Minimal Butuh 5 Tahun Rasakan Manfaat Food Estate
![Minimal Butuh 5 Tahun Rasakan Manfaat Food Estate](https://disk.mediaindonesia.com/thumbs/800x467/news/2024/01/ea2494cd91062ee0371aa2bac806a491.jpeg)
GURU besar bidang sosiologi pertanian Universitas Brawijaya, Mangku Purnomo, membeberkan sejumlah kesalahpahaman terkait food estate (lumbung pangan). Mangku mengakui memang manfaat dari food estate memang tidak bisa dirasakan dalam waktu dekat.
“Evaluasi baru bisa dilakukan setelah minimal 3 kali siklus panen,” kata Mangku dalam wawancaranya dengan Media Center Indonesia Maju.
“Paling cepat kita bisa merasakan manfaat food estate, kalau infrastrukturnya sudah bagus, maka dalam 3 tahun bisa dirasakan. Tapi kalau membangunnya dari awal, setidaknya butuh 5 tahun,” sambungnya.
Baca juga : Mentan Amran Ajak Petani-Penyuluh Konawe Utara Wujudkan RI Lumbung Pangan Dunia
Lebih lanjut, Mangku menjelaskan bahwa apa yang dimaksud dengan lumbung pangan bukan sekadar pembebasan lahan dan membangun pertanian. Inti utamanya adalah bagaimana hektaran tanah pertanian bisa dikelola secara terpadu oleh pihak tertentu.
Baca juga : Lumbung Pangan Karimunjawa Disiapkan Menghadapi Musim Baratan
“Food estate juga harus diperluas definisinya, tidak selalu diartikan membuka lahan baru, tapi juga kemampuan agregasi produksi. Artinya, jika ada perusahaan yang mampu mengagregasi dan mengatur manajemen untuk produksi pangan sekitar ribuan ton, maka itu bisa disebut food estate,” papar dia.
Menurutnya, hasil pertanian dari food estate hanya dikeluarkan saat ada kejadian tertentu, seperti untuk menjaga inflasi, menghindari kelangkaan, atau distribusi di tempat bencana.
Dengan demikian, hasil dari lumbung pangan tidak akan merusak harga pasar atau mengganggu kesejahteraan petani.
“Food estate sebagai upaya menjaga pasokan itu menjadi keniscayaan, fokusnya kepada cadangan pangan. Produk food estate seharusnya tidak masuk pasar umum pangan. Jadi untuk non-komersil, karena tidak bisa langsung berhasil dari sisi teknis agronomis,” papar Mangku.
“Dan perlu dibedakan juga dengan Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Jika PIR, maka modal dan tanah menjadi tanggung jawab perusahaan, semacam kewajiban memberikan lalu memotong hasil. Kalau food estate integrasi pertanian, jadi petani bisa menyetor atau tidak tinggal disesuaikan bentuk kerja samanya,” papar Dekan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya itu.
Mangku mengemukakan wacana yang beredar terkait food estate akan mengganggu keberlangsungan petani tradisional itu tidak sesuai.
Mangku menilai, program yang digagas di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) ini justru bisa meningkatkan kesejahteran petani.
“Food estate justru bisa jadi penggerak kesejahteraan, malah bisa jadi inti pertumbuhan. Jika membuka lahan baru, maka petani-petani sekitar harus diintegrasikan dengan food estate. Jika itu bisa dilakukan, maka mereka akan lebih sejahtera. Yang kita butuhkan sekarang adalah roadmap food estate yang lebih detail,” pungkasnya. (Z-8)
Terkini Lainnya
Pemberi Kerja Patut Melihat UU KIA sebagai Investasi bukan Beban
Peringati Hari Lingkungan Hidup Sedunia, BDO di Indonesia Tanam Mangrove di Kepulauan Seribu
Jokowi Ingatkan Investor Harga Tanah di IKN akan Segera Naik
PPP DKI Jakarta Nyatakan Solid Jelang Pilkada
Dear Gen Z, Ini Tiga Aspek Penting Pengembangan Diri dalam Karier
Gerakan Hidup Sehat Harus Segera Dilaksanakan secara Masif
Tantangan Pendidikan di Indonesia
Membenahi Pola Tata Kelola PTN-BH
Ngariksa Peradaban Nusantara di Era Digital
Pancasila, Perempuan, dan Planet
Eskalasi Harga Pangan Tengah Tahun
Iuran Tapera ibarat Masyarakat Berdiri di Air Sebatas Dagu
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Ulang Tahun, D'Cost Donasi ke 17 Panti Asuhan Melalui BenihBaik.com
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap