visitaaponce.com

Ombudsman Kritik Kebijakan Penanganan Minyak Goreng

Ombudsman Kritik Kebijakan Penanganan Minyak Goreng
Ilustrasi(Medcom)

PENETAPAN 3 perusahaan di sektor industri sawit, yakni Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan minyak goreng masih menimbulkan polemik. Terlebih ketiga perusahaan tersebut hanya menjalankan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.

Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika mengatakan penangangan perkara ini tidak bisa hanya dilihat dari satu sisi. Ia menyoroti soal strategi pengendalian harga minyak goreng yang semuanya digerakkan berdasarkan aturan yang dibuat pemerintah.

"Di dalam Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) kan sudah jelas, jawaban Ombudsman terkait masalah ini. Pangkal mula dari persoalan ini adalah ketidakmampuan Kemendag dalam memitigasi dampak kenaikan harga CPO," kata dia, belum lama ini.

Pernyataan Yeka terkait perkara pengendalian harga minyak goreng itu bukan baru pertama kali diungkapnya. Hasil investigasi yang dilakukan pihaknya pada 2022 silam mengungkap ada sedikitnya 7 kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam rangka pengendalian harga minyak goreng.

Ia juga menyinggung kerap bergantinya kebijakan pemerintah kala itu dalam rangka mengendalikan harga minyak goreng yang justru berpotensi menimbulkan kebingungan di tingkat pelaksanaan.

"Banyaknya jumlah peraturan menteri yang diterbitkan dalam kurun waktu yang relatif sangat singkat untuk mengendalikan permasalahan minyak goreng, ternyata tidak mampu mengatasi permasalahan minyak goreng yang dihadapi dalam waktu cepat. Sehingga menimbulkan kerugian pelaku usaha dan masyarakat," ujarnya.

Pernyataan Yeka kala itu tentu tidak berlebihan bila melihat fakta yang terjadi saat ini. Para pengusaha yang sejatinya hanya melaksanakan kebijakan yang dibuat pemerintah, kini malah menjadi tersangka dan berurusan dengan meja hijau.

Ombudsman juga menyoroti tidak efektifnya implementasi penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng. Ombudsman RI menemukan HET minyak goreng tidak berjalan di beberapa wilayah di Indonesia. HET minyak goreng curah tidak tercapai karena distribusi belum merata ke seluruh wilayah Indonesia.

Maklum saja, Indonesia merupakan negara kepulauan yang masing-masing wilayahnya memiliki kompleksitas permasalahan pemenuhan kebutuhan dasar yang berbeda. Sehingga, tidak mengherankan bila kerap dijumpai disparitas harga komoditas antara satu daerah dengan daerah lainnya.

Dengan demikian, kebijakan yang diberlakukan juga harusnya tak main pukul rata.

Terpisah, Ahli Hukum Pidana Unpad Nella Sumika Putri mengatakan, sebelum lebih jauh memproses perkara tersebut, ada baiknya pemangku kebijakan menjelaskan secara gamblang batasan tindakan mana yang dilakukan 3 perusahaan sawit tersebut yang dianggap pelanggaran.

Penting, menurutnya, menegaskan apakah yang dilakukan perusahaan-perusahaan itu murni karena memang melakukan tindakan pidana atau menjalankan kebijakan yang dibuat pemerintah?

"Harus kita buat batasan dulu. Kalau memang melakukan pidana itu bisa dikenakan hukuman, tapi berbeda kalau perusahaan ini melakukan atau melaksanakan aturan yang dibuat pemerintah," kata dia dihubungi terpisah.

Penegasan ini tentu sangat penting untuk mengetahui duduk perkara, sejauh mana tindakan perusahaan dilindungi oleh aturan. Maklum saja, para pelaku usaha memang diketahui tengah menjalankan kebijakan pemerintah dalam hal pengadaan minyak goreng murah bagi masyarakat.

Menurutnya, bila yang dilakukan oleh perusahaan itu memang melaksanakan aturan hukum yang dibuat pemerintah, maka apa yang dilakukan perusahaan tersebut sangat bisa dibenarkan. Ada alasan pembenar melakukan perbuatan itu, menurut Nella. 

"Contohnya, ada sebuah produk ada aturan HET-nya maksimal Rp 1.000, namun karena keadaan tertentu ada suatu aturan lain yang membuat orang boleh jual di atas HET contoh dia jual Rp 1.500, nah yang dilakukan orang itu dibenarkan oleh hukum, karena ada aturan yang dibuat oleh pemerintah," tutur dia mencontohkan.

Ia melanjutkan, para pelaku usaha yang yakin pihaknya tidak bersalah karena menjalankan aturan pemerintah dalam hal penyediaan minyak goreng murah, bisa melakukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) berupa Defered Prosecution Agreement atau penangguhan tuntutan.

Hal itu merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar pengadilan.

"Itu ada di pasal 80 KUHP. Hakim bisa menunda penuntutan sambil menunggu tuntutan di PTUN selesai dulu, jadi dilihat nantinya apakah aturan tersebut benar atau tidak, tentunya putusan PTUN akan berpengaruh pada kasus yang diusut tersebut," beber dia. 

Ia menegaskan, lantaran pentingnya pembuktian apakah ada kesalahan dari sisi aturan yang dijalankan pengusaha, maka ada baiknya proses penuntutan ditunda sampai ada pembuktian apakah tindakan yang dilakukan para pelaku usaha sudah sesuai dengan aturan yang dibuat pemerintah?

"Nanti di ranah PTUN kita bisa tahu apakah aturan yang dibuat itu benar atau salah. Kalau aturan itu benar, orang yang menjalankan aturan tersebut tidak boleh disalahkan," tegasnya. (RO/Z-1)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat