visitaaponce.com

Komitmen Indonesia Lawan Perubahan Iklim

Komitmen Indonesia Lawan Perubahan Iklim
Ilustrasi(AFP)

INDONESIA berkomitmen untuk melawan perubahan iklim dengan meningkatkan target pengurangan emisi 31,89% dengan upaya sendiri dan 43,2% dengan dukungan internasional di 2030. Komitmen tersebut turut sejalan dengan agenda transisi energi nasional yang tengah digaungkan oleh pengambil kebijakan.

Upaya untuk menciptakan ekonomi yang lebih bersih, ramah lingkungan, dan berkelanjutan merupakan reaksi dari memburuknya kondisi iklim dunia. Hal itu diungkapkan Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi Masyita Crystallin dalam Executive Forum Media Indonesia bertajuk Pembiayaan Renewable Energy, Jakarta, Kamis (19/10).

Dia mengatakan, komitmen perubahan iklim yang diterapkan oleh banyak negara, termasuk Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu mitigasi dan adaptasi. Dari sisi mitigasi, salah satu yang paling krusial ialah pembangunan dan pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT).

Baca juga : Tingkatkan Pemanfaatan Data Cuaca Antisipasi Dampak Perubahan Iklim

Bagi Indonesia, mitigasi perubahan iklim tak sekadar pengembangan EBT, melainkan fokus untuk menekan emisi yang dihasilkan dari sektor kehutanan dan transportasi. Pasalnya, dua sektor tersebut berkontribusi hingga 70% dari total emisi di Tanah Air. “Kalau kita berhasil mengendalikan dan mengurangi emisi dari dua sektor itu, maka itu sudah mencakup 70% dari pengurangan emisi yang kita targetkan,” tutur Masyita.

Baca juga : Bumi Semakin Panas, BMKG Ajak Generasi Muda Lakukan Aksi Nyata

Sedangkan dari sisi adaptasi ialah kesiapan mengenai kesiapan dana kebencanaan sebagai dampak dari perubahan iklim. “Pemerintah sedang bekerja melakukan ini, salah satunya kita membuat disaster pooling fund dan mekanisme lainnya, misalnya asuransi aset negara yang merupakan aktivitas di sektor adaptasi,” tambahnya.

Upaya transisi energi diakui tak selalu berjalan mulus. Sebab, tak bisa dimungkiri kebutuhan akan energi fosil masih cukup besar. Pemerintah juga sadar betul tak bisa mematikan energi tak ramah lingkungan dan langsung beralih ke EBT.

Karenanya, persoalan yang masih cukup menantang, bahkan di level global, ialah pada pembiayaan transisi energi. Sedianya banyak komitmen telah dilontarkan negara-negara maju untuk mendukung upaya transisi energi negara-negara berkembang.

Hanya, komitmen itu tak diikuti dengan aksi nyata. Dukungan pembiayaan yang kerap dijanjikan tidak pernah tersalurkan ke negara-negara berkembang. “Ada biaya untuk melakukan transisi energi dan meninggalkan energi kotor atau early retirement coal power plant. Untuk meninggalkan, maka kita perlu investasi tambahan,” jelas Masyita.

“Kita punya opportunity cost dari menggunakan sumber energi lama yang tidak bisa digunakan kalau mau mengurangi baurannya. Kemudian ada juga opportunity cost dari stranded asset, kalau kita tutup coal power plant, dia jadi stranded asset yang sebetulnya ada biaya dalam bentuk potential revenue yang harus ditanggung oleh seseorang atau suatu entitas,” tambahnya.

Kementerian Keuangan, lanjut Masyita, berkomitmen mendukung upaya transisi energi nasional. institusi pengelola keuangan negara disebut telah mendukung melalui instrumen fiskal, penguatan ekuitas BUMN, penerusan pinjaman dari Multinational Development Bank (MDB) untuk proyek EBT yang dikerjakan BUMN.

Selain itu, Kemenkeu telah memberikan fasilitas jaminan pemerintah terhadap penugasan BUMN melalui KPBU. Beberapa dukungan pembiayaan yang dilakukan di antaranya ialah penerusan pinjaman pemerintah kepada BUMN untuk proyek PLTP Hululais, PLTA Asahan, PLTA Pusangan, serta PAM Storage Upper Cisokan.

“Selain dari sisi financing, pemerintah bekerja di sisi ekuitas financing melalui selain penyuntikan terhadap BUMN, juga melalui SWF INA, bekerja sama dengan PT SMI melakukan transisi energi dari coal phase out dan EBT. Kemenkeu juga dalam proses penyempurnaan regulasi ETM. Dengan adanya penguatan regulasi, dukungan pemerintah yang disediakan menjadi lebih relevan dan double di level kebijakan sampai transaksi,” terang Masyita.

Di kesempatan yang sama, pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi mengatakan, sedianya Indonesia memiliki sumber daya EBT yang cukup melimpah. Itu menurutnya potensial untuk dimanfaatkan dalam mendukung upaya transisi energi. Sayangnya itu belum bisa dioptimalisasi karena keterbatasan teknologi dan dana.

“Sesungguhnya sumber EBT di Indonesia itu sangat berlimpah ruah. Kenapa target 23% bauran energi sulit tercapai, karena sekarang ini kalau tidak salah baru 17%. Ini akan berarti dicapai. Kenapa itu terjadi? Karena sumber daya yang besar, tapi tidak diikuti teknologi dan pendanaannya,” jelasnya. (Z-8)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putra Ananda

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat