visitaaponce.com

Pemberi Kerja Patut Melihat UU KIA sebagai Investasi bukan Beban

Pemberi Kerja Patut Melihat UU KIA sebagai Investasi bukan Beban
Menteri PPPA Bintang Puspayoga (kiri) menyerahkan pandangan pemerintah kepada Ketua DPR Puan Maharani saat pengesahan UU KIA(MI/Susanto)

KETUA Panitia Kerja (Panja) Pemerintah untuk UU KIA Lenny Nurhayati Rosalin mengatakan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan atau (UU KIA) yang telah diketok palu pada awal Juni bisa menjadi fondasi awal dalam berinvestasi ke masa depan anak-anak bangsa.

“Kita harus melihat UU KIA ini sebagai investasi, ini adalah salah satu bentuk dari investasi SDM. Tetapi kalau kita sudah melihat biayanya dulu, itu memang pasti akan terasa menjadi beban, tapi kalau ini kita lihat seperti investasi, itu berarti tugas kita semua untuk menjalankan aturan ini,” ujarnya kepada Media Indonesia di Jakarta pada Rabu (12/6).

Lenny mengatakan UU KIA dapat mempengaruhi kualitas SDM yang unggul di masa depan, mulai dari sektor ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Menurutnya, kualitas SDM yang baik tentunya akan berpengaruh pada produktivitas nasional sehingga beban negara terkait masalah sosial akan semakin berkurang.

Baca juga : Pemerintah Pastikan UU KIA Tidak Akan Tumpang Tindih dengan Aturan Ketenagakerjaan

“Jadi ada multiplier impact dari RUU ini sangat besar sehingga kita tidak bisa melihat RUU KIA ini hanya sesaat. Jika di 1000 HPK anak mendapatkan gizi yang baik, lalu ibunya juga terproteksi dengan baik, itu semua akan berdampak pada kondisi anak yang dilahirkan menjadi sehat secara jangka panjang. Jadi ini memberikan landasan untuk membangun SDM ke depan secara komprehensif,” jelasnya.

Lenny menjelaskan meski UU KIA masih meninggalkan beberapa persoalan penting seperti kesempatan bagi ayah untuk berpartisipasi dengan maksimal dan jaminan perusahaan kepada para pekerja perempuan demi menghindari diskriminasi, namun pihaknya memastikan UU KIA dibentuk untuk melindungi posisi para Ibu pekerja namun harus meminimalisir kerugian para pemberi pekerja.

“Kami juga fokus kepada pemberi kerja dan serikat pekerja. Bisa saja untuk meminimalisir kekurangan tenaga kerja pada suatu perusahaan akibat cuti melahirkan, HRD perusahaan harus mendata ibu yang melahirkan dan biasanya diatur secara komprehensif. Sebab merekrut karyawan baru akan jauh lebih mahal dan belum tentu perusahaan mendapatkan SDM yang berkualitas seperti yang lama,” ujarnya.

Baca juga : Culture Activation Program Jawara Diresmikan di Appreciation Night 2024 

Lebih lanjut, Lenny menjelaskan bahwa pengaturan pasal-pasal dalam UU KIA harus diselaraskan dengan UU Ketenagakerjaan dan UU Kesehatan untuk mengisi gap dan potensi tumpang tindih. Oleh karena itu, aturan pelaksana UU KIA harus detail dan rinci agar dapat tak terjadi multi tafsir.

“Waktu menyusun UU ini dan memilih kata-kata yang harus dimasukkan dalam UU, kami melakukan harmonisasi dengan UU lainnya seperti UU Ciptaker dan UU Ketenagakerjaan. Jadi kita harus piawai melihat pasal ini terkait dengan undang-undang apa, apakah berkaitan dan bisa mengisi gap yang ada,” ungkapnya.

Insentif untuk Pemberi Kerja

Baca juga : Elitery Berencana Bagikan Dividen Tunai Hingga Buyback Tahun ini

Sementara itu, Komisioner Komnas Perempuan Tiasri Wiandani mengatakan, ada kemungkinan risiko diskriminasi dalam penerapan UU KIA seperti perusahaan atau pemberi kerja akan lebih memilih pekerja laki-laki untuk mengurangi beban cuti yang cukup lama bagi ibu melahirkan.

“Memungkinkan risiko diskriminasi tidak langsung ketika pemberi kerja lebih memilih pekerja laki-laki dengan alasan mengurangi beban pelaksanaan undang-undang, dan daya jangkau pengawasannya lemah,” kata Tiasri dalam keterangan tertulis, Senin (10/6).

Oleh sebab itu, Tiasri menilai pemerintah perlu memikirkan implementasi yang baik dalam UU KIA yang baru saja disahkan ini, salah satunya dengan pemberian insentif kepada perusahaan agar implementasi cuti selama 6 bulan bagi pekerja perempuan dengan gangguan khusus bisa berjalan dan meminimalisir potensi beban cuti bagi pemberi kerja.

Baca juga : ABMM Gelar RUPS, Simak Kinerjanya Sepanjang Tahun Lalu

Menanggapi hal tersebut, Lenny menjelaskan bahwa pemberian insentif kepada perusahaan yang mengimplementasikan UU KIA khususnya dalam cuti melahirkan bagi pekerja perempuan selama 6 bulan bisa menjadi salah satu solusi, namun hal tersebut harus disesuaikan dengan kondisi anggaran negara.

“Itu harus disesuaikan dengan kemampuan keuangan negara untuk perlindungan sosial. Karena ini kita juga bicara social protection. Memang kalau di negara maju itu ada sumbangan dari pemerintahnya, kalau Indonesia masih belum mampu tapi kita harus berproses juga. Karena anggaran jaminan sosial kita juga masih harus membereskan beresin hal-hal yang lain juga,” jelasnya.

Sementara itu, Plt Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Indra Gunawan membeberkan hasil diskusinya dengan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) mengenai aturan cuti melahirkan di UU KIA.

Dia mengklaim bahwa pihak Kadin tak mempersoalkan panjangnya waktu cuti tersebut. Mereka justru menunggu aturan detail kebijakan tersebut, yang akan dituangkan di aturan pelaksana dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres) UU KIA.

“Terkait dengan yang cuti (melahirkan) 3 bulan kan memang sudah oke, karena juga ada di UU Ketenagakerjaan, tinggal 3 bulan yang selanjutnya. Dari Kadin sebenarnya mereka tidak masalah. yang penting itu aturan setilnya bagi mereka,” ungkap Indra. (Dev/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat