aborigin untuk menolak gasifikasi batu bara. Menurutnya, langkah ini merupakan langkah yang paling efektif untuk menggagalkan proyek gasifikasi batu bara.

“Ini menjadi pendekatan paling efektif untuk menolak UCG karena para pemilik tanah yang mengutarakan sendiri ketidaksetujuan mereka terhadap rencana UCG. Perusahaan itu lalu mengubah rencana mereka menjadi perusahaan pupuk urea dengan visi netral karbon. Namun kami masih melihat hal itu hanya menyesatkan dan mereka membesar-besarkan upaya mereka untuk netral karbon yang ternyata bohong. Maka dari itu kami menggugat terkait lisensi sosial dari masyarakat yang belum mereka miliki,” tegas Craig.

Sumber Energi Paling Kotor

Sementara itu, Kepala Divisi Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur Fachri Aziz mengatakan gasifikasi batu bara merupakan bagian dari rantai memperpanjang hidupnya proyek industri batu bara. Padahal batu bara dianggap sebagai sumber energi paling kotor dan banyak negara yang sudah meninggalkan batu bara serta beralih ke proyek energi yang lebih bersih.

“Langkah hilirisasi melalui gasifikasi batu bara ini membahayakan keselamatan rakyat dan alam. Belajar dari daya rusak yang diterima oleh warga Kota Bontang, warga mengalami daya rusak dari Kaltim Industrial Estate di antaranya hilirisasi gas bumi menjadi metanol. Gas ini memiliki sifat tak berwarna, mudah larut dalam air dan Ph basa yang jika dihirup secara terus menerus akan mengakibatkan tenggorokan kering dan kerusakan pada paru-paru,” tegas Fachri.

Menurutnya, gasifikasi batu bara hanya akan menguntungkan perusahaan seperti dijamin mendapatkan perpanjangan otomatis selama dua kali dalam sepuluh tahun dan menghapuskan kewajiban menyetor dana royalti. Hal ini tertuang dalam revisi UU Minerba pasal 169A ayat 1 dan pasal 128A.

Fachri menekankan bahwa gasifikasi batu bara hanya akan memperparah kondisi lingkungan. Dalam hal ini negara tidak memulihkan lingkungan pascaindustri pertambangan, tapi justru memberikan ruang untuk kembali memperparah lingkungan.

“Sampai 2023 ini ada sekitar 21 perusahaan hilirisasi gasifikasi batu bara yang tersebar di seluruh Indonesia. Pemerintah harus mengoreksi dan mengevaluasi terhadap kebutuhan masyarakat. Masyarakat hanya mengharapkan pemerintah memberikan perlindungan dan jaminan ruang hidup dan hak asasi mereka, bukan justru dengan melahirkan proyek baru yang akan membebani hidup mereka,” tandasnya.

(Z-9)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri Rosmalia

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat