visitaaponce.com

Indonesia Kembangkan Bioavtur, Harga Tiket Pesawat Berpotensi Naik

Indonesia Kembangkan Bioavtur, Harga Tiket Pesawat Berpotensi Naik
Green Refinery milik Pertamina RU Cilacap yang memproduksi bioavtur dan green diesel(MI/Lilik Darmawan)

INDONESIA menggalakkan penggunaan bahan bakar penerbangan berkelanjutan (sustainable aviation fuel/SAF) untuk mendukung pengurangan emisi karbon. Bioavtur direncanakan diproduksi secara masif pada 2026.

"Pertamina berencana untuk meluncurkan Cilacap Green Refinery pada tahun 2026 berbasis waste feedstock," ujar Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Yudo Dwinanda Priaadi dalam International Palm Oil Conference (IPOC) ke-19 di Nusa Dua, Bali, Kamis (2/11).

Bioavtur juga telah digunakan pada penerbangan komersial dengan bahan bakar J2.4, uji coba dengan Garuda Boeing 737-800 NG. Kementerian ESDM, kata Yudo, berkomitmen untuk terus mendorong produksi dan penggunaan bioavtur dalam industri aviasi.

Baca juga: Pengamat: Bioavtur Berstandar Internasional dan Aman untuk Penerbangan

Namun pengembangan bioavtur tak berjalan mulus. Sebab, ada sejumlah tantangan, di antaranya, kelangkaan ketersediaan dan variasi feedstock dalam produksi SAF. Kemudian insentif ekonomi dari adanya produksi SAF; karena dibandingkan dengan bahan bakar berbasis fosil, saat ini produksi bioavtur masih membutuhkan biaya yang cukup tinggi sehingga produksi harus terus ditingkatkan.

"Kolaborasi dengan berbagai partner baik dalam kerja sama pengembangan produk dan juga teknologi terus didorong untuk dapat memproduksi bioavtur," kata Yudo.

Baca juga: Sustainable Aviation Fuel, Bioavtur Pertamina untuk Penerbangan Ramah Lingkungan

Di kesempatan yang sama, General Manager Green Energy, Biofuel Feedstock & Business Development Apical Group Aika Yuri Winata mengatakan, penggunaan bahan bakar penerbangan berkelanjutan (sustainable aviation fuel/SAF) berpotensi mengerek harga tiket pesawat.

Itu karena biaya produksi yang tinggi dan sumber energi yang lebih terbatas dibanding bahan bakar avtur konvensional. "Biaya tambahan dari adopsi SAF diperkirakan akan mencapai miliaran dan triliunan dolar bagi produsen bahan bakar, yang mengakibatkan kenaikan sebesar US$3 hingga US$14 pada tiket rata-rata pada tahun 2030 dan US$13 hingga US$38 pada tahun 2050 untuk perjalanan udara yang lebih berkelanjutan," ujarnya.

Aika menambahkan, kendati berbiaya mahal, penggunaan SAF dinilai penting. Pasalnya, sektor penerbangan global diketahui menyumbang 3% emisi CO2 pada tahun 2019. Namun itu juga diakui menjadi salah satu sektor yang paling sulit untuk didekarbonisasi.

SAF muncul sebagai alternatif yang paling menjanjikan dan layak untuk bahan bakar pesawat konvensional, mampu mengurangi emisi CO2 hingga 90%, meskipun saat ini hanya menyumbang kurang dari 0,1% dari penggunaan bahan bakar pesawat.

Guna mempercepat adopsi SAF dan melakukan dekarbonisasi perjalanan udara, imbuh Aika, penting untuk memanfaatkan kekuatan wilayah ASEAN. Itu mencakup ketersediaan dan aksesibilitas limbah dan sisa, potensi penghematan efek gas rumah kaca (greenhouse gas effect/GHG) yang signifikan, derivasi dan produksi yang berkelanjutan, serta keterlibatan aktif dalam industri.

"Negara-negara ASEAN secara kolektif menawarkan lebih dari 16 juta metrik ton minyak limbah dan sisa setiap tahun, dengan bahan baku potensial seperti minyak jelantah, limbah pabrik kelapa sawit, minyak tandan buah kosong, dan distilasi asam lemak kelapa sawit. Harga relatif dan penghematan GHG untuk bahan baku ini adalah pertimbangan kunci untuk produksi SAF," jelas Aika.

Dia mengatakan, akselerasi pengembangan SAF di ASEAN memerlukan intervensi kebijakan, termasuk mandat dan skema insentif, menyelaraskan kebijakan dengan standar internasional, dan mengimplementasikan pembiayaan berkelanjutan melalui kebijakan dan pinjaman penerbangan. (Mir/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat